Sebuah Cara Sederhana untuk Berdoa – Berdoa oleh Firman, dalam Firman, dengan Firman

Bagaimana kehidupan doa saudara?

Kita tahu bahwa sebagai orang Kristen, kita perlu untuk berdoa. Doa adalah salah satu hal terpenting yang dapat dilakukan dalam kehidupan Kristiani, tetapi pada saat yang sama, doa adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Terlepas dari apa yang harus kita doakan, bagaimana kita menguasai pikiran kita untuk tidak ‘ngelantur’ merupakan suatu tantangan tersendiri dalam berdoa! Yang pasti kita ketahui adalah satu hal, kita sangat kurang sekali berdoa. 

Dalam artikel Sebuah Cara Sederhana untuk Berdoa – Doa Bapa Kami, Pola Doa Kita, dikatakan bahwa Martin Luther mengajarkan kepada kita cara yang baik untuk berdoa dalam suratnya yang berjudul “Sebuah Cara Sederhana untuk Berdoa (A Simple Way to Pray)”. Ia menghimbau kita untuk memeditasikan kebenaran yang dinyatakan dalam firman Tuhan, yaitu Doa Bapa Kami yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan. Luther menekankan bahwa pikiran orang percaya sangat mudah diisi hal-hal yang membuatnya melupakan Tuhan dan bahkan melanggar perintah-Nya. Dosa lalu-lalang melewati pikiran dan membuat hati tidak dijaga dengan ketat di hadapan Allah yang kudus. Mengapa demikian? Karena setan bukanlah pribadi yang malas atau ceroboh – ia tak mau rugi dalam menjual kejahatan kepada daging kita yang menyenanginya! 

Sikap hati seperti inilah yang Yesus sendiri ingin untuk murid-murid-Nya matikan, melalui “berdoa dengan tidak jemu-jemu (Lukas 18:1)". Hal ini penting dilakukan, karena kita harus terus berjaga-jaga terhadap dosa, dan ini bukanlah hal yang dapat manusia lakukan kecuali ia memiliki hati yang takut akan Tuhan, dan terus “merenungkan Taurat itu siang dan malam (Mazmur 1:2)". 

Pola Doa Beruntai Empat

Kesiapan dan keinginan hati dalam berdoa adalah suatu hal yang amat penting. Luther menggambarkan mulut seseorang yang komat-kamit berdoa, namun pikirannya melayang kemana-mana, dan dengan demikian mencobai Tuhan:

Ada pastor yang berdoa demikian, “Bapa kami yang ada di sorga, dikuduskanlah nama-Mu. Apa kuda-kuda sudah kuberi makan? Datanglah kerajaan-Mu. Nanti mereka harus kuingatkan untuk mengambil susu dari pasar. Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga. Duh, kenapa makanan hari ini begitu sedikit! … Amin.” Aku mendengar banyak doa semacam ini dalam pengalamanku tinggal di biara; itulah pola doa-doa mereka. Sikap seperti ini sama seperti sikap orang yang menghujat Allah, dan amatlah baik bila orang itu tidak berdoa sama sekali bila mereka tidak dapat atau tidak peduli untuk memperbaiki sikap hatinya.

Kita dapat melihat betapa pentingnya konsentrasi dan kebulatan hati untuk berdoa dengan baik! Doa yang baik, kata Luther, adalah doa dimana kita mengingat setiap perkataan dan pikiran dari awal hingga akhir doa. Maka, untuk memfokuskan diri supaya dapat berdoa, Luther memakai suatu cara yang dapat kita tiru, yaitu dengan mendoakan firman Tuhan kembali kepada Tuhan. Ia merangkai lingkaran doa yang terdiri dari empat untaian; instruksi, ucapan syukur, pengakuan dosa, dan permohonan kepada Allah.

“Roh Kudus sendiri berkhotbah dalam doa, dan satu kata dari khotbah-Nya jauh lebih berharga dari ribuan doa-doa kita.” – Martin Luther

Luther menjelaskan bahwa dalam doa, kita dapat mengingat instruksi yang Tuhan berikan melalui firman-Nya. Sebagai contoh, mari kita memperhatikan Roma 12:2:

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Dalam ayat ini, kita sebagai orang percaya dipanggil untuk mengubah pola pikir kita dari yang duniawi menjadi yang sorgawi. Kita dipanggil untuk berubah melalui kuasa Tuhan supaya kita dapat mengerti kehendak Allah dengan tepat dalam hidup kita.

Kita dapat menyadari bahwa hati dan pikiran yang diperbaharui dan jalan hidup yang berkenan di hadapan Allah adalah karena anugerah-Nya semata. Hal ini patut membuat kita mengucap syukur kepada-Nya dalam doa kita karena kasih yang Ia tunjukkan kepada kita dalam membentuk jiwa yang makin dekat dan mengenal Dia.

Di sisi yang lain, amatlah jelas jika kita merenungkan ayat ini untuk dengan jujur mengakui bahwa kita sering lalai dalam mengikuti himbauan ini. Cobaan yang menawan hati, arah hidup yang tidak jelas, dan beban yang menekan membuat diri kita sering melupakan Tuhan dan jatuh ke dalam dosa, atau bahkan lari dari Sang Penolong karena kita berpikir kita dapat membereskan hidup kita sendiri. Ketika kita diperhadapkan dengan kegelapan yang ada dalam hati kita seperti ini, sangat baik untuk kita mengakui dosa-dosa kita dan memohon belas kasihan Tuhan untuk mengampuni.

Tetapi, tentu kita tidak akan berhenti di situ saja. Kita tidak memiliki Imam Besar yang “tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita" (Ibrani 4:15), tetapi kita mempunyai seorang Bapa yang mengasihi, mampu, dan mau menolong kita dalam keterpurukan kita. Maka, kita dapat dengan keberanian menghampiri takhta kasih karunia Allah dan memohonkan petisi-petisi kita kepada-Nya, baik untuk diri kita sendiri, ataupun keluarga, kerabat, bahkan dunia ini, supaya anugerah Allah di dalam Yesus Kristus dapat dicurahkan kepada kita semua, supaya hati kita dapat diperbaharui, bukan hanya untuk memiliki pola pikir rohani dan mengenal kehendak Allah, tetapi mengenal pribadi Allah dan bersekutu secara intim dengan-Nya dalam suatu relasi yang tak terkatakan indahnya.

Jikalau kita mempunyai waktu dan hati kita tergerak untuk berdoa lebih lagi, ada baiknya kita dapat berdoa dengan firman yang muncul dalam hati dan seterusnya. Dengan demikian, seluruh “firman yang diilhamkan Tuhan (2 Timotius 3:16)” menjadi rangkaian bunga beruntai empat bagi jiwa kita; kitab pengajaran, kitab pujian, kitab pengakuan dosa, dan kitab doa.

Perintah yang Manis bagi Jiwa, Perlengkapan yang Kuat untuk Raga

Memakai firman Tuhan sebagai dasar doa kita sangat bermanfaat untuk membakar dan menggerakkan hati kita dalam semangat berdoa. Yang penting untuk kita perhatikan adalah bukan panjangnya doa kita atau bagaimana ‘rapi’ kita menyusun doa sesuai dengan tata cara yang ditulis di atas, tetapi hati yang disiapkan untuk mendengarkan didikan dari Roh Kudus dengan meditasi firman Tuhan. Luther memberi komentar yang baik akan hal ini:

“Roh Kudus sendiri berkhotbah dalam doa, dan satu kata dari khotbah-Nya jauh lebih berharga dari ribuan doa-doa kita … Jangan berusaha menjalani semua ini sedemikian rupa hingga jiwamu lesu dalam mengerjakannya. Doa yang baik tidak harus doa yang panjang atau diulur-ulur, melainkan doa yang dipanjatkan setiap waktu. Cukuplah bila kita merenungkan satu atau setengah bagian yang justru membakar hati kita untuk fokus dan tekun berdoa pada bagian itu. Roh Kudus akan memberikan kita pengertian dan terus mendidik kita, ketika melalui firman Tuhan hati kita dibersihkan dan dibebaskan dari gangguan di dalam dan di luar hati.”

Dari disiplin doa ini, kita dapat memperhatikan tiga manfaat:

1. Menjaga hati kita terhadap dosa.

Daud menuliskan dalam kitab Mazmur, “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau (Mazmur 119:11).” Dengan serius merenungkan perintah dan ketetapan Allah, kita diberi perisai untuk menjaga hati dan pikiran kita terhadap dosa-dosa yang menyerang. Dunia ini adalah medan tempur orang percaya dan oleh karena itu kita harus memperlengkapi diri dengan perlengkapan senjata Allah dan kuat dalam kuasa-Nya melalui firman yang Ia nyatakan.

2. Memperkaya kehidupan doa.

Kita dapat melihat dari cara yang dipakai Luther bahwa Allah sendiri telah menyediakan kita harta karun yang begitu limpah untuk kita bisa pakai dalam doa – yaitu firman-Nya sendiri. “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16).” Apakah sarana kita berdoa berhenti di sini saja? Tentu saja tidak! Mazmur, Amsal, doa-doa para saksi iman yang tercatat dalam Alkitab, semuanya ini merupakan bagian dari berkat besar Allah untuk kita dapat berkomunikasi dengan-Nya melalui doa.

3. Melatih ketangguhan dan disiplin rohani.

Kita sangat mudah sekali diserang oleh begitu banyak jebakan dan tipuan setan. “Oh, cara berdoa? Bukankah ini suatu sikap yang legalistik? Doa kan harusnya keluar dari hati dan tidak kaku seperti itu?” Apakah doa yang disengaja, tekun, disiplin, tulus, dan berfokus pada kemuliaan Tuhan suatu hal yang kaku? Memang, di satu sisi adalah suatu kewajiban bagi orang percaya untuk berdoa, tetapi lebih dari pada itu, doa adalah alat anugerah yang diberikan Allah untuk kita dapat manfaatkan supaya kita dapat lebih lagi menikmati diri-Nya! Tanpa makanan, minuman, dan udara, kita tidak dapat hidup. Kita butuh hal-hal fisik ini untuk kehidupan jasmani kita. Jelas bahwa kita juga perlu sarana-sarana untuk kehidupan rohani kita! Mari kita melatih diri kita dengan sungguh, “supaya Iblis jangan beroleh keuntungan atas kita, sebab kita tahu apa maksudnya (2 Korintus 2:11)".

Kiranya melalui sarana-sarana ini, kita dapat menyadari kekayaan anugerah Allah dan terus-menerus melatih diri untuk mengejar pribadi-Nya melalui doa. Saya tutup artikel ini dengan janji yang manis dari Allah sendiri bagi orang-orang yang mengejar-Nya: 

“Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN (Yeremia 29:12-14a).”

Oleh: HN

Image source: Unsplash

Sebuah Cara Sederhana untuk Berdoa – Doa Bapa Kami, Pola Doa Kita

Seorang Puritan, Richard Baxter, menuliskan, "Doa adalah nafas hidup orang percaya.” Pangeran para pengkhotbah, Charles Spurgeon, mengatakan, “Jika saya merasa enggan berdoa, itulah saat dimana saya harus berdoa lebih dari sebelumnya.” Bahkan, Rasul Paulus dalam 1 Tesalonika 5:17 mengajar kita untuk “tetap berdoa”. Demikianlah orang-orang kudus sejak zaman dahulu menekankan begitu pentingnya doa dalam hidup seorang Kristen. Namun, banyak dari kita bergumul dengan disiplin rohani ini. Kita sering merasa kesulitan dalam apa yang harus kita doakan, bagaimana cara berdoa, kapan kita harus berdoa, bahkan memikirkan postur tubuh apa yang harus kita ambil untuk berdoa!

Hal ini digumulkan oleh Peter Beskendorf, sahabat dekat Martin Luther yang juga adalah tukang potong rambutnya. Dia bertanya kepada Luther tentang bagaimana caranya untuk berdoa. Martin Luther sendiri adalah salah satu pelopor gerakan Reformasi. Di antara semua hal yang membuat Luther terkenal, salah satunya yang terutama ialah kehidupan doanya yang kuat, panjang, tekun, dan dinamis. Ia pernah dikutip mengatakan, “Saya sangat sibuk, banyak hal yang harus saya lakukan. Saking sibuknya, saya akan memakai 3 jam pertama untuk berdoa!” 

Luther menjawab sahabatnya dengan menulis sebuah surat yang berjudul “Sebuah Cara Sederhana Untuk Berdoa (A Simple Way to Pray)”. Ia menjelaskan dalam suratnya bagaimana cara memiliki kehidupan doa yang kaya dan memuaskan dengan memakai tiga sumber dari Alkitab sebagai dasar, yaitu: Doa Bapa Kami, Sepuluh Perintah Allah, dan Pengakuan Iman Rasuli. 

Pada artikel ini, kita akan melihat bagaimana Martin Luther mengajar cara yang sederhana untuk berdoa dengan memeditasikan Doa Bapa Kami. 

Zaman Penuh Gangguan

Abad ke-21 membawa begitu banyak kemajuan teknologi, tetapi juga membawa bersamanya begitu banyak gangguan bagi orang Kristen modern: pesan WhatsApp, notifikasi Instagram, denting smartphone berisi begitu banyak pesan dan media yang terus bergulir. Uniknya, gangguan semacam ini bukanlah sesuatu yang asing bagi Luther (walaupun tentunya di zaman Luther belum ada WhatsApp dan media sosial!). Di dalam suratnya, ia menulis tentang seriusnya gangguan dalam menghalangi kehidupan doa: 

“Berjaga-jagalah akan tipuan yang mengatakan kepadamu, ‘Tunggu, tunggu. Nanti saja aku berdoa, satu jam lagi. Sekarang, aku perlu mengurus hal ini dan itu.’ Pikiran semacam ini akan mengalihkan perhatianmu dari doa kepada hal-hal lain yang begitu menahan pikiran dan perbuatanmu, sampai akhirnya sia-sialah kita menghabiskan hari tanpa berdoa. … Kita harus memastikan diri kita tidak kehilangan kebiasaan doa yang sejati dan menipu diri kita dalam memikirkan hal-hal lain yang kelihatannya lebih penting, namun nyatanya tidak sama sekali.”

Godaan untuk memikirkan hal-hal yang lebih ‘produktif dan penting’ daripada berdoa bukanlah permasalahan yang timbul dengan era digital, seperti yang tertulis di atas. Permasalahan utamanya bukanlah jadwal yang lebih padat dan smartphone kita, tetapi hati kita sendiri! Oleh karena itu, jikalau kita hendak maju dalam kehidupan doa, kita perlu membereskan inti masalahnya, yaitu keinginan hati kita. Luther memberikan beberapa gagasan untuk menangani hal ini dengan membawa kita kepada Doa Bapa Kami.

Doa Bapa Kami Sebagai Doa Kami

Pertama, Luther menyarankan kita berdoa seturut dengan doa yang Yesus ajarkan di injil Matius 6:9-13:

Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu.

Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya,

dan ampunilah kami akan kesalahan kami,

seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;

Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.

Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.

Amin.

Kemudian, ia membawa kita untuk kembali dalam doa ini untuk berdoa petisi demi petisi. Luther menasihati kita untuk memberi diri dibimbing oleh setiap petisi dalam doa kita. Sebagai contoh, setelah kita berdoa, “Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu,” kita dapat melanjutkan dengan berdoa demikian:

“Bapa, keinginan hati kami ialah supaya nama-Mu dikenal, ditakuti, dan dihormati. Engkau adalah Allah pencipta langit dan bumi, Sang Kudus yang begitu mengasihi dunia sehingga Engkau mengaruniakan anak-Mu yang tunggal demi menyelamatkan kami dari murka-Mu akan dosa-dosa kami. Beri kami hati untuk semakin mengasihi-Mu.”

Setelah mendoakan petisi ini, kita dapat melanjutkan doa kita pada petisi yang berikutnya, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga,” dan berdoa:

“Ya, Tuhan, kami rindu supaya seluruh bumi ini dipenuhi kemuliaan-Mu seperti di sorga dan engkau bertahta di atasnya. Kami tahu bahwa dunia ini penuh kegelapan, kedukaan dan kesengsaraan. Bapa, kami memohon supaya Engkau sendiri memperlengkapi kami, keluarga kami, dan gereja kami dengan kuasa untuk bergerak demi memperluas kerajaan-Mu di bumi sebagai garam dan terang dunia, supaya cinta kasih-Mu dapat dinyatakan kepada semua orang melalui kesaksian kami.”

Demikian seterusnya kita bergerak dari petisi ke petisi sampai kita menutup doa kita dengan “Amin”. Kata ini kedengaran amat pendek dan sederhana, dan mungkin terlihat tidak terlalu penting sebab ini hanya dipakai sebagai penutup doa saja, tetapi Luther menekankan kepada kita betapa pentingnya kata “Amin” ini untuk kita ucapkan dengan berani dan penuh iman.

“Engkau harus selalu dengan tegas mengatakan Amin. Jangan ragu akan belas kasihan Allah, sebab di dalam anugerah-Nya Ia tentu akan mendengarkan doamu dan berkata ‘Ya’. … Jangan engkau menutup doamu tanpa berpikir, ‘Tentu Allah mendengarkan doa ini. Aku percaya akan kebenaran ini.’ Itulah arti Amin yang sesungguhnya.”

Manfaat Berdoa Seturut Ajaran Yesus

Berdoa seturut apa yang Allah sendiri ajarkan kepada kita tentu memberikan begitu banyak manfaat. Di antaranya, ada tiga hal yang dapat kita perhatikan:

1. Mendisiplin pikiran kita.

Sangat mudah sekali bagi pikiran kita untuk melayang ke mana-mana ketika berdoa. Dalam satu momen kita berdoa, dan dalam momen selanjutnya kita memikirkan apa makan malam kita! Dengan memiliki tata doa yang terstruktur, pikiran kita akan didisiplin untuk fokus dalam doa layaknya tukang potong rambut yang memusatkan perhatiannya pada pisau cukur untuk memotong rambut dengan hati-hati dan tidak melukai pelanggannya.

2. Memperluas hati kita.

Banyak dari kita cenderung berdoa untuk diri kita sendiri, seperti mengaku dosa, meminta pertolongan Tuhan secara pribadi, dan menyatakan permasalahan kita kepada-Nya. Mendoakan Doa Bapa Kami dengan fokus akan tiap petisi akan mendorong kita mencari pengertian yang lebih luas dan dalam akan Kristus. Hal ini akan membuka hati kita untuk menghidupi hati Kristus dan memiliki beban bagi orang lain, serta visi dan misi Allah yang kita bisa bawa dalam doa kita.

3. Memperdalam intimasi dengan Allah.

Rasul Paulus menulis bahwa, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Roma 10:17).” Firman yang kita hidupi dalam doa yang sungguh-sungguh tidak akan membuat doa kita kaku, namun akan menghidupkan afeksi kita yang tersembunyi serta memperkaya, memperdalam, dan memperluas doa kita. Seperti sang Pemazmur, kita dapat berkata, “Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah (Mazmur 73:28).”

Membentuk Hati yang Mengalami dan Makin Merindukan Tuhan

Kristus mengajar kita untuk “berdoa demikian” (Matius 6:9), tidak hanya untuk menyediakan kata-kata bagi orang yang tidak tahu apa yang mereka harus katakan kepada Allah. Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami untuk membentuk hati kita secara total supaya dapat melihat, bahkan menginginkan hal-hal yang Allah sendiri inginkan. Keinginan terdalam hati kita dibakar untuk mengalami dan mengenal Dia lebih lagi dalam hidup kita. Tentu, tata cara yang Martin Luther ajarkan bukanlah satu-satunya teknik jitu untuk kehidupan doa yang sempurna, tetapi dengan perlengkapan ini, kita dapat berjuang untuk suatu kehidupan doa yang lebih kaya dan menyenangkan, ditambah dengan cinta kasih yang makin dalam akan Kristus.

Saya menutup artikel ini dengan tulisan Luther dalam suratnya: “Kiranya Allah mengaruniakan padamu dan semua orang kuasa untuk berdoa dengan lebih baik dari pada diriku! Amin.”

Oleh: HN

Image source: Unsplash

Siapa Yang Membutuhkan Gereja?

Tubuh, Keluarga, Bangunan Gereja, dan Pengantin Wanita

Siapa yang membutuhkan gereja? Jawabannya adalah: Jika kamu benar-benar anak Tuhan, kamu membutuhkan gereja.

Apa yang salah dari gereja di zaman ini? Itu adalah kategori esai yang diperlombakan oleh sebuah majalah di Inggris. Kategori ini dimenangkan oleh seorang pria dari Wales, Inggris. Ia menjawab bahwa yang salah dengan gereja sekarang ini adalah kegagalan kita sebagai orang Kristen untuk menyadari dan mengagumi keindahan, kemisteriusan, kemuliaan, dan kebesaran dari sebuah gereja.

Gereja bukanlah berasal dari ide manusia; bukan juga institusi yang dibangun oleh manusia. Gereja adalah idenya Tuhan; rencananya Tuhan.

Gereja bukan hanya suatu bangunan. Secara esensi gereja itu adalah kita, orang-orang yang telah Dia selamatkan.

Di dalam kitab suci ada dua konsep gereja, yaitu Gereja (penulisan yang diawali dengan huruf besar) dan gereja (penulisan yang diawali dengan huruf kecil). Gereja berarti semua orang percaya di segala abad dan berbagai tempat, gereja yang tidak terlihat. Gereja dengan huruf kecil adalah gereja lokal, gereja yang bisa terlihat sebagai representasi dari tubuh Kristus di dunia ini.

Paulus berkata bahwa Allah mempunyai suatu rencana untuk mempersatukan orang Yahudi dengan orang-orang kafir, yang telah ditebus dari segala zaman, ke dalam satu tubuh, tubuh Kristus, yaitu Gereja (Efesus 3:9). Kristus adalah kepala, Gereja adalah tubuh, dan Allah telah mendesain kamu dan saya sedemikian rupa agar kita bisa dipersatukan dan kemudian saling melengkapi satu dengan yang lain. Kepala akan menyalurkan apa yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga setiap anggota tubuh bisa berfungsi dan tubuh itu bisa bertumbuh dan membawa orang lain kepada tubuh itu (Efesus 4:15). Setiap bagian tubuh saling bergantung dan satu bagian tidak dapat berfungsi tanpa kepalanya atau bagian tubuh lainnya. Ketika kita menyakiti bagian dari tubuh Kristus, berarti kita telah menyakiti Kristus itu sendiri.

Gereja adalah sebuah keluarga. Allah adalah Bapa kita, Kristus sebagai Anak Sulung. Gereja adalah bait Allah, yaitu diri kita, di mana Dia bisa berdiam di dalam kita. Gereja adalah pengantin wanita dan Kristus adalah Sang Pengantin Pria, keduanya terikat dalam satu ikat janji yang berdasarkan cinta kasih. Kristus akan selalu mencintai gereja-Nya. Kamu adalah bagian dari Gereja, sebuah tubuh, keluarga, bangunan dan pengantin wanita dari Kristus, jika kamu sungguh anak Allah yang sejati.

Sebuah Organisme

Gereja terdiri dari seluruh orang percaya yang mempunyai kesatuan dengan Kristus dan juga dengan satu sama lain. Gereja adalah sebuah organisme yang hidup dan mempunyai relasi yang bertumbuh antara anggota tubuh Kristus.

Paulus berkata bahwa suatu hari nanti Allah akan mempersatukan berbagai ragam orang, Yahudi dan orang kafir, budak dan orang bebas, pria dan wanita, dan akan menjadikan mereka bagian dari satu tubuh yang hidup, yang adalah tubuh Kristus, bait Allah, dan pengantin wanita Kristus.

Titik utama dari gereja adalah Kristus. Tanpa Kristus maka itu bukanlah Gereja. Kristus adalah pemilik dari Gereja, kepala Gereja, dan tuan yang berdaulat atas Gereja. Ketika kamu pergi ke gereja, Kristus hadir di sana. Kamu menyembah, menyanyi, melayani, memberi persembahan, mendengarkan firman. Kamu juga beraktifitas di luar dari gedung gereja, sebagai Gereja-Nya di hadapan Kristus, Juruselamat dan Tuhan kita. Gereja bukan berarti tidak ada masalah di dalamnya, tetapi itu tetap Gereja-Nya, tetap tubuh-Nya. Kamu tidak bisa mencintai Kristus tapi tidak mencintai tubuh-Nya. Kristus mencintai Gereja-Nya dan mengorbankan diri-Nya untuk gereja-Nya (Efesus 5:25).

Gereja adalah rancangan dari Tuhan dan konteks untuk kesaksian hidup kita bagi dunia untuk kita bisa menjangkau dunia ini. Pada dasarnya manusia ingin menjadi bagian dari sesuatu dan kita bisa menunjukkan apa sesungguhnya arti menjadi bagian dari sebuah keluarga dan bagian dari tubuh itu. Ketika sebuah gereja itu sehat dan berfungsi dengan seharusnya, dia akan mempunyai beban untuk melayani mereka yang lanjut usia, sakit, miskin, atau para janda, yatim-piatu. Itu adalah kewajiban dari sebuah gereja yang harus kita kerjakan mulai sekarang dan kekekalan.

Satu sama lain

Apakah kita tidak hanya membutuhkan gereja saja tapi juga membutuhkan gereja lokal? Haruskah kita menjadi bagian dari gereja lokal? Apakah Allah peduli akan hal ini?

Kenyataannya, sekarang ini banyak orang-orang Kristen yang tidak setia pada satu gereja, mereka suka berpindah-pindah gereja. Jika itu yang kamu lakukan, maka kamu tidak bisa menjadi seorang Kristen seperti yang Tuhan inginkan, karena kalau kamu berada di dalam Kristus, kamu adalah anggota dari tubuh Kristus. Setiap anggota berbeda, tetapi tetap merupakan bagian dari tubuh yang sama. Kamu tidak bisa dengan segampang itu memisahkan dirimu dari tubuh itu dan kemudian menyatukan diri ke tubuh yang lain dan begitu seterusnya.

Ketika Tuhan menempatkan anggota-anggota dari tubuh-Nya di beragam gereja-gereja lokal sesuai dengan kehendak-Nya, kita harus belajar untuk merangkul dan menghargai sesama anggota tubuh. Kita adalah orang-orang yang tidak sempurna dan membutuhkan satu sama lain. Setiap anggota tubuh itu penting dan sangat diperlukan. Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat (Ibrani 10:24-25). Pemisahan dan perpecahan di dalam tubuh Kristus adalah taktik dari setan untuk menghancurkan orang-orang percaya.

Mulailah untuk mendoakan, ramah, memperhatikan, menguatkan, dan berbagi beban, jangan saling menunggu. Kita hidup di dunia yang penuh permusuhan dengan berbagai kondisi yang bisa mengancam jiwa kita, atau kuasa-kuasa yang mengancam untuk menghancurkan iman kita, menjauhkan kita dari Tuhan. Oleh karena itu, kita membutuhkan satu sama lain. Ini bukan suatu pilihan, melainkan harus dilakukan untuk bertahan hidup.

Seperti apakah gereja yang tepat? Carilah gereja yang meninggikan Kristus dan firman-Nya dan setia dalam keempat hal ini: doktrin yang benar, persekutuan yang benar, mengadakan Perjamuan Kudus, dan persekutuan doa. Maka, ini adalah gereja lokal yang sehat di mana kuasa Tuhan bekerja di dalam gereja itu.

Jadi, kalau engkau merupakan anggota sebuah gereja, bersyukurlah kepada Tuhan di mana engkau telah ditempatkan, meski itu tidak sempurna dan mempunyai cacat. Berdoalah kepada Tuhan untuk membentuk gereja itu seperti apa yang Dia kehendaki.

Menyatulah

Pergilah ke kebaktian dengan setia. Kita bisa mendengarkan firman dari berbagai sarana/teknologi yang ada, tetapi itu semua tidak bisa menggantikan komunitas. Kalau kita tidak berada di dalam satu komunitas, maka kita akan menjadi terasing, sendirian.

Kebiasaan berpindah-pindah gereja akan membuat kita menjadi gelisah dan tidak merasa puas. Ini seperti menukar pasanganmu untuk seseorang yang berbeda, mencoba menukar masalah yang kita punya dengan yang baru.

Jadi, carilah tempat di mana Tuhan kehendaki. Tanamkan dirimu di sana, menyatulah, jadilah berkat, pergilah ke gereja untuk melayani, memberi, dan berlaku ramah terhadap yang lain. Seseorang yang mempunyai teman akan menunjukkan sifatnya yang ramah (parafrase Amsal 18:24).

Dan ketika engkau telah menyatukan diri dengan gerejamu, tanya sama Tuhan untuk menunjukkan pelayanan yang Dia ingin engkau lakukan dengan talenta yang telah Ia berikan. Kita telah diberikan talenta-talenta yang berbeda sesuai dengan anugerah yang diberikan kepada kita untuk mendidik tubuh Kristus itu (Roma 12). Kita tidak lagi hanya menjadi jemaat biasa, tapi kita menjadi bagian tubuh yang berfungsi.

Kita juga harus membawa diri kita ke bawah suatu otoritas rohani, pengarahan rohani, dan penjagaan rohani dari pemimpin rohani di gerejamu seperti pendeta dan penatua. Jangan lupa untuk memberikan persembahan rutin ke gereja lokalmu. Alasan pertama, ada tertulis di Alkitab bahwa engkau harus memastikan agar orang yang melayani firman Tuhan bagi diri kita tidak kekurangan dalam kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Kedua, persembahan kita akan digunakan untuk melayani orang-orang lain yang membutuhkan. Maka, satukan dirimu dan hidupmu dengan satu gereja, jangan hanya bisa mengkritik orang lain yang tidak melakukan apa yang mereka seharusnya lakukan. Lakukan apa yang Tuhan ingin kau lakukan dan engkau akan menerima berkat Tuhan, dan gereja-Nya juga akan diberkati.

Sangat mulia dan penting

Jika Tuhan menginginkan kamu untuk melayani gerejamu, maka itu adalah suatu tugas yang penting. Kamu tidak hanya pergi ke gereja karena kamu berharap mendapatkan sesuatu. Kamu pergi karena kamu adalah bagian dari tubuh itu; karena kamu adalah bagian dari komunitas; karena kamu telah mendengarkan firman-Nya.

Kalau kemuliaan Tuhan sudah meninggalkan sebuah gereja, maka itu berhenti menjadi gereja. Bagaimana kalau itu terjadi di gerejamu? Berlututlah dan berdoa. Tanyakan kepada Tuhan apa yang harus dilakukan dalam situasi ini. Tapi kamu juga harus bersabar dengan ketidaksempurnaan dan kelemahan dari gerejamu. Jangan suka membicarakan permasalahan di gerejamu dengan sesama jemaat, jangan gampang kritik. Itu tidak benar, itu adalah dosa. Tapi kalau memang tidak ada kehidupan rohani lagi di dalam gerejamu, yang akan mempengaruhi pertumbuhan rohanimu, maka mungkin sudah waktunya untuk berdoa kepada Tuhan agar kamu boleh berada di tempat lain di mana kamu boleh betul-betul merasakan hadirat Tuhan.

Jika kamu menginginkan sebuah gereja yang lebih baik, berdoalah untuk yang kamu punya sekarang ini. Kalau kamu ingin gembala yang lebih baik, berdoalah untuk gembala yang sekarang ini. Minta kepada Tuhan pengertian akan bagaimana Dia memberikan nafas yang baru kepada gereja yang tidak sempurna itu. Tuhan berkata di dalam Wahyu 21:5, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru.” Mungkin saja Tuhan sedang bekerja di dalam gerejamu. Dia sedang membentuk, mengaduk, membuat hal-hal baru, dan kamu harus menunggu.

Gereja milik Kristus Yesus adalah suatu hal yang agung, suatu lukisan besar, maha karya yang dirancang oleh Tuhan, di mana Dia telah mengizinkan kita berbagian untuk melukis di lukisan itu dari segala zaman, untuk menampilkan kemuliaan-Nya kepada dunia ini.

Jadi, kalau engkau merupakan anggota sebuah gereja, bersyukurlah kepada Tuhan di mana engkau telah ditempatkan, meski itu tidak sempurna dan mempunyai cacat. Berdoalah kepada Tuhan untuk membentuk gereja itu seperti apa yang Dia kehendaki.

Jadi, pelayanan apa yang kamu sedang kerjakan di gereja? Mengajar di Sekolah Minggu, menyiapkan makanan untuk ramah-tamah, menerima tamu, menyanyi di paduan suara, berdoa untuk pendetamu, dan lain sebagainya. Apapun itu, meski kamu melihatnya sebagai pekerjaan kecil, tapi sebenarnya kamu sedang membantu Tuhan untuk membangun bait-Nya, tempat di mana Dia akan berdiam, dan di dalam kitab suci, suatu hari kita akan hidup bersama dengan Dia untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, kamu membutuhkan gereja. Kita semua membutuhkan gereja. Itu semua adalah tentang Dia. Semua untuk kemuliaan nama-Nya.

Oleh: SH

Image source: Unsplash

Uang & Kesuksesan | BoBa (Boleh Bahas) | Ep 1

Hi teman-teman, akhirnya nih saat yang kita tunggu-tunggu datang juga! Hari ini BOBA TIME tayang untuk pertama kalinya!

UANG & KESUKSESAN adalah topik kita kali ini. Nah, kalo dipikir-pikir, sebenarnya boleh ga sih sebagai orang Kristen, kita itu punya keinginan untuk kaya? Apakah UANG & KESUKSESAN sungguh-sungguh bisa kasih kita kebahagiaan seperti yang dijanjikan dunia ini?

Penasaran? Langsung nonton sampe habis! ℹ️ Like, Share, Subcribe dan nyalain notifikasi supaya ga ketinggalan episode-episode selanjutnya ✨✨✨ Selamat nonton! ☺️

Lima Menit Lagi Ya

Menunggu sebentar lagi, istirahat sebentar lagi, bersantai sebentar lagi. Sangat sering pemikiran seperti ini muncul saat kita tahu bahwa suatu hal harus diselesaikan dalam waktu yang tidak lama lagi. Apa itu menunda? Menunda adalah tindakan atau sikap yang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan segera. Penundaan adalah hal yang kita lakukan setiap hari tanpa kita sadari dimana kita merasionalisasikan alasan untuk tidak melakukan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan dan berpikir bahwa kita masih punya waktu lain dimasa depan untuk melakukannya. Betapa banyak dari kita telah berhasil memberikan alasan bodoh yang menenangkan jiwa kita dengan memutuskan untuk tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan dengan segera, saat itu juga.

Pada zaman revolusi Amerika, ada seorang komandan tentara Inggris di New Jersey bernama Kolonel Rahl, dia sedang bermain kartu saat seorang tukang pos datang membawa surat penting yang berisi himbauan penting bahwa musuh mereka sedang dalam perjalanan menyeberangi sebuah sungai dekat markas mereka bersembunyi. Kolonel Rahl menaruh surat itu di dalam kantongnya dan tidak peduli untuk membacanya sampai permainan kartu mereka selesai. Lalu setelah membaca surat itu dia baru sadar betapa seriusnya situasi saat itu, dia dengan segera mengumpulkan tentara-tentaranya untuk berperang tapi karena keterlambatannya dalam membaca surat itu, musuh mereka yang sudah sangat dekat berhasil membunuh ribuan dari tentara Inggris yang tidak sempat mempersiapkan diri untuk melawan dan akhirnya daerah mereka berhasil dikuasai oleh musuh. 

Contoh lainnya, bayangkan apa yang akan terjadi jikalau seorang pemadam kebakaran dengan sengaja menunda untuk pergi ke tempat terjadinya kebakaran? Apa yang akan terjadi jika paramedis dengan sengaja menunda perjalanannya ke rumah seseorang yang mengalami serangan jantung? Jika kita menjadi mereka, kita pasti berkata bahwa kita akan langsung dengan segera, saat itu juga melakukan apa yang menjadi prioritas kita. Tetapi ironisnya, sering kali menunda sudah menjadi bagian dalam keseharian kita, menunda lagi, lagi dan lagi, dan akhirnya itu menjadi suatu kebiasaan.

Jika ditelaah lebih dalam, tindakan menunda-nunda sangat membahayakan hidup kita terutama kesejahteraan jiwa kita. Ada 3 faktor yang menyebabkan kita suka menunda-nunda, yang pertama, adalah kesombongan. Dalam Yakobus 4:13 dikatakan “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota Anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung.” Banyak dari kita berpikir bahwa kita masih mempunyai hidup besok atau di waktu-waktu mendatang, masih ada waktu lain untuk mengerjakan tanggung jawab sebagai orang Kristen. 

Nanti saja baca Alkitabnya karena bangun sudah telat, nanti saja berdoanya karena sudah harus berangkat kerja, nanti saja saat teduhnya karena merasa tidak enak hati kepada Tuhan dan tidak layak karena baru berbuat dosa. Nanti, nanti dan nanti. Manusia begitu percaya diri di dalam kesombongannya, seolah-olah kita tahu persis tentang kedaulatan Tuhan dalam hidup kita. Apakah besok kita masih punya hidup untuk melakukan hal-hal yang kita tunda hari ini? Belum tentu! Dalam ayatnya yang ke-14 dikatakan “sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.Betapa sombongnya manusia yang berpikir bahwa masih ada hari esok untuk mempelajari firman Tuhan lebih dalam lagi. Berapa banyak dari kita yang berpikir seperti ini? Besok saya akan lebih taat, besok saya akan membaca Alkitab dengan lebih baik, besok saya akan berdoa lebih sering. Hari ini saya tidak bisa karena saya terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah atau kantor. Ini adalah tipuan si jahat yang menjebak kita karena membuat kita merasa bahwa kita sudah produktif tapi sebenarnya kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kekekalan dan kesejahteraan jiwa kita.

Faktor kedua adalah kemalasan. Dalam Amsal 24:33-34 dikatakan, “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring,maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.” Dalam perikop ini Salomo menekankan tentang pemilik kebun anggur yang malas. Peperangan dalam hidup ini dimulai saat kita membuka mata di pagi hari, peperangan melawan musuh terbesar kita yaitu kemalasan dalam diri kita sendiri. Saat membuka mata, akankah saya langsung bangun dan mencari wajah Tuhan lewat Firman-Nya atau bangun dan bermalas-malasan dengan bermain handphone? Ini hanya satu contoh dari banyak godaan kemalasan yang kita hadapi untuk menunda prioritas dan tanggung jawab yang seharusnya kita lakukan bagi pertumbuhan iman kita.

Dalam tulisannya, Salomo menarik pelajaran yang mengingatkan dia tentang kebodohan yang menggelikan dari seorang pemilik kebun anggur yang malas dimana ketika seharusnya bekerja, ia malah berbaring malas-malasan di tempat tidurnya dan berkata tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi sampai kedua matanya terpejam. Lalu saat dia bangun, bukannya disegarkan oleh tidurnya untuk bekerja, ia malah menjadi lesu dan lemas dan menjadi tidak berguna. Ini bukan hanya berlaku pada urusan duniawi kita tapi juga menunjukkan apa pengaruh signifikan dari kemalasan yang mempengaruhi perkara-perkara jiwa kita. 

Jiwa kita seperti ladang atau kebun anggur yang setiap hari harus kita rawat, hiasi dan jaga. Kita diberikantanggung jawab atas jiwa kita dalam bentuk ketaatan dan hidup kudus sebagai pengikut Kristus sampai nanti Kristus datang dan ini artinya dituntut jerih payah yang besar dari kita untuk memeliharanya. Ini t idak menutup kemungkinan ladang atau kebun anggur kita berada dalam keadaan yang buruk seperti tertutup oleh tanaman parasit atau jeruju (segala macam dosa dari kedagingan kita) yang menghambat atau bahkan bisa membunuh pertumbuhan kerohanian kita. Mengapa bisa sampai seperti ini? Karena kemalasan dan kebodohan diri kita yang bernatur dosa. Seringkali kita tidak mengerti mana yang penting untuk dilakukan dan mana yang tidak penting, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan apa yang bisa ditunda. Dan pada akhirnya ini membawa kehancuran bagi jiwa, seperti diserbu oleh sekumpulan orang bersenjata dan kita tahu tempat seperti apa yang dipersiapkan bagi hamba yang malas. 

Faktor ketiga adalah ketidakacuhan. Kita tidak terlalu peduli kepada hal-hal yang sifatnya spiritual. Tapi mengenai hal-hal duniawi manusia menjadi pribadi yang sangat rajin. Bahkan pekerjaan untuk 2 hari kedepan bisa dikerjakan hari ini untuk mengejar batas waktu karena kita sungkan kepada atasan kita. Kita tidak mau dilihat sebagai orang yang tidak bertanggung jawab di mata manusia lain. Manusia akan berusaha sekeras mungkin untuk terlihat sebagai pekerja atau pelayan yang bertanggung jawab karena mereka tahu imbalan dari kerja keras mereka adalah uang. 

Sungguh menjadi satu hal yang memalukan karena manusia tidak mengaplikasikan etos kerja keras mereka pada kehidupan spiritual mereka. Seringkali kita tidak peduli terhadap penilaian Tuhan akan ketaatan dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen. Kita tidak merasa sungkan untuk menunda dalam membaca Alkitab, kita tidak merasa sungkan dalam menunda-nunda pelayanan dan kita juga tidak sungkan untuk melewati satu hari dalam hidup kita tanpa memanjatkan doa yang tulus di hadapan Tuhan. Pada dasarnya kita tidak melihat pentingnya ketaatan dalam hal-hal yang berbau spiritualitas karena mungkin dalam hati, kita malu untuk terlihat sebagai orang yang rohani dan takut disangka terlalu fanatik oleh orang-orang sekitar kita. 

Ada saat dimana kita merasa sangat berapi-api untuk Tuhan dan ada saat dimana kita merasa tidak terlalu peduli tentang pertumbuhan iman kita. Bahkan yang lebih membahayakan adalah kita tidak lagi begitu peduli kalau kita berbuat dosa. Penyebab utama dari ketidakpedulian terhadap diri adalah sifat tinggi hati dan kecenderungan untuk menipu diri sendiri. Manusia merasa kebutuhan jasmani sudah terpenuhi dengan baik dan ini menyebabkan pengabaian akan kebutuhan-kebutuhan jiwa mereka. Apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan dasar dari jiwa manusia? Berelasi dengan Tuhan, sang pencipta jiwa menjadi kebutuhan utama bagi orang-orang yang sudah diselamatkan dari dalam kekekalan. Ketaatan kita melalui pimpinan Roh Kudus adalah seperti getah yang mengalirkan semua nutrisi dari batang pohon kepada cabang-cabang yang kecil. Kristus adalah batang pohon itu sendiri dan jika tidak ada getah maka tidak mungkin nutrisi itu bisa diserap oleh cabang-cabang itu yang adalah jiwa dan kerohanian kita sendiri. Saat kita menunda - nunda untuk berelasi dengan Tuhan, cepat atau lambat kerohanian kita kering dan tidak mungkin ada pertahanan yang kuat dalam melawan dosa. Sering sekali kita malah berpikir bahwa tidak ada kebutuhan rohani yang perlu untuk dipenuhi apalagi disaat kebutuhan jasmani kita sudah cukup terpenuhi. Betapa kita harus berhati-hati supaya tidak menipu jiwa kita sendiri. Jujurlah pada diri kita sendiri dan pikirkan akan prioritas-prioritas spiritual apa saja yang terus menerus kita tunda untuk lakukan sampai hari ini. 

Terlalu sering kita menunda untuk mendekatkan diri pada Allah Tritunggal dan menunda untuk melakukan tanggung jawab yang Tuhan kehendaki untuk kita kerjakan. Kita bertanggung jawab untuk hidup menjunjung kesucian Tuhan seturut dengan Firman-Nya. Kehidupan doa yang intim dan pendalaman akan Firman Tuhan-lah yang menjadi sarana untuk kita hidup suci sebagaimana Ia adalah suci adanya. Berhentilah berpikir bahwa masih ada kesempatan di jam-jam ke depan, di hari-hari ke depan atau di minggu-minggu ke depan untuk mengenal Tuhan yang kita sembah tapi ingatlah bahwa kebiasaan menunda kita adalah titik awal dimana manusia jatuh dalam dosa dan ini menjadi titik keterpisahan antara manusia dengan Allah yang suci. Lakukan sekarang atau tidak sama sekali. 

Manakah yang akan kita pilih? Seperti dalam Yohanes 9:4 dikatakan, kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama siang, karena akan datang malam, dimana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. Masa hidup kita sungguh terbatas, mungkin kita masih ada besok, mungkin juga tidak. Hendaklah kita peka akan pimpinan-Nya dan milikilah hati yang mau taat didepan maka pengertian itu akan mengikuti di belakang. 

Sibuk

Sibuk?

Bekerja, mengurus rumah, pergi bersama teman-teman, pelayanan di gereja, waktu lembur di kantor, pergi berlibur, rentetan permintaan dan banyak hal lainnya membuat kita merasa letih dan kewalahan. Hidup di zaman seperti ini memaksa kita untuk bisa melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Sungguh padat. Bisa dibilang bahwa kebutuhan, tanggung jawab dan ambisi kita jauh melebihi dari apa yang bisa tangani sehari-hari. Seakan-akan 24 jam satu hari itu tidak pernah cukup.

Sadar atau tidak, ada bahaya besar yang akan menyerang kehidupan kita yang begitu padat dan sibuk. Apakah yang akan terserang? Kehidupan rohani kita sedang dalam bahaya. Saat keseharian menjadi terlalu sibuk, yang terancam rusak dan hancur adalah jiwa kita sendiri. 

Kesibukan membuat manusia cenderung mudah untuk merasa tidak tenang, tidak sabar dan cepat untuk menjadi marah karena hal-hal kecil. 

Bagaimana dengan dinamika rohani? Manusia di dalam relasinya dengan Allah cenderung melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan dan tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan untuk Tuhan. 

Sebagai orang Kristen kita harus mengerti bahwa kehidupan yang terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, sebagian besar disebabkan oleh diri kita sendiri yang terlalu sering berkata ya kepada banyak hal untuk kita lakukan. Kenapa terlalu sering berkata ya kepada banyak orang untuk melakukan ini dan itu? Dua alasan, yang pertama karena takut merasa ditolak oleh orang lain dan yang kedua adalah karena ingin orang lain untuk menyukai diri kita. Terlalu banyak hal-hal duniawi yang menyita banyak waktu kita dan membuat kita merasa sudah menjalani hidup yang produktif padahal sebenarnya pelahan-lahan kita kehilangan esensi dari tujuan yang Tuhan sudah tetapkan terjadi dalam hidup ini. 

Kesibukan juga dapat memunculkan satu kecenderungan untuk menjadi sombong dan terlalu percaya diri kepada kemampuan pribadi, bahkan ingin untuk membuktikan pada diri sendiri kalau kita sanggup. Coba jawab dua pertanyaan berikut ini untuk melihat apakah kita adalah orang yang sombong. 

Apakah saya mencoba untuk berbuat baik? Atau saya mencoba untuk membuat diri saya terlihat baik?

Lawan dari pada kesibukan yang berlebih bukanlah kemalasan tetapi mematikan kesombongan, menerima keterbatasan kita dan percaya kepada penyediaan Allah.

Mari sama-sama pikirkan, apakah yang sebenarnya Tuhan harapkan untuk kita lakukan dalam hidup yang hanya satu kali ini?

Untuk sebagian orang, kesempatan yang datang kepada mereka sering dilihat sebagai suatu keharusan. Berkata iya untuk melakukan hal ini, berkata iya untuk melakukan hal itu. Padahal mungkin hal-hal tersebut di luar dari kemampuan kita. Ujung-ujungnya kita malah sibuk dengan hal-hal yang Tuhan tidak minta untuk dilakukan. Seperti kehidupan Tuhan Yesus saat dia menjadi manusia, Dia tidak mencoba untuk melakukan semua hal, tapi Dia melakukan semua kehendak Bapa di surga. Tuhan Yesus mengerti prioritas-Nya dan dengan setia melakukannya. 

Dia dengan tegas, fokus kepada misi-Nya di dunia ini dan tidak terganggung oleh hal-hal kecil.

Jika seseorang sudah benar-benar men-Tuhankan Kristus dalam hidupnya, orang tersebut akan mengerti, hal-hal apa yang Tuhan ingin untuk dia lakukan. Kalau kita tidak peka terhadap hal ini maka kita dia akan bisa melayani Dia secara efektif. 

Jadilah seperti Maria, bukan Marta. Dalam Lukas 10:38-42, Tuhan Yesus memberikan satu nasihat tentang fokus dalam hidup ini. Pada ayat 42, Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari padanya. Persekutuan dengan Allah dalam firman dan doa adalah hal yang harus terus manusia kejar karena ini adalah anugrah rohani yang paling besar. Apakah kesibukan sehari-hari telah menggeser hal yang paling berharga dalam hidup kita? Kristus adalah satu-satunya sumber kelegaan yang sejati untuk beban dari setiap kesibukan hidup kita (Matius 11:28).

Jika saat ini kita merasa letih dan sangat sibuk, satu hal yang memberikan kesegaran bagi kehidupan kerohanian kita adalah ketaatan di dalam firman-Nya dan diam tenang di bawah kaki-Nya dalam doa. Kristus adalah satu-satunya yang kuat untuk menarik kita dari kesibukan-kesibukan hidup yang secara bertahap mengeringkan jiwa ini.

Persekutuan dengan Allah dalam firman dan doa adalah hal yang harus terus manusia kejar karena ini adalah anugrah rohani yang paling besar.

Bagaimana kita mengetahui pertobatan yang sejati?

"Pak, bagaimana kita tahu bahwa pertobatan kita adalah satu pertobatan yang sejati?"

Ini adalah pertanyaan yang penting karena banyak daripada kita itu salah mengerti. Kita pikir orang yang ada di dalam gereja adalah orang yang bertobat sejati. Kita pikir bahwa orang kalau mengatakan aku sudah terima Yesus Kristus, aku sudah lahir baru, maka itu adalah satu pertobatan yang sejati.

Nah, Saudara-saudara, pertobatan yang sejati atau tidak sebenarnya secara paling dasar tergantung dari satu kata ini: Apakah dia bertumbuh atau tidak? Seperti pohon itu ada pohon yang palsu dan pohon yang asli. Pohon yang palsu tandanya apa? Bedanya apa dengan pohon yang asli? Jawabannya adalah yang satu bertumbuh, yang satu tidak bertumbuh. Yang satu bertumbuh lalu kemudian akan menghasilkan buah, yang satu tidak bertumbuh.

Nah, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa tahu tanda-tanda apa pertumbuhan itu? Maka banyak orang mengatakan, “Oh, tanda pertumbuhan itu adalah orang itu adalah orang yang pergi ke gereja, orang yang melayani, orang yang menjadi pemimpin KTB. Benar, Saudara-saudara, itu bisa menjadi satu dari tanda pertumbuhan, tetapi itu pun harus dilihat lagi di dalamnya.

Pertobatan yang sejati atau tidak sebenarnya secara paling dasar tergantung dari satu kata ini:Apakah dia bertumbuh atau tidak?

Saya akan memberikan sesuatu yang sangat sederhana untuk membuat kita, apakah kita itu bertumbuh, kita itu memiliki iman yang sejati. Maka hal yang pertama adalah apakah ada kerinduan yang dalam untuk mengenal firman. Apakah ada kerinduan yang dalam untuk membaca firman. Suatu hari ada seseorang yang mengatakan kepada saya, “Pak Agus, sekarang saya worry sekali karena anak saya di Amerika sekarang itu sudah mulai jauh dari Tuhan. Dan kenapa, ya, Pak, ya? Dulu di gereja di Indonesia dia begitu aktif, dia ikut remaja, dia ikut pelayanan, dia pianis daripada gereja, lalu kemudian sampai di Amerika itu kemudian dia menjadi orang yang bahkan malas pergi ke gereja. Apakah betul negara itu begitu banyak daripada temptation-nya, begitu banyak orang yang jahat yang berusaha untuk mengeluarkan dia dari gereja?”

Saya katakan, “Mungkin saja, tetapi ada satu hal yang saya mau tanya terlebih dahulu, dari mana Ibu bisa tahu bahwa anak ibu adalah orang yang sungguh-sungguh lahir baru pada waktu dia ada di gereja di Indonesia?” Dan dia sangat tercengang dan kemudian dia mengatakan, “Pasti dia lahir baru.” “Darimana Anda bisa tahu?” Lalu kemudian dia mengatakan, “Dia pergi ke gereja, dia mendengarkan khotbah dengan baik, dia ikut paduan suara, dia melayani.”

Saya tanya kepada dia, “Apakah Ibu lihat di dalam kehidupannya di rumah, ketika dia sendirian, dia mencari wajah Allah? Dia merindukan untuk mengerti firman? Dia membaca Alkitabnya itu rajin, tanpa disuruh, kerena ingin untuk mengenal pribadi Allah melalui firman Tuhan?” Dan ibu itu baru sadar. Tidak. Tidak. Saudara-saudara, Saudara pergi ke gereja, Saudara pelayanan, Saudara aktif sekali pun bukan menjadi tanda sejati Saudara adalah orang bertobat.

Tanda kesejatian dari pertobatan yang sejati adalah orang itu dari mati rohani menjadi hidup, dan hidup itu artinya adalah dia yang tadinya tidak peduli tentang Allah, dia sekarang memiliki satu ketertarikan yang dalam, dia ingin mengenal pribadi Allah, dan itu adalah melalui firman-Nya. Dan hal yang lain setelah itu maka dia ingin hidup untuk menyenangkan Allah, dia makin menyadari bahwa Allah itu mengasihi dia, dia makin menyadari bahwa Allah itu memiliki rencana dalam hidupnya, maka dia ingin hidup untuk menyenangkan Allah. Dia ingin menjaga kesucian bukan karena dihukum, tetapi karena tidak ingin melukai hati Allah. Dia taat bukan karena takut hukuman, tapi karena dia tahu ini adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan kepada dia, dan di dalam hatinya tiada kebahagiaan selain dia bisa taat kepada Tuhan. Dan makin hari makin dia bertumbuh makin bisa memfokuskan seluruh hidupnya hidup bagi Allah saja. Dan itu adalah tanda daripada pertobatan yang sejati di dalam Kristus. 

Tanda kesejatian dari pertobatan yang sejati adalah orang itu dari mati rohani menjadi hidup, dan hidup itu artinya adalah dia yang tadinya tidak peduli tentang Allah, dia sekarang memiliki satu ketertarikan yang dalam, dia ingin mengenal pribadi Allah, dan itu adalah melalui firman-Nya.

Renungan bagi Kaum Muda: Ketakutan akan Penilaian Orang

Seringkali kita sebagai anak-anak Tuhan merasa takut akan penilaian orang terhadap diri kita. Kalau ada orang yang lihat saya berdoa di depan umum, apa mereka akan pikir saya aneh? Kalau tiap kali teman saya ajak jalan saya selalu bilang tidak karena alasan gereja, apa mereka akan mencap saya fanatik? Kebanyakan orang seperti domba yang hanya menjadi pengikut. Kita mengikuti apa yang orang lain ikuti. Kita tidak berani melawan arus. Nilai-nilai yang dianggap penting oleh kebanyakan orang, itu yang kita kejar. Opini orang tentang kita, itu yang kita pikirkan dan menjadi penentu identitas diri kita. Misalnya bagi kebanyakan orang, akhir pekan adalah hari untuk berkumpul bersama teman dan keluarga. Lebih baik kita tidak pergi ke gereja daripada nanti dicap tidak gaul dan terlalu fanatik oleh teman-teman yang mengajak kumpul-kumpul hari Sabtu dan Minggu. Ingatlah apa yang tertulis dalam Matius 10:28,” Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” Bagaimana perasaan kita ketika orang mencap kita fanatik atau tidak gaul? Apakah itu membuat kita menjauhi Tuhan? Apakah kita lebih takut akan penilaian orang lain terhadap kita dibandingkan dengan takut kepada Tuhan? Kolonel James Gardiner, seorang tentara yang berani dan saleh berkata, “Saya takut akan Tuhan, karena itu tidak ada seorang pun yang lain yang saya takuti.” Dalam Yesaya 51:7-8 tertulis, ”Janganlah takut jika diaibkan oleh manusia dan janganlah terkejut jika dinista oleh mereka. Sebab ngengat akan memakan mereka seperti memakan pakaian dan gegat akan memakan mereka seperti memakan kain bulu domba; tetapi keselamatan yang dari pada-Ku akan tetap untuk selama-lamanya.” Apakah ada seorang pun di dunia ini yang bisa menyelamatkan jiwa kita? Tidak! Hidup kita begitu singkat dan penuh ketidakpastian. Satu hal yang pasti adalah bahwa kita pasti akan mati dan dihakimi oleh Allah. Jadi, jangan kita kuatir akan apa yang dunia katakan atau pikirkan tentang kita karena tidak selamanya kita ada di dalam dunia. Jangan malu membiarkan orang melihat kita sebagai pengikut Kristus yang sungguh-sungguh dan jangan pernah takut untuk melakukan apa yang benar walaupun itu berarti kita melawan arus dunia. Oleh: DO

Dunia untuk Kita atau Kita untuk Dunia?

Tahun 2020 merupakan dekade baru yang sangat menggemparkan dunia. Semua ini terjadi karena virus yang tidak terlihat yang disebut Corona. Siapa pun terkena dampak dan imbas dari virus ini, tanpa terkecuali. Negara maju, negara berkembang, negara manapun, semua terguncang dengan adanya virus kecil ini.

Bagaimana dengan kita? Ya, pasti kita semua terkena imbasnya. Bukan hanya di dalam hal pekerjaan atau sekolah yang membuat kita harus menyesuaikan diri tinggal di rumah aja, tetapi secara sadar atau pun tidak, muncul adanya kekhawatiran di dalam diri kita. Ketakutan-ketakutan akan bahaya virus yang mengancam membuat kita berpikir panjang untuk keluar rumah atau parno kalau dekat orang yang tiba-tiba batuk atau bersin.

Virus ini sudah membawa banyak perubahan dalam diri kita. Kita seperti dipaksa berdamai dengannya dengan cara hidup dalam new normal. Keadaan dunia ini seakan-akan mengubah semua rencana dan pola keseharian kita menjadi hal yang baru. Sebagai contoh, dulu ketika kita pulang dari kegiatan apapun di luar rumah, tidak ada dorongan untuk langsung mandi atau cuci tangan. Namun, sekarang hal itu jadi kebiasaan baru yang wajib dilakukan untuk melindungi diri kita dan orang-orang di rumah.

Apapun dampak dari virus ini, ego dan masalah pribadi sering sekali jadi pokok doa kita yang terutama. Permohonan akan perlindungan Tuhan atas kesehatan, karir, dan semua jalan kita di dunia ini. Hal ini sangat wajar, tetapi pernahkah kita terketuk untuk mendoakan orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal? Ketika kita melihat berita tentang dunia dan semua ‘tragedi’ yang terjadi ini, pernahkah kita mohon pada Tuhan untuk memberi belas kasihan pada dunia ini?

“Sebentar, masalah pribadi saya saja belum kelar, apalagi mendoakan orang lain dan dunia?” pikiran inilah yang sering ada dalam hidup kita dan jadi fokus utama. Tuntutan hidup membuat kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik sehingga kita seringkali lupa apa tujuan utama hidup kita di dunia ini. Kita bekerja keras untuk karir yang lebih baik, kita belajar mati-matian untuk menjadi yang terbaik di angkatan, belum lagi masalah finansial, belum lagi planning masa depan, ini, itu, tetapi apakah ‘hanya’ itu yang Tuhan mau untuk kita kerjakan?

Bagaimana kalau kita sendiri tidak sadar bahwa Tuhan mau pakai kita dan kita justru abai akan panggilan-Nya?

Dari semua itu, mari kita pikirkan peringatan keras Mordekhai, orang tua angkat dari Ratu Ester, saat Ratu Ester bersikap tidak acuh terhadap ratapan yang sedang diderita oleh bangsa Yahudi waktu itu. “… Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.” (Ester 4:13-14). Peringatan ini sangat menampar hati saya. Sebagai manusia biasa, Ester pasti memiliki ambisi dan pergumulannya sendiri yang membuatnya abai terhadap bangsanya. Saya percaya, kita semua tahu bahwa Allah pasti punya cara. Allah mampu menggunakan cara apapun, lebih dari sekedar magic, untuk memberi kelegaan dan kelepasan bagi umat-Nya, tetapi bagaimana kalau kita sendiri tidak sadar bahwa Tuhan mau pakai kita dan kita justru abai akan panggilan-Nya? Kitab Ester memang diakhiri dengan sukacita kebebasan bangsa Yahudi akan musuh-musuhnya. Akhir yang bahagia ini tidak akan terjadi jika Allah tidak menggerakkan Ester untuk berespon terhadap peringatan keras Mordekhai yang kemudian diikuti oleh perkabungan, puasa, dan doa yang dilakukan seluruh umat Yahudi.

Nah, kalo gitu, Allah kan pasti punya cara, in the end juga mereka bahagia, ngapain saya harus berdoa? Ntar juga kelar nih pandemik. Well, let’s see. Bisa jadi pandemik ini tidak akan berakhir. Bisa jadi besok ketika kita bangun di pagi hari sudah tidak ada wabah Corona. Segala sesuatu bisa terjadi di luar kendali kita, tetapi perlu kita cermati dan sadari bahwa cara kerja Allah bukan dengan kita berdiam diri saja.

Mari kita lihat apa yang terjadi pada Daniel. Daniel merupakan nabi besar yang dengan rendah hati mempelajari kitab, termasuk kitab Yeremia. Ia menemukan akan adanya jumlah tahun yang berlaku atas timbunan puing Yerusalem, dimana itu artinya akan ada pembebas untuk bangsanya, tetapi pembebasan itu belum kunjung datang. Menanggapi hal tersebut, Daniel bukannya bersikap tidak acuh, tetapi ia justru mengarahkan mukanya pada Tuhan Allah untuk mendoakan, memohon sambil berpuasa, dan mengenakan kain kabung serta abu (Daniel 9:3). Dan Allah menggenapi janji-Nya dengan memberikan Pembebas, tidak hanya untuk bangsa Yahudi saja, tetapi juga seluruh dunia, yaitu Dia yang kita sebut dengan Mesias. Allah memang tidak akan mengingkari janji-Nya, tetapi Ia mau kita berespon dengan tepat terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita, salah satunya dengan cara berdoa.

Saya berdoa karena saya tidak bisa menahan diri. Saya berdoa karena saya tak berdaya. Saya berdoa karena kebutuhan mengalir keluar dari saya sepanjang waktu, ketika bangun dan tidur. Itu tidak mengubah Tuhan. Ini mengubah saya. – C. S. Lewis

Berdoa, berpuasa, dan memohon akan belas kasihan Allah merupakan bagian kita. Sekali lagi, hal ini bukan bertujuan untuk membuat Allah bekerja, BUKAN, tetapi ini untuk menggerakkan, membangun, dan mendorong iman kita terhadap Dia. Lebih daripada itu, kita juga harus sadar kepada siapa kita memohon. Allah adalah Allah yang maha benar, suci, dan tidak kompromi terhadap dosa. Oleh karena itu, doa dan permohonan kita juga harus diikuti dengan menghilangkan our righteousness, merendahkan diri di hadapan Allah, mengakui betapa berdosanya dan kebergantungan kita akan Dia. Betapa sombongnya kita untuk menjadikan ‘aku’ sebagai yang terutama. Mintalah pengampunan akan dosa kita dan dosa umat-Nya, walaupun kita sebenarnya tidak layak, tetapi kita mau lakukan ini demi kemuliaan Tuhan nyata dalam hidup kita baik secara individu maupun komunal.

Jadi, dunia untuk kita atau kita untuk dunia? Menurut saya, ini merupakan sebuah relasi unik. Allah memang menciptakan dunia ini untuk manusia, tetapi Allah juga mempercayakan sebuah tugas untuk manusia, yaitu Allah mau kita berkuasa atas bumi ini (Kejadian 1:26). Definisi kekuasaan ini menjadi tercemar karena manusia jatuh ke dalam dosa dan merasa kekuasaan itu seperti ‘raja kecil’ yang bisa berbuat semaunya. Tetapi sebenarnya “berkuasa” berarti mengelola, menjaga, memelihara, dan memperhatikan, bukan sebaliknya. Ia memanggil kita, mengingatkan kita lagi dan lagi akan tugas yang telah Ia percayakan pada kita terhadap dunia ini.

Pandemik ini seharusnya manjadi peringatan bagi kita semua. Mungkin apa yang dapat kita lakukan saat ini terbatas, tetapi bukan berarti kita bersikap seolah-olah kita berada pada belahan dunia yang lain. Ya, adalah kewajiban kita untuk menjalankan protokol kesehatan, tetapi tugas kita bukan sebatas itu saja. Kita harus ingat, Tuhan mau kita turut memperhatikan dan mendoakan dunia ini. Milikilah hati yang berdoa dan memohon belas kasihan Tuhan bagi dunia, bangsa, gereja, keluarga, dan orang lain. Mari kita menjalankan tugas kita untuk memperhatikan dunia, melakukan apa yang Allah mau untuk kita lakukan bagi dunia ini, dan memohon belas kasihan Allah melalui kesungguhan hati mendoakan keadaan dunia ini.

Oleh: EG

Image source: Comemo

Self Pity (Iba Diri) ternyata berbahaya!

Helen: Hai rekan-rekan Pelita, selamat bergabung kembali dengan podcast ngobrol bareng Pelita. Masih bersama saya, Helen. Kali ini kita akan ngobrol bareng lagi dengan Vikaris Sariwati. Selamat datang kembali, Ibu Sari.

Ibu Sari: Halo Helen, apa kabar?

Helen: Baik, terima-kasih. Bu, kita kan sering banget dengar atau mungkin pernah ngomong kalimat misalnya, “Aku tuh orang yang paling malang sedunia.” Atau, “Ah, memang nasib jelek deh.” Atau bahkan ada yang bilang, “Kasian deh gue.”

Nah, katanya ini namanya self-pity alias mengasihani diri sendiri. Bu, sebenarnya apa sihself-pity itu?

Ibu Sari: Iya, Helen, self-pity itu adalah bagian kecil dari self-talk. Dan betul sekali bahwa self-pity itu adalah satu kalimat yang dikatakan kepada diri sendiri yang berisi yaitu mengasihani diri sendiri, dan ini hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Kenapa? Karena kalau dibiarkan, self-pity ini akan sangat merugikan bagi pribadi yang terus- menerus mengatakan hal-hal yang self-pity kepada dirinya sendiri. Itu akan mengganggu pertumbuhan karakter dia dan juga bahkan akan membuat dia itu menjadi pribadi yang seolah-olah lumpuh karena sangat mengecilkan hatinya, dan akhirnya selalu melihat kepada dirinya yang malang.

Helen: Berarti itu sesuatu yang sangat negatif, ya, Bu?

Ibu Sari: Iya, bukan hanya negatif, tetapi itu sebenarnya masuk ke dalam satu hal yang sebenarnya berdosa. Artinya dia mengatakan hal-hal yang tidak sesuai yang Tuhan mau dia pikirkan. Jadi, selain mengarah kepada diri sendiri, itu juga akhirnya tidak melihat kebaikan Tuhan di dalam hidupnya. 

Helen:Nah, kenapa orang bisa jatuh kedalam self-pity ini, ya, Bu?

Dan apakah ada satu kelompok tertentu yang lebih rentan terkena jebakan self-pity ini?

Mungkin maksudnya seperti, apakah kelompok anak muda? Atau mungkin kelompok orang yang mungkin lebih senior begitu, Bu?

Ibu Sari: Sebenarnya self-pity ini ada dalam setiap pribadi dan ini sebagai satu bentuk nyata kejatuhan kita di dalam dosa. Jadi, dosa itu masuk ke dalam kehidupan manusia dan merusak seluruh aspek hidup manusia, termasuk cara berpikir, dan salah satunya masuk di dalam self-talk dalam bentuk self-pity seperti ini. Jadi, tidak ada bagian atau kelompok orang tertentu yang lebih rentan dibandingkan yang lain, dari kecil sampai sudah tua. Dan ini sesuatu yang sangat berbahaya kalau tidak di sadari, dan itu akan terus-menerus menarik diri masuk ke dalam satu pemikiran yang self-centered, dan akhirnya sangat merugikan sekali, baik secara karakter pribadi dan juga kerohanian.

Helen: Kembali lagi ke pertanyaan saya yang tadi, orang kenapa bisa self-pity, Bu?

Ibu Sari: Jadi begini, kalau dilihat dari kisah perjalanan seorang manusia begitu, ya, seorang anak di tengah keluarga itu biasanya orang tua tanpa menyadari seringkali lebih fokus kepada kelemahan anak, sehingga ketika anak mengalami satu kesalahan atau satu kelemahan, orang tua sering kali cepat untuk mengatakan sesuatu yang negatif. Bukan perbuatannya, tetapi kepada pribadinya.

Misalnya seorang anak yang memang lahir dalam kondisi yang biasa saja, tidak terlalu pintar, tetapi orang tua ingin dia menjadi anak yang pintar, anak yang paling menonjol di kelas, dan ketika harapan orang tua itu tidak terjadi, seringkali orang tua tanpa sadar mengatakan kepada anak, “Kamu anak bodoh!Kamu tidak sepintar kakak kamu! Kamu kok tidak sepintar teman kamu si A, si B…?”. Dan anehnya, kalimat-kalimat negatif itu masuk ke dalam pikiran anak itu dan terekam di dalam memorinya dia, sehingga ketika besar, tentu orang tua nya tidak lagi mengatakan hal dan kata yang sama, tetapi itu akan masuk ke dalam self-talk dia dan menjadi self-pity

Misalnya orang itu menjadi seorang pemuda yang sebenarnya berhasil, tetapi ketika mengalami kegagalan, anehnya kalimat-kalimat self-pity, self-blaming itu keluar lagi.

“Oh, saya memang orang bodoh. Saya memang orang yang tidak berhasil. Saya memang orang yang malang.”

Dan, misalnya, beberapa ciri dari self-pity itu adalah, misalnya, selalu dalam pikiran itu ada merasa diri paling malang dan selalu harus dimaklumi, dimengerti dalam setiap kelemahannya. Misalnya seorang pribadi atau seorang pemuda yang kalau marah itu meledak-ledak, kasar, misalnya, sinis. Ketika sahabatnya bertanya kenapa kamu seperti itu,lalu dia akan menceritakan bagaimana masa lalunya, yang misalnya orang tuanya sering marahin dia, dan kondisi keluarganya, atau dia sering menjadi anak yang sering disalahkan. Akhirnya orang itu akan merasa orang lain itu harus mengerti dia dan dia sendiri tidak mau mengambil tanggung jawab itu, selalu melihat diri sebagai korban, “Ini adalah akibat orang tua saya dulu!” 

Selalu menyalahkan orang lain, selalu menyalahkan kondisi, dan orang self-pity ini selalu minta dikasihani dan dimengerti oleh manusia. Padahal seperti yang kita tahu, sebagai anak Kristen, manusia hanya hidup karena belas kasihan Tuhan saja. Dan yang paling mematikan adalah dia tidak pernah masuk ke dalam satu kata “Pertobatan” karena dia tidak mau mengakui ini kesalahan dia. Jadi, dia selalu blaming orang lain, blaming masa lalunya, dan itu sangat menghambat sekali pertumbuhan rohaninya.

Helen: Kalau begitu, berarti self-pity itu pasti ada level-nya, ya, Ibu Sari? Dari yang ringan, misalnya self-pity karena tidak ada yang like postingan kita di Instagram, sampai level yang paling ekstrem mungkin. Nah, Ibu Sari, sebagai seorang konselor, bisa tidak share kasus self-pity apa yang paling ekstremyang pernah Ibu Sari tangani?

Ibu Sari: Jadi, self-pity ini sebenarnya kalau dibiarkan akan menuju kepada hal yang lebih berbahaya, misalnya kalimat-kalimat negatif tentang orang lain. Itu sesuatu yang di luar diri dia. Kalau itu dibiarkan juga, maka akan muncul kalimat-kalimat negatif tentang dirinya sendiri juga. Dan itu akan membuat dia selalu berbicara kepada dirinya bahwa saya orang yang gagal. Saya tidak mampu. Dan orang itu akan menjadi takut untuk mencoba hal yang baru, dan akhirnya dia tidak menyukai dirinya sendiri, dan bahkan membenci dirinya sendiri. Dan dari perasaan benci itu juga akan muncul, jika ini dibiarkan terus, akan muncul menjadi keinginan melukai diri. Dan itu akhirnya akan muncul keinginan mengakhiri hidupnya karena dia merasa tidak ada yang mengasihi dia, tidak ada yang bisa mengerti dia, dan akhirnya dia merasauntuk apa saya hidup.

Helen: Berarti ekstrem sekali, ya, Bu?

Ibu Sari: Iya, sangat berbahaya sekali.

Helen: Jadi, dimulai dari sesuatu yang kelihatan sederhana, sampai akhirnya bisa sampai self-harming, karena self-pity ini. 

Nah, tadi di awal Ibu Sari bicara bahwa semua orang itu bisa kena self-pity dan tidak ada satu kelompok pun yangimun. Sebagai orang Kristen, bagaimana kita bisa menghadapi self-pity ini dan bagaimana kita bisa terhindar dari jebakan self-pity ini?

Ibu Sari: Jadi, sebenarnya ini menjadi satu hal yang real di dalam diri setiap orang, termasuk orang Kristen. Jadi, ketika seseorang lahir baru, Alkitab mengatakan dia menjadi ciptaan baru di dalam Kristus, maka di hadapan Allah yang suci, kita disucikan di dalam Kristus. Tetapi itu tidak otomatis merubah segala sesuatu di dalam diri kita. Maksudnya begini, ketika orang sudah percaya Tuhan, status rohaninya dia dibenarkan di hadapan Tuhan Allah Bapa, di dalam Kristus Yesus, Roh Kudus berdiam di dalam hati dia, dan setelah itu, orang Kristen yang lahir baru itu akan masuk ke dalam proses pengudusan. 

Jadi, proses pengudusan ini adalah satu proses pengudusan yang Roh Kudus kerjakan melalui firman, melalui persekutuan dengan orang percaya, dan itu termasuk di dalam self-talk ini. Dan seringkali orang Kristen tidak menyadari hal ini begitu signifikan, sehingga itu menjadi sesuatu yang seolah-olah tersembunyi di dalam diri dia. Dan kalau misalnya itu menjadi satu realita pergumulan kita, sebenarnya peperangan rohani itu ada di dalam self-talk itu sendiri. Bagaimana seseorang mendengar firman dan Roh Kudus mengkonfirmasi bahwa firman itu adalah kebenaran, lalu ketaatan itu sebenarnya keputusan pribadi. Jadi, setelah dia menerima kebenaran, tidak secara otomatis kebenaran itu akan bekerja di dalam diri dia, kecuali kebenaran itu masuk ke dalam seluruh aspek hidup dia, termasuk self-talk ini diterangi oleh firman. 

Saya beri contoh, misalnya di dalam Mazmur 42, itu adalah satu Mazmur yang dituliskan dengan judul “Kerinduan kepada Allah.” 

Apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri pemazmur? Dia mengatakan seperti ini, dia bertanya kepada dirinya sendiri di dalam self-talk-nya, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?” Ini satu pertanyaan yang menarik sekali. Dan ini satu realita bahwa self-talk itu ada dan pemazmur ini mengalami satu kegelisahan di dalam dirinya. Dia berkata kepada dirinya, bertanya “Mengapa engkau tertekan dan gelisah di dalam diriku, hai jiwaku?”

Lalu jawaban itu muncul lagi dari dalam dirinya, di dalam self-talk itu juga, ada satu dialog yang mengatakan seperti ini, “Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku.”

Jadi, seolah-olah itu adalah dua orang yang berbicara, tetapi sebenarnya adalah dirinya sendiri.

Dan Martyn Llyod-Jones mengatakan bahwa masalah depresi kerohanian, jadi spiritualdepression itu, sebenarnya masalah utamanya adalah orang Kristen membiarkan dirinya bicara kepada dirinya, tetapi tidak melatih self-talk ini diisi oleh firman. Tetapi pemazmur ini jelas sekali dia mengatakan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku?”

Tentu konteks hidup bermacam-macam membuat jiwa kita tertekan. Sebagai anak Tuhan, kita perlu merenungkan Firman Tuhan, sehingga menghadapi self-talk yang negatif atau self-pity. Kalimat-kalimat yang membuat kita jauh dari Tuhan. Kita perlu berharap kepada Allah, kita perlu terus merenungkan sifat Allah, dan dia mengambil keputusan sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku. Itu cara menghadapi self-talk yang negatif. 

Tapi dunia seringkali mengatakan, “Kamu harus berpikir positif.”

Positive thinking itu tidak sama dengan self-talk yang diperbaharui oleh Roh Kudus. Bedanya adalah positive thinking itu berusaha memasukkan kalimat-kalimat positif dari luar, “Kamu pasti bisa!Kamu pasti berusaha lebih keras lagi. Pasti ada aja jalan keluar.”

Itu sesuatu yang dimasukkan dari luar. Mungkin, bisa berhasil, tetapi hanya sementara dan hanya di luar saja, tetapi tidakpermanen dan tidak sejati perubahan itu. Berbeda sekali dengan self-talk yang dikuduskan oleh firman dan ada kuasa Roh Kudus yang terus menopang kita.

Jadi, menghadapi hal-hal seperti ini, jangan sendirian. Bergantunglah bersama Tuhan.

Helen: Baik, jadi kita sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak kebal terhadap self-pity itu, tetapi kita perlu waspada, jangan sampai kita jatuh ke dalam jebakan self-pity.

Baik, Ibu Sari, sebelum kita akhiri podcast-nya kita hari ini, apakah ada hal yang Ibu Sari mau sampaikan untuk rekan-rekan Pelita di rumah, khususnya mungkin bagi mereka yang bergumul dalam self-pity?

Ibu Sari: Iya, jadi pertama, kita perlu terus mengingatkan bahwa apa yang menjadi pergumulan di dalam hati kita, khususnya di dalam self-talk atau berapa banyak kalimat negatif muncul itu, kita sebagai anak Tuhan harus selalu ingat bahwa kita tidak sendirian, ada Tuhan, ada Roh Kudus di dalam hati kita dan Tuhan tahu apa yang ada di dalam hati kita yang paling dalam. Selain itu, dengan rajin dan sengaja kita latih, amati self-talk saudara. Apakah itu sesuatu yang membangun iman atau itu menjauhkan kita dari Tuhan? Dan mintalah Tuhan secara pribadi membimbing kita untuk kita berani jujur, mengakui, membuka hati kita, dan bertobat. 

Jadi, sebenarnya itu menjadi tanggung jawab kita untuk boleh melatih diri kita, arah pikiran kita tertuju kepada Tuhan, tentu saja di dalam pertolongan Tuhan, dan isilah self-talk kita dengan membaca firman setiap hari, dengan mengingat, merenungkan, dan juga isi dengan ketaatan demi ketaatan, dan doa setiap hari, dan jangan sendirian. Di dalam Yakobus 4:7 itu tertulis seperti ini, “Tunduklah kepada Allah dan lawanlah iblis.”

Jadi, jangan jauhi juga persekutuan dengan orang percaya lain, karena kasih saudara seiman, doa-doa mereka itu sangat kita butuhkan.

Helen: Baik, terima kasih sekali Ibu Sari untuk semua obrolan kita hari ini. Biar ini semua boleh menjadi peringatan dan perenungan bagi kita semua.

Ibu Sari: Kembali kasih.

Helen: Sekian podcast Pelita kita kali ini. Untuk mendengarkan topik podcast Pelita yang lain, silakan mengunjungi www.pelita.net. Tuhan memberkati.

Quote of the day

Alkitab adalah otoritas tertinggi untuk setiap orang percaya, standar iman dan landasan untuk reformasi.

John Wycliffe