Pengusaha Kehidupan, Pelayan Kristus, dan Penyeru Kebenaran (2)

Panggilan dan Talenta

Lantas apa hubungannya antara seluruh narasi besar penciptaan-kejatuhan-penebusan-penyempurnaan dalam jabatan raja, imam, dan nabi yang telah dijelaskan di atas, dengan orang Kristen yang sedang menghidupi panggilan Allah dalam profesi yang ditekuninya? Ketika Kristus memanggil seseorang: “Ikutlah Aku,” 2 kata yang mengubah dunia menurut Os Guinness, maka orang Kristen yang merespons panggilan tersebut memiliki 2 panggilan dalam hidupnya, panggilan umum untuk melakukan Mandat Injil, memberitakan kabar baik kepada seluruh bangsa, dan panggilan khusus menjalankan Mandat Budaya, sesuai dengan talenta yang telah Tuhan berikan kepada tiap anak-Nya.

Dalam perumpamaan tentang talenta di Matius 25:14-30, Yesus dengan jelas memberikan pedoman bagi orang Kristen untuk mengembangkan setiap talenta yang dipercayakan. Setiap talenta yang dititipkan sangatlah berharga. Satu talenta setara dengan gaji 6.000 hari kerja, sekitar 16 tahun jika Sabtu dan Minggu juga dihitung sebagai hari kerja. Sangatlah wajar apabila Tuan yang memiliki talenta meminta pertanggungjawaban hamba-hambanya ketika ia datang kembali. Perumpamaan tentang talenta bisa dipandang sebagai respons orang Kristen dalam berjaga-jaga menyambut kedatangan Kristus yang kedua, ketika penghakiman terakhir datang, masa dimana tiap-tiap orang harus mempertanggungjawabkan respons mereka di hadapan Kristus yang bersemayam di atas tahta kemuliaan-Nya.

Perumpamaan tentang talenta bisa dipandang sebagai respons orang Kristen dalam berjaga-jaga menyambut kedatangan Kristus yang kedua, ketika penghakiman terakhir datang, masa dimana tiap-tiap orang harus mempertanggungjawabkan respons mereka di hadapan Kristus yang bersemayam di atas tahta kemuliaan-Nya

Panggilan sebagai Raja: Pengusaha Kehidupan

Panggilan Kristus agar hamba-Nya mengembangkan talenta merupakan panggilan seperti seorang pengusaha. Tuan sedang pergi dan para hamba dipercayakan untuk menjalankan usaha miliknya. Tidak ada perintah detail bagaimana uang modal usaha itu harus dikelola, tidak ada supervisi tiap saat yang dilakukan Tuan dalam mengawasi kinerja hamba-Nya, dan tidak ada manajemen mikro yang ditunjukkan Tuan dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan. Cuma ada satu pesan “Pakailah ini untuk berdagang sampai aku datang kembali” (Luk. 19:13). Oleh karena itu, diperlukan mental pengusaha untuk menjalankan perintah ini, tidak bisa dengan mental pegawai. Pengusaha berani bayar harga dan mengambil resiko, sedangkan pegawai menunggu perintah dari tuannya dan bermain aman. Hamba yang dipercayakan 5 dan 2 talenta memiliki mental pengusaha, mau mengambil resiko dengan menjalankan modal usaha yang dipercayakan. Bukan tidak mungkin mereka akan mengalami kerugian ketika menjalankan usaha, namun mereka menjalankan dengan sungguh-sungguh dan kemudian menghasilkan laba sesuai dengan jumlah modal usaha yang diberikan. Hamba yang dipercayakan 1 talenta memiliki mental pegawai, bermain aman dengan menguburnya dalam tanah, takut karena tidak ada kejelasan perintah detail tentang cara menjalankan usaha tanpa resiko, padahal dia bisa saja mempercayakan pengelolaan talenta kepada kedua hamba yang pertama. Respons orang Kristen yang menghidupi perannya sebagai Raja adalah seperti respons kedua hamba yang pertama, bekerja dengan hati yang bersungguh-sungguh dalam memimpin dan mengelola yang Kristus percayakan, layaknya seorang pengusaha kehidupan.

Coba sekarang kita tarik ke penerapannya dalam panggilan profesi. Seorang insinyur Kristen yang bertanggung jawab akan mengoptimalkan penggunaan sumber daya untuk mengembangkan kompetensinya sebagai seorang insinyur, mengelola waktu dan tenaga yang imbang antara praktek rancang bangun sebuah karya teknik dan memperlengkapi diri untuk terus relevan dengan ilmu teknik terkini melalui belajar mandiri atau komunitas asosiasi profesi, mengelola sumber daya, mengatur pembagian tugas dan menjalankan fungsi supervisi untuk para teknisi, mengelola keuangan proyek dengan penuh tanggung jawab. Dia juga sadar bahwa dalam menjalankan profesinya mungkin saja dikelilingi oleh rekan yang tidak bisa mengatur sumber daya secara optimal, atau oleh kegagalannya sendiri dalam memimpin sebuah proyek, namun dia juga sadar karena Kristus telah menebusnya, maka dia tetap memegang teguh jabatan raja yang dipercayakan sehingga makin lama makin bisa mengoptimalkan sumber daya yang dipercayakan, berkembang dalam kompetensinya sebagai seorang insinyur yang semakin handal. Bukan tidak mungkin juga dalam perjalanan sebagai seorang insinyur ia akan mengalami masa-masa sulit untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam sebuah pelaksanaan proyek, tetapi dengan bermodalkan cara pandang penyempurnaan yang dikaruniakan Roh Kudus, dia yakin bahwa jerih lelahnya tidak akan sia-sia (1Kor. 15:58).

Panggilan sebagai Imam: Pelayan Kristus

Dari perumpamaan tentang talenta, kita juga bisa melihat bahwa hamba yang dipercayakan Sang Tuan untuk mengelola bukanlah pemilik dari talenta tersebut. Tuanlah pemilik talenta tersebut, dan mereka hanya pelayannya. Tak hanya talenta yang dimiliki tuan, hamba-hambanya pun adalah milik kepunyaannya sehingga merupakan sebuah kewajiban bagi mereka untuk melayani tuannya. Tuanlah yang berinisiatif memanggil para hamba untuk melayani dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Ketiganya merupakan pelayan yang jujur dalam hal keuangan, tidak melarikan uang tuannya, namun respons mereka dalam melayani sangatlah berbeda. Respons dari kedua hamba yang pertama terhadap tanggung jawab pelayanan yang diberikan adalah dengan memberikan kembali talenta yang dipercayakan, ditambah dengan keuntungan yang didapatkan dari menjalankan usaha dengan penuh kerajinan dan keberanian. Hamba yang terakhir tidak menanggapi tanggung jawab pelayanan tersebut dengan rasa bersyukur, tapi dengan rasa takut, tidak berani menerima tugas yang diberikan, sehingga menjadi malas untuk bertindak.

Orang Kristen dalam jabatannya sebagai imam sadar bahwa hidupnya bukan milik dia lagi, melainkan Kristus yang hidup dalam dirinya (Gal. 2:20), hidupnya untuk melayani Kristus dan dipersembahkan kembali kepada Kristus sebagai bentuk ucapan syukur atas kesempatan istimewa yang diberikan. Berdoa untuk bisa bekerja sebaik mungkin melayani di bidang keahlian, persekutuan yang erat dengan Kristus melalui waktu teduh pribadi, menjadi salah satu kebiasaan orang Kristen sebagai imam yang melayani.

Ketika menerapkan jabatan imam dalam bidang pekerjaan, seorang akuntan Kristen akan melayani rekan kerja dan bidang usaha melalui pembuatan laporan keuangan yang akurat, pemberian masukan yang tepat untuk keputusan strategi bisnis berdasarkan hasil laporan keuangan yang handal, pertanggungjawaban keabsahan perhitungan keuangan melalui fungsi audit keuangan, serta perencanaan sistem yang lebih efektif dalam menyajikan laporan neraca dan laba-rugi. Seorang akuntan Kristen bekerja dengan penuh kesadaran bahwa ia akan berhadapan dengan rekan yang mungkin kurang bertanggung jawab sehingga terkadang ia harus bekerja lebih berat karena diminta mengambil alih sementara pekerjaan yang menjadi tanggung jawab rekannya, seperti talenta yang dialihkan dari hamba yang memiliki 1 talenta ke hamba yang memiliki 10 talenta. Dia juga sadar bahwa hidupnya telah ditebus sehingga bisa mempersembahkan seluruh hasil karya dalam pekerjaannya kembali kepada Kristus yang dia layani. “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23). Perjalanannya dalam melayani Kristus melalui profesi mungkin tidak mudah, tak jarang ia harus melewati berbagai tantangan dan kesulitan yang membentuk karakternya untuk menjadi seorang akuntan yang tetap memiliki integritas, melewati masa dimana mungkin tidak ada seorang rekan kerja pun yang menghargai apa yang telah dikerjakan, bahkan mungkin mempermasalahkan kekurangan kecil yang dia perbuat. Tak hanya melayani di pekerjaan, dia juga melayani di gereja lokal sebagai tim yang mengelola keuangan gereja, bersama-sama berjuang untuk mempertanggungjawabkan setiap uang yang Kristus percayakan kepada gereja-Nya.

 

Oleh: AW

Image source: Unsplash

Pengusaha Kehidupan, Pelayan Kristus, dan Penyeru Kebenaran (1)

Pernah kepikiran gak apa yang membedakan dokter Kristen dengan dokter lainnya? Atau akuntan Kristen dengan akuntan lainnya? Pelajar Kristen dengan pelajar lainnya? Mungkin ada yang menjawab dokter Kristen memegang erat sumpah jabatan dan menjalankan praktik sesuai dengan etika kedokteran, akuntan Kristen mencatat setiap pembukuan dengan teliti dan melaporkannya dengan jujur, pelajar Kristen belajar dengan rajin dan tekun. Apakah benar ini pembedanya? Coba lihat dengan lebih teliti lagi, dokter, akuntan, dan pelajar non-Kristen pun melakukan hal yang sama, kan? Mereka sangat berkontribusi memberikan yang terbaik di tempat mereka bekerja, dihormati karena sumbangsih mereka bagi bidang keahlian yang ditekuni, dan tak jarang bahkan memiliki sikap yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang mengaku Kristen. Jadi apa yang membedakan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari lihat apa kata Alkitab tentang panggilan orang Kristen dalam profesi. Di Kejadian 1, Allah memberikan tugas perdana kepada manusia yang baru saja diciptakan menurut gambar-Nya. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1:28). Allah memerintahkan manusia untuk memiliki keturunan yang akan mengisi bumi ciptaan-Nya sekaligus memberikan kekuasaan kepada mereka untuk mengelolanya (Kej. 2:15). Perintah untuk mengusahakan dan memelihara ciptaan-Nya ini dikenal sebagai “Mandat Budaya”. 

Jabatan Raja, Imam, Nabi dalam Narasi Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan-Penyempurnaan

Apabila kita lihat mandat budaya dari sisi jabatan yang diberikan Tuhan kepada manusia, maka dalam konteks ini manusia ditugaskan sebagai “raja” yang mewakili Allah untuk menguasai alam semesta sekaligus mengelolanya dengan bertanggung jawab. Kemudian Tuhan memberikan makanan kepada manusia melalui ciptaan-Nya (Kej. 1:29). Manusia diajak untuk menikmati ciptaan Allah sekaligus menikmati Allah Sang Pencipta, seperti yang disebutkan dalam jawaban pertanyaan pertama Katekimus Singkat Westminster, “Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah serta menikmati Dia selamanya.” Sebagai ungkapan syukur, maka manusia mempersembahkan hasil kelola ciptaan-Nya kembali kepada Allah Sang Pemberi. Tugas jabatan ini seperti seorang “imam” yang mempersembahkan korban syukur sebagai bentuk apresiasi atas berkat yang telah Tuhan berikan. Tugas berikutnya yang Allah berikan adalah menamai tiap-tiap makhluk hidup dengan terlebih dahulu memberi contoh bagaimana Ia menamainya (Kej. 2:19-20). Allah memberi tugas kepada manusia untuk memberi makna kepada ciptaan-Nya, melakukan interpretasi terhadap apa yang diamati, dan menyuarakan pengetahuan dari Allah Sang Sumber Pengetahuan. Ini adalah jabatan manusia sebagai “nabi” yang berbicara dan mengajar tentang kebenaran Allah. Ketiga jabatan ini: raja, imam, dan nabi, langsung diberikan Allah kepada manusia ketika baru saja selesai menciptakan dunia ini.

Di Kejadian 3, kita tahu bahwa akhirnya manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga menyebabkan manusia tidak mampu melaksanakan ketiga jabatan yang telah Allah berikan. Adam, yang seharusnya menjadi pemimpin bagi Hawa, malah lebih memilih mendengarkan perkataan istrinya ikut memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Hawa, yang seharusnya menjadi penolong yang sepadan, yang bersama-sama Adam dimandatkan Allah untuk menguasai alam ciptaan, malah berbalik dikuasai oleh ular, yang lebih rendah derajatnya dari manusia. Urutan yang seharusnya Adam – Hawa – alam ciptaan, sudah dibalik oleh manusia menjadi alam ciptaan – Hawa – Adam. Akibatnya, Allah langsung menghukum manusia saat itu juga. Alam ciptaan yang seharusnya tunduk pada manusia, akhirnya dibuat memberontak sebagai konsekuensi dosa (Kej. 3:17). Tidak hanya gagal menjadi wakil Allah sebagai raja atas alam ciptaan, manusia juga gagal menikmati Allah. Setelah melanggar perjanjian, manusia menjadi takut bertemu dengan Allah. Mereka bersembunyi ketika mendengar bunyi langkah Allah yang berjalan-jalan dalam taman itu. Mereka takut dan malu menghadapi Allah karena telah berdosa, gagal menjadi imam yang seharusnya menghampiri Allah dengan rasa syukur. Alih-alih bersyukur, mereka bahkan tidak bertanggung jawab, menyalahkan pihak lain atas kesalahan yang telah diperbuat. Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular. Manusia yang harusnya sebagai nabi menyerukan kebenaran Allah malah memelintir kebenaran.

Tak hanya menghukum manusia sebagai konsekuensi dosa, Allah juga sudah merencanakan keselamatan yang digenapi melalui keseluruhan karya Kristus. Allah menubuatkan akan terjadi peperangan antara anak manusia keturunan Hawa dan keturunan ular, yang akan dimenangkan oleh Anak Manusia (Kej. 3:15). Allah juga langsung menyiapkan korban pendamaian (Kej. 3:21), sebagai bayang-bayang dari Kristus, korban pendamaian yang sejati, yang menyatukan kembali hubungan yang telah terpisah antara Allah dan manusia. Nama Kristus, artinya “Yang Diurapi”, mengingatkan para pembaca perjanjian lama akan 3 jabatan yang menerima urapan dengan minyak ketika ditahbiskan, yakni raja, imam, dan nabi. Allah berbicara kepada orang percaya melalui perantaraan Kristus, nabi yang juga merupakan Sang Firman itu sendiri, cahaya kemuliaan, dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya (Ibr. 1:2-3). Allah juga menjadikan alam semesta melalui Kristus, raja yang sejati, yang juga menopang segala yang ada dengan penuh kekuasaan, duduk di sebelah kanan Allah, di tempat yang maha tinggi, dikaruniakan nama yang indah, berhak menerima segala yang ada (Ibr. 1:2-4). Kristus, Sang Imam Besar Agung, juga melakukan penyucian dosa, korban pendamaian yang sempurna (Ibr. 1:3). Kristus menebus seluruh dosa umat pilihan-Nya dengan tuntas dan memulihkan 3 jabatan tersebut. Secara status, orang Kristen, sebagai pengikut Kristus, juga menerima urapan yang sama untuk jabatan raja, imam, dan nabi dalam mandat budaya yang diberikan.

Kristus menebus seluruh dosa umat pilihan-Nya dengan tuntas dan memulihkan 3 jabatan tersebut. Secara status, orang Kristen, sebagai pengikut Kristus, juga menerima urapan yang sama untuk jabatan raja, imam, dan nabi dalam mandat budaya yang diberikan.

Tentunya kita tahu bahwa menghidupi status yang sudah dipulihkan tidak otomatis membuat kehidupan orang Kristen langsung sempurna, tetapi ada proses pengudusan seumur hidup. Orang Kristen tahu dengan jelas arah tujuan hidupnya, walau di tengah jalan masih bisa terjatuh, tetapi kemudian bisa bangkit kembali karena Roh Kudus memberikan kekuatan untuk menang atas dosa, mengalami disiplin dari Tuhan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang diperbuat, karena Ia menghendaki orang Kristen untuk beroleh bagian dalam kekudusan-Nya dan menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya (Ibr. 12:6-11). Ada sebuah kemajuan yang terus-menerus terjadi seumur hidup, mengejar hadiah panggilan surgawi yang telah Allah karuniakan dalam Kristus (Flp. 3:14), dengan pengharapan yang penuh kepastian bahwa semua ini akan menuju resolusi di langit dan bumi yang baru (Why. 21:1).  

Oleh: AW

Image source: Unsplash

YOLO – Kamu Hanya Hidup Sekali

Istilah ini sangatlah populer di kalangan orang-orang muda pada zaman ini. Pemikiran para generasi muda zaman sekarang telah teracuni oleh prinsip hidup yang tidak mau pusing dan berpikir panjang. Saya pun juga dulunya sempat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang positif, berpikir tidak ada salahnya untuk bersenang-senang selagi bisa. Prinsip hidup YOLO dalam pandangan saya waktu itu yaitu hidup memang untuk dinikmati selagi sempat karena belum tentu ada hari esok. Ya, memang benar bahwa hari esok belum tentu ada, tapi yang menjadi fokus yang salah yaitu ditujukan untuk kesenangan pribadi yang sementara dari dunia ini.

Dulunya pikiran saya hanya sebatas saya dan keluarga saya saja, memikirkan bagaimana yang terbaik untuk diri saya dan keluarga. Itu sungguh memprihatinkan bukan? Dengan pemikiran yang sempit, saya dulunya lupa akan kedaulatan Tuhan yang memelihara saya sampai saat ini. 

Sejak kecil saya sudah ditanamkan konsep hidup mandiri, yaitu berusaha keras sendiri untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Puncaknya sejak pertama kali saya datang ke Australia. Saya mesti bertanggung jawab penuh terhadap diri saya sendiri dan tidak boleh sampai berpikiran kalau orang tua saya pasti akan membantu. Jadi, hidup di negara asing dengan mengandalkan diri sendiri sangatlah menyeramkan bagi saya yang saat itu baru berusia 18 tahun. Tidak ada pengalaman hidup di dunia kerja, benar-benar baru tamat dari bangku SMA.

Tidak ada kepastian hidup yang bisa saya pegang, ya, tentunya saya percaya kalau Tuhan itu ada, tapi yang saya hidupi dulu yaitu hanya sebatas ke gereja tiap minggu, dan bahkan tidak pernah menghidupi doa-doa saya, karena sebenarnya saya sendiri pun tidak yakin kalau Tuhan itu mendengarkannya.

Waktu-waktu berlalu amat cepat, menginjak tahun kedua di Australia saya baru belajar untuk membaca dan merenungkan firman Tuhan. Awalnya sungguh tidak mudah karena membutuhkan komitmen yang kuat, tapi saat itu seorang teman mengatakan kepada saya kalau firman Tuhan-lah yang menjadi kekuatan di dalam hidupnya. Pada saat itu saya hanya kepikiran: “Saya juga mau merasakan kekuatan dari Tuhan yang nyata.” Jadi, saya coba belajar membaca firman Tuhan sejak saat itu dan akhirnya menemukan suatu kepastian yang terus menguatkan saya.

Yeremia 9:23-24, Beginilah firman TUHAN: “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”

Ketika saya membaca ayat tersebut, saya baru kepikiran dan menyadari kalau Tuhan yang sesungguhnya yaitu Tuhan yang ingin dikenal. Selama ini saya tidak pernah memahami konsep-konsep dasar iman kekristenan karena saya sendiri tidak pernah berusaha untuk bersikap aktif untuk mencari wajah Tuhan. Sebaliknya, dengan sekuat tenaga saya hanya mencoba untuk mengandalkan diri saya sendiri. Ketika mengingat kembali masa-masa seperti itu, rasanya sungguh sangat menakutkan dan sungguh penuh dengan ketidakpastian. Contohnya, pada saat awal datang ke Australia, benar-benar hidup yang mencoba berjalan sendiri dan sungguh tidak ada kelegaan sama sekali. Semua kelihatannya baik-baik saja dan terlihat sangat normal, tetapi tidak ada kelegaan yang menyegarkan jiwa saya. Tidak ada ketenteraman pribadi di dalam hati saya, karena saya hanya mengandalkan diri saya sendiri.

Saya teringat akan kutipan dari Elisabeth Elliot yang mengatakan, “Ketakutan muncul ketika kita membayangkan semuanya tergantung pada kita.”

Namun, setelah saya mengetahui kebenaran firman Tuhan itu, saya benar-benar belajar untuk menyangkal diri saya dan berusaha untuk menghidupinya. Ketika beberapa saat berlalu, saya sangat bersyukur dan baru menyadari tentang doa-doa saya dulu yang bersifat egois, dimana saya hanya meminta apa yang berfokus pada kebaikan diri saya, untuk memuaskan kesenangan pribadi yang hanya sesaat itu, yang ketika saya tidak mendapatkannya saya akhirnya menjadi kecewa dan sulit untuk mempercayainya lagi. Saya dulunya sungguh sangat egois dan hanya memikirkan kepentingan saya saja, padahal saya ada sebagaimana saat ini hanyalah semata-mata karena belas kasihan Tuhan. Merenungkan kembali hal itu, sejujurnya saya sangat bersyukur ketika Tuhan tidak memberikan apa yang saya anggap baik pada saat itu, karena justru itulah yang mungkin akan mencelakakan saya. 

Saya teringat akan Yeremia 17:5-8 yang mengatakan, “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk. Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.”

Setelah saya belajar menghidupi firman Tuhan, saya akhirnya menyadari tentang kebenaran yang paling besar akan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah hidup yang boleh menghasilkan buah, yaitu hidup yang mengerti panggilannya, yang rela taat untuk dipakai menjadi alat bagi kemuliaanNya. Tuhan sesungguhnya tidak memerlukan kita untuk melangsungkan rencana-Nya yang dahsyat. Siapakah kita? Kita mungkin hanya memperlambat pekerjaan Tuhan saja.

Tetapi, ketika kita boleh memiki kesempatan untuk bekerja bagi kemuliaan Tuhan, marilah kita melihatnya sebagai keistimewaan kita sebagai anak-anak Tuhan. Ketika kita hidup untuk melayani Tuhan, di saat yang sama kita bisa mengalami dan melihat pimpinan Tuhan yang sangat nyata, yang senantiasa memimpin hidup kita.

Bersyukur kepada Tuhan jika saat ini saya dapat melihat kalau prinsip hidup YOLO sendiri sangat berarti ketika difokuskan kepada Tuhan, yaitu jika hidup kita yang hanya sekali ini boleh diresponi dengan mengejar pengenalan akan Tuhan yang sejati dan hidup giat bagi Dia, sehingga kita boleh mengenal dan puas di dalam Dia, yaitu Yesus Kristus yang telah menciptakan dan menebus hidup kita. Kita juga terus memohon belas kasihan Tuhan agar Dia berkenan menyatakan kemuliaan, keindahan dan kesucian-Nya kepada kita. Tanpa anugerah dari Tuhan sendiri, tidak ada orang yang sanggup untuk mengenal Dia. Kiranya kita semua boleh menggunakan waktu yang singkat ini untuk terus belajar hidup semaksimal mungkin bagi kemuliaan nama Tuhan. Sungguh tidak ada yang lebih membahagiakan ketika kita bisa memiliki kepenuhan di dalam hidup berjalan bersama Tuhan.

Bersyukur kepada Tuhan jika saat ini saya dapat melihat kalau prinsip hidup YOLO sendiri sangat berarti ketika difokuskan kepada Tuhan, yaitu jika hidup kita yang hanya sekali ini boleh diresponi dengan mengejar pengenalan akan Tuhan yang sejati dan hidup giat bagi Dia, sehingga kita boleh mengenal dan puas di dalam Dia, yaitu Yesus Kristus yang telah menciptakan dan menebus hidup kita.

Oleh: CH

Image source: Unsplash

Lima Menit Lagi Ya

Menunggu sebentar lagi, istirahat sebentar lagi, bersantai sebentar lagi. Sangat sering pemikiran seperti ini muncul saat kita tahu bahwa suatu hal harus diselesaikan dalam waktu yang tidak lama lagi. Apa itu menunda? Menunda adalah tindakan atau sikap yang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan segera. Penundaan adalah hal yang kita lakukan setiap hari tanpa kita sadari dimana kita merasionalisasikan alasan untuk tidak melakukan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan dan berpikir bahwa kita masih punya waktu lain dimasa depan untuk melakukannya. Betapa banyak dari kita telah berhasil memberikan alasan bodoh yang menenangkan jiwa kita dengan memutuskan untuk tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan dengan segera, saat itu juga.

Pada zaman revolusi Amerika, ada seorang komandan tentara Inggris di New Jersey bernama Kolonel Rahl, dia sedang bermain kartu saat seorang tukang pos datang membawa surat penting yang berisi himbauan penting bahwa musuh mereka sedang dalam perjalanan menyeberangi sebuah sungai dekat markas mereka bersembunyi. Kolonel Rahl menaruh surat itu di dalam kantongnya dan tidak peduli untuk membacanya sampai permainan kartu mereka selesai. Lalu setelah membaca surat itu dia baru sadar betapa seriusnya situasi saat itu, dia dengan segera mengumpulkan tentara-tentaranya untuk berperang tapi karena keterlambatannya dalam membaca surat itu, musuh mereka yang sudah sangat dekat berhasil membunuh ribuan dari tentara Inggris yang tidak sempat mempersiapkan diri untuk melawan dan akhirnya daerah mereka berhasil dikuasai oleh musuh. 

Contoh lainnya, bayangkan apa yang akan terjadi jikalau seorang pemadam kebakaran dengan sengaja menunda untuk pergi ke tempat terjadinya kebakaran? Apa yang akan terjadi jika paramedis dengan sengaja menunda perjalanannya ke rumah seseorang yang mengalami serangan jantung? Jika kita menjadi mereka, kita pasti berkata bahwa kita akan langsung dengan segera, saat itu juga melakukan apa yang menjadi prioritas kita. Tetapi ironisnya, sering kali menunda sudah menjadi bagian dalam keseharian kita, menunda lagi, lagi dan lagi, dan akhirnya itu menjadi suatu kebiasaan.

Jika ditelaah lebih dalam, tindakan menunda-nunda sangat membahayakan hidup kita terutama kesejahteraan jiwa kita. Ada 3 faktor yang menyebabkan kita suka menunda-nunda, yang pertama, adalah kesombongan. Dalam Yakobus 4:13 dikatakan “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota Anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung.” Banyak dari kita berpikir bahwa kita masih mempunyai hidup besok atau di waktu-waktu mendatang, masih ada waktu lain untuk mengerjakan tanggung jawab sebagai orang Kristen. 

Nanti saja baca Alkitabnya karena bangun sudah telat, nanti saja berdoanya karena sudah harus berangkat kerja, nanti saja saat teduhnya karena merasa tidak enak hati kepada Tuhan dan tidak layak karena baru berbuat dosa. Nanti, nanti dan nanti. Manusia begitu percaya diri di dalam kesombongannya, seolah-olah kita tahu persis tentang kedaulatan Tuhan dalam hidup kita. Apakah besok kita masih punya hidup untuk melakukan hal-hal yang kita tunda hari ini? Belum tentu! Dalam ayatnya yang ke-14 dikatakan “sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.Betapa sombongnya manusia yang berpikir bahwa masih ada hari esok untuk mempelajari firman Tuhan lebih dalam lagi. Berapa banyak dari kita yang berpikir seperti ini? Besok saya akan lebih taat, besok saya akan membaca Alkitab dengan lebih baik, besok saya akan berdoa lebih sering. Hari ini saya tidak bisa karena saya terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah atau kantor. Ini adalah tipuan si jahat yang menjebak kita karena membuat kita merasa bahwa kita sudah produktif tapi sebenarnya kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kekekalan dan kesejahteraan jiwa kita.

Faktor kedua adalah kemalasan. Dalam Amsal 24:33-34 dikatakan, “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring,maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.” Dalam perikop ini Salomo menekankan tentang pemilik kebun anggur yang malas. Peperangan dalam hidup ini dimulai saat kita membuka mata di pagi hari, peperangan melawan musuh terbesar kita yaitu kemalasan dalam diri kita sendiri. Saat membuka mata, akankah saya langsung bangun dan mencari wajah Tuhan lewat Firman-Nya atau bangun dan bermalas-malasan dengan bermain handphone? Ini hanya satu contoh dari banyak godaan kemalasan yang kita hadapi untuk menunda prioritas dan tanggung jawab yang seharusnya kita lakukan bagi pertumbuhan iman kita.

Dalam tulisannya, Salomo menarik pelajaran yang mengingatkan dia tentang kebodohan yang menggelikan dari seorang pemilik kebun anggur yang malas dimana ketika seharusnya bekerja, ia malah berbaring malas-malasan di tempat tidurnya dan berkata tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi sampai kedua matanya terpejam. Lalu saat dia bangun, bukannya disegarkan oleh tidurnya untuk bekerja, ia malah menjadi lesu dan lemas dan menjadi tidak berguna. Ini bukan hanya berlaku pada urusan duniawi kita tapi juga menunjukkan apa pengaruh signifikan dari kemalasan yang mempengaruhi perkara-perkara jiwa kita. 

Jiwa kita seperti ladang atau kebun anggur yang setiap hari harus kita rawat, hiasi dan jaga. Kita diberikantanggung jawab atas jiwa kita dalam bentuk ketaatan dan hidup kudus sebagai pengikut Kristus sampai nanti Kristus datang dan ini artinya dituntut jerih payah yang besar dari kita untuk memeliharanya. Ini t idak menutup kemungkinan ladang atau kebun anggur kita berada dalam keadaan yang buruk seperti tertutup oleh tanaman parasit atau jeruju (segala macam dosa dari kedagingan kita) yang menghambat atau bahkan bisa membunuh pertumbuhan kerohanian kita. Mengapa bisa sampai seperti ini? Karena kemalasan dan kebodohan diri kita yang bernatur dosa. Seringkali kita tidak mengerti mana yang penting untuk dilakukan dan mana yang tidak penting, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan apa yang bisa ditunda. Dan pada akhirnya ini membawa kehancuran bagi jiwa, seperti diserbu oleh sekumpulan orang bersenjata dan kita tahu tempat seperti apa yang dipersiapkan bagi hamba yang malas. 

Faktor ketiga adalah ketidakacuhan. Kita tidak terlalu peduli kepada hal-hal yang sifatnya spiritual. Tapi mengenai hal-hal duniawi manusia menjadi pribadi yang sangat rajin. Bahkan pekerjaan untuk 2 hari kedepan bisa dikerjakan hari ini untuk mengejar batas waktu karena kita sungkan kepada atasan kita. Kita tidak mau dilihat sebagai orang yang tidak bertanggung jawab di mata manusia lain. Manusia akan berusaha sekeras mungkin untuk terlihat sebagai pekerja atau pelayan yang bertanggung jawab karena mereka tahu imbalan dari kerja keras mereka adalah uang. 

Sungguh menjadi satu hal yang memalukan karena manusia tidak mengaplikasikan etos kerja keras mereka pada kehidupan spiritual mereka. Seringkali kita tidak peduli terhadap penilaian Tuhan akan ketaatan dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen. Kita tidak merasa sungkan untuk menunda dalam membaca Alkitab, kita tidak merasa sungkan dalam menunda-nunda pelayanan dan kita juga tidak sungkan untuk melewati satu hari dalam hidup kita tanpa memanjatkan doa yang tulus di hadapan Tuhan. Pada dasarnya kita tidak melihat pentingnya ketaatan dalam hal-hal yang berbau spiritualitas karena mungkin dalam hati, kita malu untuk terlihat sebagai orang yang rohani dan takut disangka terlalu fanatik oleh orang-orang sekitar kita. 

Ada saat dimana kita merasa sangat berapi-api untuk Tuhan dan ada saat dimana kita merasa tidak terlalu peduli tentang pertumbuhan iman kita. Bahkan yang lebih membahayakan adalah kita tidak lagi begitu peduli kalau kita berbuat dosa. Penyebab utama dari ketidakpedulian terhadap diri adalah sifat tinggi hati dan kecenderungan untuk menipu diri sendiri. Manusia merasa kebutuhan jasmani sudah terpenuhi dengan baik dan ini menyebabkan pengabaian akan kebutuhan-kebutuhan jiwa mereka. Apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan dasar dari jiwa manusia? Berelasi dengan Tuhan, sang pencipta jiwa menjadi kebutuhan utama bagi orang-orang yang sudah diselamatkan dari dalam kekekalan. Ketaatan kita melalui pimpinan Roh Kudus adalah seperti getah yang mengalirkan semua nutrisi dari batang pohon kepada cabang-cabang yang kecil. Kristus adalah batang pohon itu sendiri dan jika tidak ada getah maka tidak mungkin nutrisi itu bisa diserap oleh cabang-cabang itu yang adalah jiwa dan kerohanian kita sendiri. Saat kita menunda - nunda untuk berelasi dengan Tuhan, cepat atau lambat kerohanian kita kering dan tidak mungkin ada pertahanan yang kuat dalam melawan dosa. Sering sekali kita malah berpikir bahwa tidak ada kebutuhan rohani yang perlu untuk dipenuhi apalagi disaat kebutuhan jasmani kita sudah cukup terpenuhi. Betapa kita harus berhati-hati supaya tidak menipu jiwa kita sendiri. Jujurlah pada diri kita sendiri dan pikirkan akan prioritas-prioritas spiritual apa saja yang terus menerus kita tunda untuk lakukan sampai hari ini. 

Terlalu sering kita menunda untuk mendekatkan diri pada Allah Tritunggal dan menunda untuk melakukan tanggung jawab yang Tuhan kehendaki untuk kita kerjakan. Kita bertanggung jawab untuk hidup menjunjung kesucian Tuhan seturut dengan Firman-Nya. Kehidupan doa yang intim dan pendalaman akan Firman Tuhan-lah yang menjadi sarana untuk kita hidup suci sebagaimana Ia adalah suci adanya. Berhentilah berpikir bahwa masih ada kesempatan di jam-jam ke depan, di hari-hari ke depan atau di minggu-minggu ke depan untuk mengenal Tuhan yang kita sembah tapi ingatlah bahwa kebiasaan menunda kita adalah titik awal dimana manusia jatuh dalam dosa dan ini menjadi titik keterpisahan antara manusia dengan Allah yang suci. Lakukan sekarang atau tidak sama sekali. 

Manakah yang akan kita pilih? Seperti dalam Yohanes 9:4 dikatakan, kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama siang, karena akan datang malam, dimana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. Masa hidup kita sungguh terbatas, mungkin kita masih ada besok, mungkin juga tidak. Hendaklah kita peka akan pimpinan-Nya dan milikilah hati yang mau taat didepan maka pengertian itu akan mengikuti di belakang. 

Catatan Kekuatiranku – Menjomblo

Halo, Teman-teman!

Apa kabarnya? Semoga sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan Yesus Kristus.

Topik sharing saya kali ini adalah topik yang mungkin juga menimbulkan kegalauan di hati teman-teman sekalian, yaitu status “Jomblo” alias belum mempunyai pasangan. Jadi ceritanya dulu waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum saya menargetkan untuk menikah setelah lulus kuliah atau kalau sudah kerja. Ya, sekitar umur 23-25 tahun, rasanya itu umur yang pantas untuk menikah dan kemudian punya anak. Tahun demi tahun berlalu, lulus kuliah sudah, kerja juga sudah, tapi kok gak nikah-nikah, ya? Sampai sekarang ini, di umur yang sudah teramat matang untuk menikah.

Melalui firman-Nya, Tuhan menyadarkan dan membuat saya jadi mengerti kalau Tuhan itu lebih berharga, lebih penting dari siapapun juga atau apapun juga yang bisa saya miliki di dunia ini.

Jadi, cita-cita dan harapan gagal dong? Tidak malu diomongin orang-orang? Kalau sampai tidak menikah gimana? Terus terang semua pertanyaan itu sempat menjamuri pikiran saya dan menjadi pergumulan selama bertahun-tahun. Apa sekarang sudah tidak bergumul? Kita jujur-jujuran, ya, mungkin baru beberapa tahun belakangan ini saja saya akhirnya bisa berdamai dan bersukacita dengan hidup saya. Melalui firman-Nya, Tuhan menyadarkan dan membuat saya jadi mengerti kalau Tuhan itu lebih berharga, lebih penting dari siapa pun juga atau apa pun juga yang bisa saya miliki di dunia ini. Apa saja sih yang Tuhan sudah kasih tahu lewat firman-Nya?

Ketidaktaatan akan menghasilkan dosa

Karena tidak mau taat untuk menerima ketetapan Tuhan, saya jatuh di dalam dosa-dosa yang amat berbahaya. Dosa pertama, mengasihani diri atau bahasa kerennya, self-pity. “Kok saya belum menikah? Masa sih saya kurang cantik? Apa mungkin karena kurang tinggi? Kurang pintar gitu? Atau kenapa, ya? Dosa pertama disusul oleh dosa kedua, yaitu kesombongan. “Kok tidak ada yang mau menikah sama saya? Muka juga tidak jelek-jelek amat. Teman-teman yang “biasa-biasa” saja banyak banget yang sudah menikah, sudah punya anak pula, kapan dong giliran saya? Tuhan kok tidak adil!” Coba lihat, sungguh mengerikan. Sombong sekali! Saya pikir saya tuh lebih pintar, lebih tahu apa yang terbaik untuk diri saya daripada Tuhan. Saya mau menempatkan diri saya lebih tinggi dari Tuhan yang adalah Sang Pencipta.

Nancy Leigh deMoss berkata, “Terkadang Tuhan membuat hal jodoh-berjodoh ini seperti rumit sekali karena Tuhan terlalu mencintai kita untuk membiarkan kita mempunyai hidup, baik menikah atau melajang, yang bisa membuat kita merasa tidak membutuhkan Dia.” Bisa saja kan kalau saya menikah, punya suami, punya anak, semua itu menjadi ilah saya, menjadi yang terutama di hati saya, bukan Tuhan. Ini adalah suatu dosa besar lainnya yang mendukakan hati Tuhan.

Tuhan begitu mencintaiku

“Tuhan, apa Tuhan beneran sayang sama saya? Kok sepertinya Tuhan lebih sayang kepada teman-teman yang lain? Mereka sudah menikah, tapi kok saya belum? Kapan dong giliranku?” Pertanyaan-pertanyaan berbeda muncul di dalam pikiran saya sehingga saya jatuh di dalam dosa lain yang bernama self-centered, yaitu dosa yang memusatkan segala sesuatu pada diri. Diriku, perasaanku, dan kemauanku yang terpenting, bukan Tuhan.

Melalui firman-Nya, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh.3:16), Tuhan menegur dengan keras. “Bagaimana mungkin Aku tidak mencintaimu? Aku selalu ada bagimu, mencukupkan segala kebutuhanmu, selalu menyertai hidupmu sampai detik ini. Terlebih lagi, Aku telah mengaruniakan anak-Ku yang tunggal sebagai Juruselamatmu, Dia mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosamu." 

Jadi sekali lagi, ya, pertanyaan-pertanyaan seperti, “Anaknya ada berapa? Hah, sudah umur segini kenapa belum menikah?” sudah sering banget saya dengar. Sebenarnya sih pertanyaan-pertanyaan yang lumrah-lumrah saja untuk ditanyakan, tapi kalau diambil ke hati, ya, bisa membuat kita down. Tapi mungkin bisa dijawab seperti ini, “Saya tidak tahu kenapa belum menikah, tapi saya tetap berharap dan berdoa kepada Tuhan.” Jawabnya jangan dengan muka cemberut, tapi dengan senyuman yang tulus karena ingat, Tuhan begitu mencintaimu!

Percaya kepada Tuhan

Masih ingat dengan pepatah “Tak kenal maka tak sayang”? Kalau kita tidak kenal Tuhan, ya, bagaimana mungkin kita bisa mengasihi-Nya? Bagaimana mungkin bisa mempercayai-Nya? Kepercayaan kepada seseorang itu dihasilkan dari pengenalan yang baik akan orang tersebut. Jadi, bagaimana sih kita bisa mengenal Tuhan? Ya, dengan membaca firman-Nya di Alkitab. Kita akan tahu sifat dan karakter Tuhan, apa yang Tuhan suka atau tidak suka. Kalau Tuhan itu bukan cuma Allah yang murah hati, tapi juga Hakim yang adil. Betapa Tuhan sayang sama kita, Ia mau kita menjadi pribadi yang terbaik menurut ketetapan-Nya dan menginginkan hanya hal-hal yang baik untuk kita. Status menikah atau single itu bukan suatu ukuran atas nilai diri seseorang. Status menikah tidak akan membuat Tuhan mencintai orang itu lebih daripada orang yang belum atau tidak menikah. 

Tuhan tahu yang terbaik untuk saya dan Dia dapat dipercaya. Dipercaya untuk apa? Untuk menuliskan cerita hidup saya dengan teramat indah sejak dari dalam kekekalan. -Nancy Leigh DeMoss Wolgemuth

Di dalam kedaulatan-Nya, Tuhan belum memberikan jodoh kepada saya, tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa Tuhan itu jahat. Tuhan adalah baik, penuh kasih, dan bijaksana. Tuhan tahu yang terbaik untuk saya dan Dia dapat dipercaya. Dipercaya untuk apa? Untuk menuliskan cerita hidup saya dengan teramat indah sejak dari dalam kekekalan. Cara pandang Tuhan tidak sama dengan cara pandang saya. Waktu Tuhan juga tidak sama dengan waktu saya. Dan saya, si orang yang berdosa ini, tidak mungkin mampu untuk mengerti akan jalan-jalan dan ketetapan-ketetapan Tuhan. “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri - Amsal 3:5."

Puas di dalam Tuhan

Contentment in the Lord atau merasa puas di dalam Tuhan atas hidup yang telah Ia anugerahkan adalah pilihan pribadi. Boleh-boleh saja menolak untuk merasa puas, tapi apa mau hidup sengsara dengan hati yang menggerutu? Kalau ada rasa puas di dalam Tuhan, maka kita akan menerima apa yang Tuhan mau berikan, bukan menuntut apa yang kita sendiri inginkan. Rasa puas di dalam Tuhan juga akan membuat kita bisa bersyukur dan bersukacita atas semua pemberian-Nya. Seperti tertulis di 1 Timotius 6:6 bahwa kesalehan disertai dengan kepuasan hati memang akan memberi keuntungan yang besar. Jadi, kamu mau pilih yang mana?

Aku dicipta untuk memuliakan Tuhan

Teman saya pernah bilang, “Jangan sedih karena masih single, orang yang single itu bisa melayani Tuhan dengan lebih leluasa, misalnya ikut perjalanan misi ke daerah terpencil. Kalau sudah punya suami dan anak pasti lebih banyak pertimbangannya. Harus minta ijin dulu sama suami, terus harus diskusi siapa yang akan menjaga anak, apa harus bawa anak dan lain-lain.” Dalam 1 Korintus 7 ada tersirat bahwa Paulus lebih memilih untuk hidup sendiri karena bagi Paulus, orang yang tidak menikah itu mempunyai kebebasan lebih dalam melayani Tuhan daripada mereka yang menikah. 

Charmaine Potter berkata, “Aku ingin menjadi seseorang yang sungguh-sungguh memuliakan Tuhan dengan kehidupan single-ku sekarang ini. Kalau sampai suatu saat nanti, di dalam kehendak-Nya, Tuhan berkata, 'Charmaine, engkau telah begitu memuliakan Aku dengan hidupmu, maka sekarang Aku akan menganugerahkan hidup pernikahan kepadamu, agar engkau bisa lebih memuliakan Aku dengan berpasangan dengan orang tersebut,' maka aku akan bersyukur dan bersukacita.” 

Menikah atau tidak menikah, apapun itu, keduanya adalah anugerah rohani dari Tuhan yang ditujukan untuk penggenapan rencana keselamatan Tuhan bagi umat manusia dan kemuliaan nama-Nya. “Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat - 1 Korintus 7:17.”

Masa depan

Ini adalah rahasia Tuhan, Teman-teman. Jangan takut, jangan kuatir, Tuhan sudah berjanji untuk memberi kita harapan dan masa depan yang indah bersama Dia. Pernikahan itu bukanlah segalanya. Pernikahan antara pria dan wanita di dunia ini hanyalah gambaran dari pernikahan kekal antara Kristus dan pengantin wanita-Nya, inilah yang terpenting. Tuhan mau supaya kita bersiap diri untuk menjadi pengantin wanita-Nya. “Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia - Wahyu 19:7.”

Penutup

Bagi teman-temanku sesama jomblo, ayo, kita serahkan harapan dan doa kita hanya kepada Tuhan. Lihat kebaikan-Nya selama ini, jangan lupa sama doa-doa lain yang sudah dijawab selain dari doa meminta pasangan hidup ini. Tapi, jangan cuma berdoa meminta pasangan, berdoa juga untuk anugerah kesabaran dalam menunggu. Jikalau Tuhan memang berkehendak, Dia pasti akan memberikan jodoh yang terbaik pada waktu-Nya. Kok rasanya lama banget? Mungkin saja, tapi lebih baik untuk menunggu waktunya Tuhan. Percayalah!

Oleh: SH

Image source: Unsplash

Quote of the day

Mereka tidak kehilangan apapun yang mendapatkan Kristus.

Samuel Rutherford