Potret Pelopor Iman: John Calvin

Nama John Calvin tidak dapat dipisahkan dari kata Reformasi, peristiwa besar yang menyapu seluruh Eropa. Sebagai seorang teolog dan negarawan, Calvin membuat dampak yang kuat akan doktrin-doktrin dasar iman Kristen, dan secara luas diakui sebagai salah satu tokoh yang paling penting dalam peristiwa Reformasi. Di balik semua pencapaian besar ini terdapat seseorang yang dengan rendah hati menyerahkan keseluruhan hatinya demi menyatakan kemuliaan Tuhan pada dunia.

Masa Muda

John Calvin lahir pada tanggal 10 Juli 1509, di kota Noyon, Perancis. Salah satu tokoh terpenting dalam sejarah gereja dan Reformasi ini dilahirkan pada waktu Martin Luther berumur 25 tahun dan baru mulai mengajar Alkitab di kota Wittenberg, Jerman. Sebagai anak seorang pengacara yang cukup ternama, Gerard Calvin, ia dibesarkan dalam suatu keluarga yang baik serta memiliki koneksi dengan komunitas gereja pada saat itu, tempat ayahnya melayani.

Pada umur 14 tahun, dengan bantuan beasiswa dan kenalan orang tuanya, ia memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Paris. Di dalam sekolah tersebut, ia menghabiskan masa mudanya mempelajari teologi dan bahasa Latin dalam rangka persiapan masuk ke dalam kependetaan di gereja Katolik.

Namun, di Noyon, relasi ayahnya dengan keuskupan gereja menjadi tegang karena permasalahan antara badan hukum ayahnya dengan gereja. Ini menyebabkan keluarganya di ekskomunikasi pada tahun 1528, dan membuat ayahnya meminta Calvin yang muda untuk meninggalkan studi teologisnya di Paris untuk mengejar studi hukum di Orleans. Di kota inilah ia mengenal akan gerakan Reformasi dan figur-figur penting dalam gerakan tersebut, diantaranya adalah Martin Luther, John Hus dan John Wycliffe.

Pertobatan

Setelah setahun mempelajari hukum di Orleans, ia melanjutkan tiga tahun pendidikannya di Bourges. Di kota ini, ia hidup dikelilingi banyak sekali penganut ajaran humanisme. Tetapi, ia belajar di bawah profesor yang mengajar Yunani bernama Melchior Wolmar, yang adalah seorang Lutheran. Guru ini sangat mempengaruhi Calvin, dan membangkitkan semangatnya untuk giat mempelajari hukum, Firman serta iman Kekristenan. Ini membuatnya tidak merasa kagum akan keanggunan kosong yang menjadi ciri beberapa humanis terkenal, malah sebaliknya, ia kecewa akan mereka.

Banyak sekali perdebatan mengenai tahun pertobatan Calvin, yang diperkirakan terjadi di antara 1533-1534 pada waktu dia berumur 24 tahun. Keterangan yang ada sangatlah sedikit, dan Calvin hampur tidak pernah menulis berkenaan dengan masa mudanya. Satu-satunya cerita yang ia tuliskan tentang kelahiran barunya hanya berupa satu paragraf dalam pembuka buku tafsiran kitab Mazmur:

“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”

Allah menaklukkan kekerasan hatinya dan begitu membakar jiwanya untuk hidup bagi Tuhan yang jauh melebihi ketaatannya dalam mempelajari hukum atas permintaan ayahnya. Tetapi untuk menghormati ayahnya, ia terus menempuh pendidikannya sampai kematian ayahnya pada tahun 1531. Calvin mendapati dirinya bebas dari permintaan ayahnya dan ketika ia lulus sebagai Doktor Hukum pada tahun 1532, ia kembali ke Paris untuk belajar teologi.

“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”

Pelarian, Perantauan, dan Pengajaran Inti Iman Kristen

Pada tahun 1533, 16 tahun sesudah Martin Luther memakukan 95 tesis di Wittenberg dan meluncurkan Reformasi, Calvin berada di kota Paris, dengan hati baru dan iman Kristen. Suatu ketika, Nicholas Cop, sahabatya berkhotbah di Universitas Paris yang sangat kontroversial. Ia menyatakan bahwa Kristus adalah pengantara satu-satunya antara manusia dan Allah, bukan Maria atau orang-orang kudus. Khotbah ini, yang sebagian konon ditulis oleh Calvin, memaksanya dan Cop untuk kabur dari kota karena mereka dianggap sebagai penganut ajaran sesat.

Dalam pengasingan, pada Januari 1535, Calvin pergi ke Basel di mana ia akan menulis dan menerbitkan edisi pertama buku Institutes of the Christian Religion (Institutio: Pengajaran Inti Iman Kristen). Edisi pertama ini diterbitkan pada Maret 1536 dan cukup pendek dibandingkan karya akhirnya yang melebihi 1000 halaman. Buku ini ia buat untuk dapat muat dalam kantong pengkhotbah supaya dapat dibawa dan dibaca di manapun dengan mudah.

“Tanpa pengetahuan tentang diri, tidak ada pengetahuan tentang Tuhan.”

Berkenaan dengan buku ini, ia menulis, “Yang ada dalam pikiran saya adalah menyatakan beberapa pengajaran dasar yang olehnya siapa pun dapat dibentuk untuk mengejar kesalehan sejati. Saya menulis buku ini terutama untuk saudara-saudari sebangsa saya, karena saya melihat bahwa banyak orang lapar dan haus akan Kristus, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang Dia.” Amatlah luar biasa bahwa pengajaran dasar ini akan tumbuh menjadi salah satu buku paling penting dalam sejarah gereja.

Dalam kesuksesannya menerbitkan buku ini, ia meninggalkan Basel pada tahun 1536 menuju kota Strasbourg supaya dapat menghabiskan hidupnya dalam studi dan menulis buku di bawah pengajaran Martin Bucer, seorang reformator terkenal.

Tetapi, dalam perjalanannya, ia mendapati bahwa jalur ke Strasbourg tertutup karena perang antara Charles V dan Francis I pada jaman itu, yang mengharuskan Calvin mengambil jalur lain, dan terpaksa singgah satu malam di kota bernama Geneva. Di Geneva inilah, Calvin nanti akan mengembangkan kota ini dalam banyak aspek termasuk teologi serta pemerintahan.

Geneva dan Strasbourg

Di Geneva, reformator pertama kota itu yang bernama William Farel mendapat kabar bahwa penulis Institutes yang terkenal itu singgah untuk semalam. Farel, yang memelopori reformasi di Geneva pada tahun 1536 berusaha memohon dan menghimbau Calvin untuk tinggal di Geneva supaya ia dapat mengembangkan gerakan reformasi di kota ini dengan baik. Namun, Calvin menolak permohonan Farel. Ia melihat dirinya sebagai seorang akademik, bukan pendeta. Hatinya tetap tergerak untuk menyendiri di Strasbourg untuk menulis buku yang nantinya akan bermanfaat untuk Reformasi di seluruh Eropa.

Farel yang melihat Calvin tidak mampu digerakkan oleh segala perkataannya kemudian dengan berani menyatakan kalimat terakhirnya kepada Calvin, “Aku berkata kepadamu, dalam nama Allah yang Mahakuasa, bahwa kecuali engkau menetap di sini sebagai rekan sekerja dalam pekerjaan Allah, kiranya kutuk-Nya ditimpakan padamu, karena engkau mengejar keinginanmu sendiri, bukan keinginan Kristus!”

Uniknya, Calvin pun akhirnya tunduk dan menerima tawaran Farel. Calvin pun menetap di Geneva dan pada Januari 1537 ia bersama Farel berjuang keras untuk menyebarkan gerakan Reformed di kota tersebut. Namun, waktu Paskah setahun kemudian, ia dan Farel diusir oleh dewan kota oleh karena musuh-musuh mereka yang menduduki posisi pemerintahan yang tinggi dan tidak senang akan perubahan yang dibawa dua orang ini. Meski hatinya sangat tergerak untuk Geneva, ia pun tunduk pada keputusan pemerintah yang ia lihat sebagai kehendak Allah dan pergi meninggalkan Geneva.

Calvin pun berangkat pergi ke Strasbourg, kota di mana Martin Bucer sedang melayani sebagai reformator yang besar. Calvin menghabiskan tahun-tahun yang paling bahagia dalam hidupnya di kota ini. Setelah banyak memohon dengan sangat – dan kemudian menegur dengan keras bahwa keengganan Calvin sama seperti nabi Yunus adanya – Bucer dengan sukses menggerakkan Calvin untuk menggembalakan 500an jemaat di kota tersebut. Bucer sendiri sangat mempengaruhi Calvin dalam pemahamannya akan posisi pelayanan gerejawi dan tatanan ibadah serta sistem pendidikan.

Pada tahun 1539, ketika melihat Geneva sudah ditinggalkan oleh para reformator, seseorang Kardinal bernama Sadolet menuliskan surat pada kota itu untuk berusaha mengembalikan mereka kepada gereja Katolik. Karena tidak ada orang yang fasih secara teologi untuk membalas Kardinal tersebut, Geneva pun memutuskan untuk memohon pertolongan Calvin. Calvin menuliskan surat balasannya yang sangat terkenal kepada Kardinal Sadolet mewakili Geneva, dan hal ini mulai memulihkan relasi dan reputasi Calvin dengan kota tersebut.

Pada bulan Agustus tahun 1540, kebahagiaannya bertambah setelah ia menikah dengan Idelette de Bure, yang berada dalam pengembalaan Calvin ketika ia melayani di Strasbourg. Ia sangat menghargai kerohanian istrinya, dan mereka menikmati kehidupan suami-istri yang indah.

Tetapi, pada 13 September 1541, tahun-tahun bahagia Calvin berakhir. Geneva meminta Calvin untuk kembali. Ia agak enggan untuk kembali, tetapi ia merasa bahwa kehendak Tuhan mendorongnya untuk pergi, dan ia pun taat dan berangkat ke kota lamanya.

Kembali ke Geneva, dan Tahun-tahun Gelap

Calvin pun kembali dan menetap di Geneva, yang nantinya akan menjadi bagian hidupnya yang paling dikenal orang masa kini. Pada periode inilah Calvin akan menderita banyak sekali pergumulan yang amat berat.

Ketika Calvin kembali ke Geneva, dia memakai wawasan yang ia dapat di Strasbourg untuk menyusun bentuk-bentuk kelembagaan gereja (pendeta, diaken, penatua) serta membentuk suatu Konsistori. Konsistori adalah sebuah badan pengadilan gerejawi yang terdiri atas penatua dan pendeta, yang diberikan otoritas untuk menjaga ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Badan ini membantu mengubah Geneva menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."

Tahun 1542 dimulai dengan tulah yang menyapu Strasbourg dan Geneva, menyebabkan banyak sekali kesakitan dan kematian. Calvin menolak untuk meninggalkan jemaatnya demi mencari aman di luar kota, tetapi ia meresikokan hidupnya untuk tetap di Geneva, melayani dan menghibur jemaatnya yang menderita.

Aku ingat bahwa aku bukan milikku sendiri, maka aku mempersembahkan hatiku sebagai korban bagi Allah.

Kemudian, pada musim panas tahun itu, anak Calvin lahir dan mati dua minggu kemudian. Kematian anaknya merupakan pukulan amat berat baginya, dan ini ditambah dengan kondisi istrinya yang sakit-sakitan sampai kematiannya pada tahun 1549. Dalam kondisi ini, ia terhibur dengan kehadiran teman-teman dekatnya melalui surat dan korespondensi mereka. Dalam salah satu suratnya ia menulis ke sahabat dekatnya Pierre Viret, “Tuhan telah menyebabkan luka parah dan pahit dalam kematian bayi laki-laki kami. Tetapi Dia sendiri adalah seorang ayah dan paling tahu apa yang baik untuk anak-anaknya.”

Namun, di dalam kegelapan ini, titik terang pun tetap bersinar baginya. Pada tahun itu juga Calvin dan Heinrich Bullinger (penerus reformator besar Huldrych Zwingli) menyusun Konsensus Zurich, yang menyatukan Gereja-Gereja Reformed di Swiss dan meletakkan fondasi untuk apa yang masih kita sebut gereja Reformed hari ini.

Kaum Libertine dan Perkara Servetus

Tahun 1553-1554 disebut seorang sejarawan gereja, T.H.L. Parker, sebagai periode signifikan dalam hidup Calvin. Dua peristiwa penting terjadi pada waktu ini: peperangan Calvin dengan kaum libertine yang mencapai puncaknya pada 3 September 1553, dan perkara Servetus yang terkenal sangat kontroversial dalam hidup Calvin pada 26-27 Oktober 1553.

Kaum libertine adalah sekelompok orang yang menganggap hidup sebagai sesuatu yang bebas mereka jalani sesuka hati nurani mereka. Ini menyebabkan mereka dengan bebas dan terbuka hidup dalam dosa dan hidup amoral, dengan kebebasan dalam seks dan mabuk-mabukan serta pesta pora. Meski mereka memiliki sikap hidup yang sangat amoral, mereka menganggap diri sebagai jemaat gereja yang baik dan ingin ikut serta dalam perjamuan kudus.

Calvin dengan keras menentang ini dan menyatakan disiplin gereja, memperingatkan kaum ini bahwa mereka tidak dapat berbagian dalam perjamuan tanpa pertobatan dari kehidupan mereka yang berdosa. Namun, pemerintah kota berpihak dengan kaum libertine dan memerintahkan gereja untuk mengijinkan kehadiran mereka dalam perjamuan. Calvin tidak bergeming.

Klimaks pertentangan ini datang pada 3 September. Kaum libertine memaksa masuk ke dalam gereja, dengan pedang di tangan seolah-olah menantang Calvin untuk mengijinkan mereka ikut perjamuan atau ia akan dibunuh. Konon, Calvin mengutarakan kalimat yang terkenal ini, “Engkau boleh meremukkan tanganku; engkau boleh memotong lenganku; engkau boleh mengambil hidupku; darahku milikmu, bolehlah engkau curahkan. Tetapi, engkau tidak akan pernah mampu memaksaku untuk memberikan apa yang kudus kepada apa yang hina, dan menghina meja Allahku.”

Theodore Beza, penerus Calvin di Geneva dan penulis biografinya, mencatat, "Setelah ini tata perjamuan dirayakan dengan keheningan yang amat dalam, dan di dengan hormat oleh semua yang hadir, seolah-olah Tuhan sendiri berada di antara mereka."

Para libertine undur dan tidak hadir. Konfrontasi langsung terhindarkan, namun kaum ini berusaha menjatuhkan Calvin melalui perkara Servetus yang tiba setelahnya.

Servetus adalah seorang Spanyol yang cukup ternama pada jaman itu. Ia adalah seorang Katolik, dokter medis, pengacara, dan ahli teologi yang terpengaruh ajaran humanis. Permasalahan diri Servetus adalah dalam doktrinnya tentang Allah Tritunggal yang ditetapkan baik gereja Katolik maupun Reformed sebagai ajaran sesat, namun mempengaruhi banyak orang.

Pada tahun 1553, Servetus dipenjara di Spanyol menunggu hukuman mati oleh gereja Katolik karena ia menentang ajaran Tritunggal. Ia berhasil melarikan diri, dan bersembunyi di Geneva. Ketika kehadirannya ketahuan oleh orang-orang di kota, ia ditangkap dan diadili atas dasar pengajaran sesat. Calvin dipanggil sebagai jaksa penuntut. Rincian perkara ini kurang jelas dalam sejarah, tetapi beberapa sejarawan mencatat Calvin menaruh belas kasihan pada Servetus dan menghimbaunya untuk kembali ke ajaran yang benar serta memohon pemerintah kota untuk memberi hukuman yang lebih ringan.

Namun, pada akhirnya Servetus dijatuhi hukuman mati pada tanggal 26 Oktober 1553 dan dibakar pada esok harinya. Kaum libertine, musuh Calvin membesar-besarkan perkara ini dan mencoreng nama Calvin di mata umum atas kekejaman dan kejahatan Calvin dalam mengutuki serta menghukum mati Servetus. Tindakan Calvin yang kurang elok dalam menangani perkara ini juga dikecam oleh teman-teman dekatnya. Hal ini menjadi pokok kritik utama akan hidup Calvin sampai sekarang.

Tahun-tahun Keemasan Calvin

Sisa hidup Calvin bisa disebut sebagai tahun-tahun keemasan Calvin. Dengan dukungan mayoritas pejabat di dewan kota, segala kemampuan Calvin dalam aspek teologi, hukum, serta pemerintahan muncul dan berpengaruh dengan besar.

Ia mendirikan Akademi Geneva pada tahun 1559, sekolah umum gratis bagi masyarakat dengan Theodore Beza sebagai rektor pertama. Tercatat ketika Calvin mati, lebih dari 1500 orang bersekolah di sana. Banyak lulusan sekolah ini diperlengkapi dan diutus ke banyak tempat di Eropa, dan menggerakkan kebangunan rohani besar di seluruh pelosok negeri.

5 tahun terakhir hidupnya diisi dengan khotbah dan menulis buku. Ia berkhotbah 3 kali seminggu (yang dulunya 2 hari sekali) dan rata-rata 1100 orang menghadiri setiap khotbahnya. Buku yang ia selesaikan selain Institutes adalah tafsiran akan hampir seluruh bagian Alkitab (kecuali kitab sejarah Perjanjian Lama, Sastra Hikmat, surat-surat kecil Yohanes serta Wahyu).

Calvin jatuh sakit parah dalam musim dingin tahun 1558 pada usia 49 tahun. Merasa bahwa ia sebentar lagi mati, Calvin mengalihkan sedikit tenaganya yang tersisa untuk merevisi buku Institutes. Ingin meninggalkan gereja dengan edisi yang paling baik, ia bekerja dengan giat untuk menyelesaikannya meskipun dalam keadaan sakit keras. Kesehatannya membaik pada tahun 1559, dan ia menyelesaikan edisi terakhir dari karyanya dalam bahasa Perancis pada tahun 1560.

Makam Tanpa Tanda

Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Kecepatan kerja Calvin mulai melambat pada bulan Febuari 1564, dan tenaganya mulai hilang dan ia tidak mampu untuk berkhotbah ataupun mengajar. Namun dalam kesakitan ini pun, semangatnya tak pudar dan ia terus menulis karya-karyanya dengan kekuatan yang tersisa.

Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-teman dekatnya yang kuatir akan banyaknya pekerjaan yang ia lakukan sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?" Pada saat-saat terakhirnya, ia mengundang semua teman dekatnya dewan kota serta Konsistori untuk pertemuan terakhir serta meminta maaf akan seluruh kesalahannya, baik sikap berangnya dan kelemahannya.

Calvin tahu bahwa ia akan dikenang orang lama sesudah ia mati. Ia pun berusaha keras untuk hilang dari tulisan sejarah sebisa mungkin, meminta teman-temannya untuk mengubur dia di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara, untuk menghindari perantau datang melihat tempat pekuburannya dan mengkultuskan dirinya sebagai orang suci, suatu sikap pemberhalaan yang ia tentang seumur hidupnya.

“Sifat manusia boleh dikatakan adalah pabrik berhala yang abadi.”

John Calvin meninggal di Geneva pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang tidak ditandai, untuk menghormati permintaannya. Tidak diketahui kubur mana yang merupakan miliknya, sebuah batu dengan ukiran inisialnya, “J.C” ditambahkan di abad ke 19 untuk menandakan kubur yang dianggap miliknya.

Hidup yang ia telah selesaikan, ia arahkan kepada satu tujuan, tidak untuk membesar-besarkan dirinya sendiri tetapi berjuang sekuat mungkin untuk mengarahkan pandangan manusia ke Pribadi yang telah mengasihi dan menyelamatkannya, yaitu Allah yang layak ditinggikan dan dipermuliakan selama-lamanya.

Image source: Learn Religions

Charles Spurgeon

Masa Muda

Charles Spurgeon lahir pada tanggal 19 Juni 1834 di Kelvedon, sebuah desa kecil di Essex, Inggris. Dia merupakan putra dari pasangan John dan Eliza Spurgeon, anak pertama dari 17 bersaudara, tetapi hanya 8 bersaudara yang Tuhan ijinkan melanjutkan hidup di dunia. Pada umur 10 bulan, keluarga Spurgeon pindah ke Colchester dan kemudiaan saat masih berumur 16 bulan John dan Eliza mempercayakan Charles untuk dibesarkan oleh kakek neneknya, James dan Sarah di Stambourne. Tidak diketahui dengan pasti mengapa John dan Eliza mengirim si kecil Charles untuk hidup bersama kakek dan neneknya. Tetapi dari hal yang tidak dapat dipahami manusia ini, tersembunyi rencana besar Tuhan untuk Spurgeon, karena di tempat inilah Spurgeon dipersiapkan Tuhan untuk menjadi pelayan-Nya.  Sebagai seorang hamba Tuhan, rumah James Spurgeon penuh dengan buku-buku peninggalan orang suci dan para tokoh puritan. Spurgeon menghabiskan masa kecilnya membaca semua buku yang ada, dan diantaranya adalah Pilgrim's Progress dari John Bunyan menjadi buku favorit yang dibacanya lebih dari 100 kali. Isi buku ini terus hidup di hati Spurgeon hingga akhir hayatnya.

Kelahiran Baru

Sebagai putra dan cucu dari hamba Tuhan, Spurgeon tumbuh dengan pengetahuan akan firman Tuhan dan doktrin kaum Puritan yang kuat, namun dia baru mengalami kelahiran baru ketika berumur 15 tahun. Ketika Spurgeon sedang dalam perjalanan ke gereja yang biasa dia kunjungi, badai salju memaksa dia berhenti di sebuah gereja Methodist kecil yang sudah tua. Sekitar 12-15 orang hadir dalam kebaktian hari itu. Namun karena badai salju, pendeta gereja tersebut tidak dapat hadir dan seorang pria kurus menggantikannya untuk berkotbah di mimbar. Dia membuka Alkitab dan membacakan ayat dari kitab Yesaya 45:22 yang berbunyi, “Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi”. Seakan dapat membaca isi hati Spurgeon, pria itu memandangnya dan berkata “Anak muda, kamu berada dalam masalah. Dan kamu tidak akan dapat keluar kecuali kamu mencari Kristus”. Kemudian dia mengangkat tangannya dan berteriak, “Cari, Cari, Cari!”  Saat itulah Roh Kudus membukakan mata Spurgeon untuk melihat jalan keselamatan, menganugerahkan kelahiran baru dan hati yang penuh dengan suka cita. Ketika dia pulang ke rumah, orang tuanya langsung melihat perubahan nyata dalam diri Spurgeon, senyum penuh kebahagiaan terpancar di wajahnya, dia bukan lagi seorang anak yang muram, dia berubah menjadi pribadi yang ceria dan bersemangat. Malam itu Spurgeon yang sudah lahir baru pergi ke Gereja Baptis Eld Lane bersama ibunya dan tak lama setelah itu dia dibaptis di Isleham Ferry di River Lark.

Awal Pelayanan 

Spurgeon pertama kali berkotbah di depan kongregasi jemaat di Teversham chapel, dia kemudian bergabung dengan Gereja Baptis St. Andrews Street menjadi pengkotbah ke desa-desa sekitarnya. Pada tahun 1851, Gereja Baptis Waterbeach mengangkat Spurgeon menjadi gembala saat dia baru berumur 17 tahun. Dia terkenal dengan panggilan “Boy Preacher”. Namun penampilan dan umurnya yang masih sangat muda ini bukan cerminan dari kedewasaan dan kedalaman kotbah yang disampaikannya.  Dalam penggembalaan Spurgeon, Tuhan menganugerahkan banyak jiwa datang ke gereja Waterbeach. Jemaat yang awalnya hanya 40 orang berkembang menjadi sekitar 450 orang. Pada umur 19 tahun Spurgeon memulai pelayanan di London di Gereja New Park Street, sebuah gereja yang sudah berdiri selama 200 tahun. Gereja ini sangat terkenal di masa lalu tetapi telah banyak ditinggalkan jemaatnya. Pelayanan Spurgeon dengan segera menarik kedatangan banyak jemaat, 4500 orang datang untuk mendengarkan kotbah Spurgeon tiap minggunya.

Tragedi Surrey Garden Hall & Gereja Metropolitan Tabernacle

Seiring penyertaan Tuhan dalam pelayanan Spurgeon, gereja New Park Street mulai mengalami kendala daya tampung gedung, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menyewa Surrey Garden Music Hall.  Surrey Hall yang didesain untuk menampung 12 ribu orang dipenuhi oleh lebih dari 22 ribu jemaat. Pada suatu kebaktian tahun 1856, saat Spurgeon mulai berdoa, beberapa orang berteriak “Kebakaran”, “Tempat ini akan rubuh”, seketika kepanikan melanda jemaat dan akhirnya mengakibatkan 7 orang meninggal dan 28 orang masuk rumah sakit. Tragedi ini nyaris mengakhiri pelayanan Spurgeon, dia harus dipindahkan ke luar kota di mana dia tenggelam dalam depresi yang sangat kelam. Tetapi Tuhan membawa Spurgeon keluar dari kegelapan melalui ayat Firman Tuhan Filipi 2:9 yang berbunyi, “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama”. Belajar dari tragedi tersebut, gereja memutuskan untuk melakukan perubahan drastis. Pada bulan Maret 1861 kongregasi gereja pindah ke Metropolitan Tabernacle yang memiliki kapasitas 5000 tempat duduk ditambah dengan ruang yang memadai untuk 1000 orang berdiri. Ini adalah gedung gereja paling besar pada saat itu. Gereja Metropolitan Tabernacle menjadi rumah Spurgeon di sepanjang sisa hidup dan pelayanannya. Gereja ini terus berkembang pesat, kuasa Roh Kudus memenuhi kehidupan dan aktivitas kekristenan para jemaat gereja.  Setiap minggu, selama kesehatannya memungkinkan, Spurgeon terus menyampaikan Firman Tuhan di gereja Metropolitan Tabernacle hingga kotbah terakhirnya pada tanggal 7 Juni 1891.

Mendidik Penginjil Muda

Pada tahun pertama pelayanannya di London, Spurgeon bertemu Thomas Medhurst, seorang pemuda yang awalnya berkeinginan untuk menjadi aktor, namun Tuhan dalam anugerah-Nya memakai Firman yang disampaikan oleh Spurgeon untuk memberikan kelahiran baru dan api dalam memberitakan injil kepada Medhurst. Namun seperti kebanyakan pemuda di masa itu, Medhurst kurang memiliki pendidikan yang dapat menunjang pelayananannya, sehingga Spurgeon merasa terbeban untuk membantunya. Spurgeon mengatur supaya Medhurst diterima di sekolah berasrama untuk Pendeta di Bexley, dan menanggung semua biayanya. Sekali seminggu, Medhurst mengunjungi Spurgeon untuk belajar Teologia dan pelayanan secara umum. Tak lama kemudian, banyak pemuda lain yang juga digerakkan Roh Kudus untuk melayani Tuhan menyatakan keinginan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang dapat menunjang pelayanan mereka. Melihat hal ini, Spurgeon sadar bahwa Tuhan memberikan tanggung jawab kepadanya untuk mendirikan sekolah pelatihan untuk para pelayan Tuhan. Pada tahun 1866, di kota London saja, anak didik Spurgeon berhasil membangun 18 gereja baru. Penginjilan juga dilakukan di 7 pos misi, dan pos tersebut kemudian didewasakan menjadi gereja. Tujuh gereja yang sudah tua dan sepi pengunjung mendapatkan kebangunan rohani. Di samping itu, 80 alumni yang menyebar ke seluruh Inggris juga membawa berkat ke manapun mereka pergi. Satu alumnus mengubah gereja yang awalnya hanya dihadiri 18 orang dan membaptis lebih dari 800 orang hanya dalam waktu beberapa tahun.

Pelayanan Diakonia Masyarakat

Rasul Yakobus berkata bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati, dan Spurgeon membuktikan bahwa iman sungguh hidup dalam dirinya. Dia setia mengabarkan Firman Tuhan sejak muda, setia memberitakan berita Injil melalui buku dan traktat, serta setia dalam mempersiapkan calon pendeta, penginjil, dan pemimpin gereja di masa depan. Namun tak hanya dalam kata-kata, Spurgeon juga melakukan perbuatan nyata dalam melaksanakan perintah Tuhan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan seperti para janda, anak yatim dan kaum miskin. Contoh penyertaan Tuhan yang luar biasa terjadi di tahun 1866, ketika Tuhan memberikan beban untuk membangun panti asuhan Stockwell. Spurgeon menggalang dana dan berdoa dengan tekun untuk memulai panti asuhan tersebut. Seorang janda bernama Mrs. Hillyard menulis surat ke Spurgeon, dan mendonasikan dana sebesar 20 ribu poundsterling untuk mendirikan panti asuhan untuk anak yatim. Panti asuhan tersebut dirancang sesuai keinginan Spurgeon. Tidak seperti panti asuhan pada umumnya, di mana anak-anak tinggal di gedung yang menyerupai barak tentara, berpakaian serupa serta dibuat menjadi obyek belas kasihan untuk mendapatkan sumbangan. Bangunan panti asuhan Stockwell dibuat menyerupai rumah yang terhubung satu dengan yang lain, di mana tiap rumah menampung 14 anak laki-laki dan dikelola oleh seorang wanita yang juga bertindak sebagai ibu dari anak-anak tersebut. Mereka mendapat pendidikan dan pengajaran Kristen, yang disiplin tapi penuh dengan kasih. Sepuluh tahun setelah bagian untuk anak laki-laki selesai dibangun, rumah untuk anak perempuan juga berdiri. Kedua bangunan ditambah bangunan untuk klinik didirikan mengelilingi lapangan rumput tempat bermain anak yang dihiasi berbagai bunga dan tanaman yang indah. Panti asuhan Stockwell tetap berdiri hingga London mengalami pengebomanan pada perang dunia II (1940-1941). Setelah itu, panti asuhan Stockwell berganti nama menjadi tempat penitipan anak Spurgeon. Saat ini tempat ini dikenal dengan nama Spurgeons, salah satu yayasan sosial anak paling terkemuka di Inggris. Panti asuhan bukanlah satu-satunya pelayanan diakonia Spurgeon. Dia sangat aktif terlibat dalam berbagai macam kegiatan sosial sepanjang hidupnya. Hingga saat dia meninggal, Spurgeon terlibat secara pribadi dalam 66 organisasi sosial yang berbeda.

Setia Dalam Iman Dan Firman Tuhan

Buku Darwin “Origin of Species” yang diterbitkan di tahun 1859, menentang kebenaran yang dituliskan di dalam Firman Tuhan. Dasar kekristenan juga mendapat tantangan dari gerakan “Higher Criticism” yang berusaha menurunkan status Injil dari Firman yang datang dari Tuhan menjadi sebuah buku cerita yang ditulis manusia biasa. Konsep ini diajarkan di berbagai Universitas, bahkan di era 1860 mulai diajarkan di beberapa sekolah penginjilan. Pergeseran dari Kekristenan yang fundamental ini sangat nyata dalam berbagai denominasi gereja juga terlihat mulai mempengaruhi banyak orang dalam gereja Baptis. Spurgeon menentang keras pengajaran ini, meskipun kesehatannya sudah menurun, dia bertekad untuk berdiri teguh membela kebenaran Firman Tuhan dan dengan segenap tenaga melawan ajaran baru tersebut. Spurgeon menyatakan bahwa persekutuan gereja Baptis harus mendeklarasikan secara terbuka posisi mereka. Dia meminta mereka untuk mengadopsi pernyataan iman yang Injili, dan setiap anggota, baik gereja maupun individual, harus menerima pernyataan iman itu jika ingin tetap menjadi anggota. Keteguhan niat Spurgeon sangat jelas terlihat melalui berbagai pernyataannya, sayangnya permintaan Spurgeon tersebut tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota yang ada.  Menyadari kenyataan bahwa ajaran sesat tersebut berkembang dengan pesat, Spurgeon memutuskan untuk menulis artikel berjudul “The Down-Grade” dalam majalahnya. Artikel ini menimbulkan kontroversi dalam gereja Baptis di Inggris. Banyak yang setuju dengan pendapat Spurgeon dan secara terbuka menyatakan dukungan mereka, namun banyak juga yang menentang. Tulisan Spurgeon menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan banyak orang. Spurgeon kemudian menulis beberapa artikel lanjutan, di mana dia membuktikan dengan jelas bahwa pernyataannya bukan hanya berdasarkan kecurigaan yang tak berdasar. Saat menuliskan artikel lanjutan tersebut, Spurgeon memperoleh jawaban atas pergumulan dalam hatinya, “Apakah dengan terus membiarkan diri saya berhubungan dengan mereka, saya justru menolong orang-orang yang menolak Tuhan?” dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari keanggotaan persekutuan gereja Baptis. Banyak yang beranggapan bahwa tindakan Spurgeon tersebut kurang tepat, namun seiring berjalannya waktu,  dia terbukti benar. Sesuai perkataan Spurgeon, gereja yang tidak berpegang pada kebenaran Firman Tuhan mulai ditinggalkan jemaatnya, kehadiran dalam persekutuan doa semakin jarang sampai akhirnya banyak yang dibubarkan, dan anugerah Tuhan yang mengubahkan kehidupan banyak orang juga semakin jarang terjadi. Satu per satu gereja berubah fungsi menjadi toko atau garasi atau bahkan dihancurkan.

Epilog

Spurgeon adalah pengikut ajaran Calvin, dan sangat dipengaruhi oleh ajaran para tokoh Puritan. Semua pengajarannya selalu didasarkan kepada salib Tuhan Yesus, dia juga kuat dalam mengajarkan doktrin Sanctification.  Dia terkenal sebagai “Prince of Preachers” pengkotbah terbaik di masanya, dia berbicara dengan bahasa yang dapat dimengerti kebanyakan orang. Selama masa hidupnya Spurgeon diperkirakan berkotbah kepada 10 juta orang, seringkali dia berkotbah lebih dari sepuluh kali per minggu.  Pelayanan Spurgeon tidak hanya menarik orang untuk datang ke London dan mendengarkan kotbahnya, tapi juga menginspirasi orang untuk menyebarkan pelayanannya ke seluruh dunia. Hingga 1892, buku kotbah Spurgeon diperkirakan telah terjual sebanyak 56 juta buah. Buku kotbah tersebut  bisa ditemukan di tangan pendeta di Tennessee, petani kopi di Sri Lanka, orang Kristen di Cina, hingga nelayan di kawasan Mediterania. Seorang narapidana yang menunggu eksekusi hukuman mati di Amerika Selatan diketahui sempat membaca kotbah Spurgeon, tepat sebelum eksekusi dilaksanakan. Spurgeon tidak hanya menjadi fenomena di kota London, tapi telah menjadi fenomena global, dan pelayannya menjadi sangat terkenal hanya dalam waktu beberapa tahun. Spurgeon juga penulis yang sangat produktif, materi yang ditulis Spurgeon melebihi semua penulis Kristen lainnya. Hingga saat ini tulisan Spurgeon menjadi salah satu tulisan yang paling banyak dibaca. Setidaknya tiga karya Spurgeon telah terjual lebih dari satu juta salinan, salah satunya adalah “All of Grace” hingga saat ini masih menjadi salah satu buku paling banyak dijual sepanjang masa. Dia menghabiskan waktu 20 tahun mempelajari dan menulis komentari kitab Mazmur “The Treasure of David”, buku ini diapresiasi sebagai hasil karya terbaik sepanjang hidupnya. Spurgeon tidak pernah mencari ketenaran, dia sepenuhnya menggantungkan diri pada penyertaan Roh Kudus dan selalu merasa tidak layak sebagai pelayan Tuhan. Dia menjunjung tinggi Firman Tuhan, sangat disiplin dalam berdoa, dan kehidupan sehari-harinya mencerminkan kemuliaan nama Tuhan.  Ketika orang bertanya kepada Spurgeon apa rahasia dari keberhasilan pelayanannya, dia menjawab, “Semua hanya karena doa jemaat dan orang-orang yang mengasihinya”.

Spurgeon's quotes related to his life

  • “My life seems to me like a fairy dream, I’m often both amazed and dazed with His mercies and His Love. Oh how good God has been to me” 

 

“Hidupku seperti mimpi yang indah, aku sangat kagum dan takjub atas belas kasihan dan cinta-Nya. Oh betapa baiknya Tuhan kepada ku”

 

  • “I would rather be descended from one who suffered for the faith than bear the blood of all the emperors in my veins”

 

“Lebih baik bagiku untuk menjadi keturunan dari seseorang yang menderita karena imannya, daripada memiliki darah seluruh raja dunia mengalir di nadiku”
Image source: Faithlife

Hudson Taylor

Masa kecil

James Hudson Taylor lahir pada tanggal 21 Mei 1832 di Barnsley, England. Kedua orang tuanya adalah orang Kristen yang sungguh-sungguh takut akan Tuhan. Ketika Hudson Taylor masih di dalam kandungan, mereka sudah berdoa kepada Tuhan agar ia bisa dipakai Tuhan dan pergi ke Cina. Tetapi ketika ia berusia 15 tahun, dia menjadi skeptis terhadap kekristenan dan kecewa kepada orang-orang Kristen yang menyatakan percaya pada Alkitab tapi hidup sama seperti orang-orang duniawi yang tidak mengenal ajaran Kristen. Hal ini menyebabkan Hudson Taylor memutuskan untuk hidup bagi dirinya sendiri.

Hidup Hudson Taylor yang begitu jauh dari Tuhan menggerakkan ibu dan kakak perempuannya untuk tekun berdoa memohon pertobatannya. Sampai ketika ia berumur 17 tahun, Tuhan menjawab doa mereka. Hudson Taylor sedang berada di rumahnya dan secara tidak sengaja membaca sebuah traktat berjudul “Sudah Selesai”. Muncul pertanyaan di dalam hatinya akan arti dari kalimat tersebut, yang kemudian mengubahkan pemikirannya yang salah mengenai Allah. Ia juga mendapatkan pengertian akan pemenuhan karya keselamatan Allah melalui hidup Yesus Kristus. Saat itu juga Hudson Taylor menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadinya dan membuat keputusan untuk melayani Tuhan sebagai misionaris dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke Cina.

Tantangan terbesar

Persiapan Hudson Taylor untuk pergi ke Cina dijalani dengan berbagai tantangan yaitu masalah kesehatan, keuangan yang sangat terbatas dan pergumulan untuk menyelesaikan studi medisnya. Tetapi penyertaan Tuhan begitu nyata bagi Hudson Taylor sehingga ia dapat melalui semua kesulitan itu dan pergi ke Cina pada bulan September 1853 yang disponsori oleh sebuah badan misi bernama Chinese Evangelization Society. Setibanya di Shanghai, Cina pada tanggal 1 Maret 1854, Hudson Taylor memulai penginjilan dan pembagian traktat di berbagai area, namun usahanya kurang mendapat sambutan baik dari warga sekitar. Mereka hanya melihatnya sebagai orang asing. Hal ini membuat ia memutuskan untuk berpakaian seperti orang Cina asli demi membuktikan bahwa apa yang dia kabarkan bukanlah kabar yang asing.

Pada tahun 1857, Hudson Taylor memutuskan untuk keluar dari Chinese Evangelization Society. Di tahun berikutnya ia menikah dengan Maria Dryer yang berasal dari keluarga misionaris. Penderitaan dan kesulitan terus menerus dialami oleh Hudson Taylor dari berbagai sisi kehidupan, kesehatan yang kurang baik, kondisi keuangan yang tidak mencukupi, kedukaan karena kematian empat orang dari delapan anaknya pada usia yang masih kecil dan puncaknya adalah ketika istri yang teramat dicintainya meninggal pada tanggal 23 Juli 1870.

Hasil kerja

Pada saat kesempatan yang begitu besar terbuka di Cina, kesehatan yang memburuk justru memaksa Hudson Taylor kembali ke Inggris bersama istri keduanya dan anak perempuannya yang masih kecil. Namun, apa yang terlihat seperti sebuah kemunduran di dalam pekerjaan misinya, ternyata merupakan suatu langkah maju. Ketika ia berada di Inggris, dia berhasil menyelesaikan studi medisnya, menyempurnakan terjemahan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Cina dan mengorganisir The China Inland Mission (CIM).

The China Inland Mission (CIM) terbentuk pada tanggal 25 Juni 1865 ketika Hudson Taylor sedang berada di Brighton Beach, Inggris untuk berdoa. Hatinya sangat terbeban untuk menjangkau jutaan orang-orang Cina yang berada di daerah terpencil, ia meminta agar Tuhan mengirimkan 24 orang misionaris untuk pergi kembali ke Cina bersama-sama dengan dia. Melalui doanya, Hudson Taylor mendapat suatu kebenaran yang menyadarkan dia bahwa tanggung jawab untuk memulai pekerjaan misi yang baru itu adalah bukan miliknya melainkan Tuhan sendiri. Hudson Taylor membuka rekening di bank untuk misi ini dengan saldo pertama sebanyak 50 Dollar. Charles Spurgeon yang mendengar kabar tentang apa yang Hudson Taylor kerjakan, teramat kagum dengan api penginjilan bagi negara Cina yang milikinya. Pada tahun itu juga dia mengumpulkan uang sebanyak 13 ribu Dollar dan menerima 24 orang misionaris. 

CIM mempunyai  beberapa keunikan yaitu para misionarisnya tidak mendapat gaji tetap dan mereka juga tidak boleh meminta bantuan dana. Para misionaris ini harus percaya kepada Tuhan untuk mencukupi kebutuhan mereka, terlebih lagi mereka harus memakai pakaian tradisional dan memasukkan injil itu ke dalam budaya Cina. Pada tanggal 26 May 1866, keluarga Hudson Taylor bertolak menuju Cina setelah lima setengah tahun melayani dan merekrut orang-orang di kampung halamannya. 

Hal-hal yang menonjol tentang Hudson Taylor

Dikarenakan oleh begitu banyak orang-orang Cina yang harus dijangkau dengan pekerjaan penginjilan, Hudson Taylor mengeluarkan suatu peraturan yang dianggap radikal yaitu ia mengirim misionaris-misionaris wanita yang belum menikah masuk ke pedalaman, suatu kebijaksanaan yang dikritik oleh banyak misionaris-misionaris. Tetapi keberanian Hudson Taylor tidak mengenal batasan, gaya kepemimpinan dan idealismenya yang tinggi menciptakan ketegangan antara perwakilan CIM di London dan di Cina. Perwakilan di London berpendapat bahwa Hudson Taylor memimpin secara otokratis, sedangkan ia berpendapat bahwa ia hanya melakukan apa yang terbaik untuk pekerjaan penginjilan itu dan menuntut komitmen yang tinggi dari anggota-anggotanya. Cara bekerja Hudson Taylor yang sangat melelahkan ini baik di Cina maupun di luar negeri yaitu Inggris, Amerika, dan Kanada ketika ia harus memberikan kesaksian dan untuk merekrut misionaris-misionaris, tetap dilakukan meskipun dengan kesehatan yang tidak baik dan pergumulan dengan depresi karena kehilangan istri pertama dan anak-anaknya.

Prinsip kerja dan rasa percaya dari Hudson Taylor yang penuh kepada Tuhan menjadikan CIM berkembang dan maju, meskipun tidak pernah meminta bantuan dana. Hal ini menginspirasi ribuan orang untuk meninggalkan kenyamanan di dunia barat dan pergi membawa pesan kekristenan menuju ke pedalaman Cina yang luas dan yang belum pernah dijangkau. Tujuan dari misinya adalah untuk membawa kabar injil ke tempat di mana  Injil belum pernah dikabarkan sebelumnya. 

Meskipun pekerjaan misi di Cina ini sempat terganggu dengan pengambilalihan kekuasaan oleh partai Komunis di Cina tahun 1949, CIM terus melanjutkan pelayanan sampai hari ini di bawah nama Overseas Missionary Fellowship International (OMF).

Legasi

Hudson Taylor merupakan misionaris yang paling luas penjangkauan misinya di dalam sejarah Cina. Selama 51 tahun pelayanannya di sana, China Inland Mission telah mendirikan 20 stasiun misi dan membawa 849 orang misionaris ke ladang penginjilan (968 pada tahun 1911), melatih 700 orang pekerja Cina, mengumpulkan 4 juta Dollar dan membangun gereja-gereja di Cina dengan jumlah jemaat 125 ribu orang yang giat bersaksi. Dikatakan bahwa sedikitnya 35 ribu orang yang telah dia injili dan 50 ribu orang telah ia baptiskan. Talentanya untuk menginspirasi banyak orang untuk menyerahkan diri dan harta benda mereka kepada Kristus sangatlah mengagumkan. Hudson Taylor dikenal sebagai seorang pendoa, ia belajar mengenai kuasa doa melalui ibu dan kakak perempuannya. Ia juga dikenal sebagai orang beriman, dia menyatakan bahwa dirinya hanyalah pelayan dari Allah yang setia. 

Hudson Taylor meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1905 dan dikuburkan di Changsa, Hunan. CIM yang dulu dikenal sebagai Overseas Missionary Fellowship, sekarang bernama OMF International, didirikan dan dijalankan melalui contoh hidup dan permohonannya akan pekerja-pekerja misi yang sangat dibutuhkan, yang kemudian mendorong orang-orang untuk berdoa dan pergi ke Cina. Hudson Taylor berkata, “Semoga generasi kita boleh menjunjung tinggi Firman dari Allah kita yang setia, hidup, bersaksi dan berdoa seturut dengan kehendak-Nya di mana pun kita berada”.

Sebuah pernyataan dari Hudson Taylor yang menginspirasi banyak orang yaitu:

  • “Cina tidak akan bisa dimenangkan bagi Kristus dengan misionaris-misionaris yang hanya sedikit bicara dan tidak banyak bekerja”.
  • “Contoh misionaris-misionaris yang dibutuhkan adalah yang bersedia mendahulukan Yesus, Cina dan jiwa-jiwa itu daripada segala hal di setiap saat, bahkan hidup mereka sendiri harus menjadi yang kedua”.
  • "China is not to be won for Christ by quiet, ease-loving men and women," he wrote. "The stamp of men and women we need is such as will put Jesus, China, [and] souls first and foremost in everything and at every time—even life itself must be secondary."
Image source: Wikipedia

Quote of the day

Kita cenderung menggunakan doa kita sebagai upaya terakhir, tetapi Tuhan ingin itu menjadi garis pertahanan pertama kita.

Oswald Chambers