Nama John Calvin tidak dapat dipisahkan dari kata Reformasi, peristiwa besar yang menyapu seluruh Eropa. Sebagai seorang teolog dan negarawan, Calvin membuat dampak yang kuat akan doktrin-doktrin dasar iman Kristen, dan secara luas diakui sebagai salah satu tokoh yang paling penting dalam peristiwa Reformasi. Di balik semua pencapaian besar ini terdapat seseorang yang dengan rendah hati menyerahkan keseluruhan hatinya demi menyatakan kemuliaan Tuhan pada dunia.
Masa Muda
John Calvin lahir pada tanggal 10 Juli 1509, di kota Noyon, Perancis. Salah satu tokoh terpenting dalam sejarah gereja dan Reformasi ini dilahirkan pada waktu Martin Luther berumur 25 tahun dan baru mulai mengajar Alkitab di kota Wittenberg, Jerman. Sebagai anak seorang pengacara yang cukup ternama, Gerard Calvin, ia dibesarkan dalam suatu keluarga yang baik serta memiliki koneksi dengan komunitas gereja pada saat itu, tempat ayahnya melayani.
Pada umur 14 tahun, dengan bantuan beasiswa dan kenalan orang tuanya, ia memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Paris. Di dalam sekolah tersebut, ia menghabiskan masa mudanya mempelajari teologi dan bahasa Latin dalam rangka persiapan masuk ke dalam kependetaan di gereja Katolik.
Namun, di Noyon, relasi ayahnya dengan keuskupan gereja menjadi tegang karena permasalahan antara badan hukum ayahnya dengan gereja. Ini menyebabkan keluarganya di ekskomunikasi pada tahun 1528, dan membuat ayahnya meminta Calvin yang muda untuk meninggalkan studi teologisnya di Paris untuk mengejar studi hukum di Orleans. Di kota inilah ia mengenal akan gerakan Reformasi dan figur-figur penting dalam gerakan tersebut, diantaranya adalah Martin Luther, John Hus dan John Wycliffe.
Pertobatan
Setelah setahun mempelajari hukum di Orleans, ia melanjutkan tiga tahun pendidikannya di Bourges. Di kota ini, ia hidup dikelilingi banyak sekali penganut ajaran humanisme. Tetapi, ia belajar di bawah profesor yang mengajar Yunani bernama Melchior Wolmar, yang adalah seorang Lutheran. Guru ini sangat mempengaruhi Calvin, dan membangkitkan semangatnya untuk giat mempelajari hukum, Firman serta iman Kekristenan. Ini membuatnya tidak merasa kagum akan keanggunan kosong yang menjadi ciri beberapa humanis terkenal, malah sebaliknya, ia kecewa akan mereka.
Banyak sekali perdebatan mengenai tahun pertobatan Calvin, yang diperkirakan terjadi di antara 1533-1534 pada waktu dia berumur 24 tahun. Keterangan yang ada sangatlah sedikit, dan Calvin hampur tidak pernah menulis berkenaan dengan masa mudanya. Satu-satunya cerita yang ia tuliskan tentang kelahiran barunya hanya berupa satu paragraf dalam pembuka buku tafsiran kitab Mazmur:
“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”
Allah menaklukkan kekerasan hatinya dan begitu membakar jiwanya untuk hidup bagi Tuhan yang jauh melebihi ketaatannya dalam mempelajari hukum atas permintaan ayahnya. Tetapi untuk menghormati ayahnya, ia terus menempuh pendidikannya sampai kematian ayahnya pada tahun 1531. Calvin mendapati dirinya bebas dari permintaan ayahnya dan ketika ia lulus sebagai Doktor Hukum pada tahun 1532, ia kembali ke Paris untuk belajar teologi.
“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”
Pelarian, Perantauan, dan Pengajaran Inti Iman Kristen
Pada tahun 1533, 16 tahun sesudah Martin Luther memakukan 95 tesis di Wittenberg dan meluncurkan Reformasi, Calvin berada di kota Paris, dengan hati baru dan iman Kristen. Suatu ketika, Nicholas Cop, sahabatya berkhotbah di Universitas Paris yang sangat kontroversial. Ia menyatakan bahwa Kristus adalah pengantara satu-satunya antara manusia dan Allah, bukan Maria atau orang-orang kudus. Khotbah ini, yang sebagian konon ditulis oleh Calvin, memaksanya dan Cop untuk kabur dari kota karena mereka dianggap sebagai penganut ajaran sesat.
Dalam pengasingan, pada Januari 1535, Calvin pergi ke Basel di mana ia akan menulis dan menerbitkan edisi pertama buku Institutes of the Christian Religion (Institutio: Pengajaran Inti Iman Kristen). Edisi pertama ini diterbitkan pada Maret 1536 dan cukup pendek dibandingkan karya akhirnya yang melebihi 1000 halaman. Buku ini ia buat untuk dapat muat dalam kantong pengkhotbah supaya dapat dibawa dan dibaca di manapun dengan mudah.
“Tanpa pengetahuan tentang diri, tidak ada pengetahuan tentang Tuhan.”
Berkenaan dengan buku ini, ia menulis, “Yang ada dalam pikiran saya adalah menyatakan beberapa pengajaran dasar yang olehnya siapa pun dapat dibentuk untuk mengejar kesalehan sejati. Saya menulis buku ini terutama untuk saudara-saudari sebangsa saya, karena saya melihat bahwa banyak orang lapar dan haus akan Kristus, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang Dia.” Amatlah luar biasa bahwa pengajaran dasar ini akan tumbuh menjadi salah satu buku paling penting dalam sejarah gereja.
Dalam kesuksesannya menerbitkan buku ini, ia meninggalkan Basel pada tahun 1536 menuju kota Strasbourg supaya dapat menghabiskan hidupnya dalam studi dan menulis buku di bawah pengajaran Martin Bucer, seorang reformator terkenal.
Tetapi, dalam perjalanannya, ia mendapati bahwa jalur ke Strasbourg tertutup karena perang antara Charles V dan Francis I pada jaman itu, yang mengharuskan Calvin mengambil jalur lain, dan terpaksa singgah satu malam di kota bernama Geneva. Di Geneva inilah, Calvin nanti akan mengembangkan kota ini dalam banyak aspek termasuk teologi serta pemerintahan.
Geneva dan Strasbourg
Di Geneva, reformator pertama kota itu yang bernama William Farel mendapat kabar bahwa penulis Institutes yang terkenal itu singgah untuk semalam. Farel, yang memelopori reformasi di Geneva pada tahun 1536 berusaha memohon dan menghimbau Calvin untuk tinggal di Geneva supaya ia dapat mengembangkan gerakan reformasi di kota ini dengan baik. Namun, Calvin menolak permohonan Farel. Ia melihat dirinya sebagai seorang akademik, bukan pendeta. Hatinya tetap tergerak untuk menyendiri di Strasbourg untuk menulis buku yang nantinya akan bermanfaat untuk Reformasi di seluruh Eropa.
Farel yang melihat Calvin tidak mampu digerakkan oleh segala perkataannya kemudian dengan berani menyatakan kalimat terakhirnya kepada Calvin, “Aku berkata kepadamu, dalam nama Allah yang Mahakuasa, bahwa kecuali engkau menetap di sini sebagai rekan sekerja dalam pekerjaan Allah, kiranya kutuk-Nya ditimpakan padamu, karena engkau mengejar keinginanmu sendiri, bukan keinginan Kristus!”
Uniknya, Calvin pun akhirnya tunduk dan menerima tawaran Farel. Calvin pun menetap di Geneva dan pada Januari 1537 ia bersama Farel berjuang keras untuk menyebarkan gerakan Reformed di kota tersebut. Namun, waktu Paskah setahun kemudian, ia dan Farel diusir oleh dewan kota oleh karena musuh-musuh mereka yang menduduki posisi pemerintahan yang tinggi dan tidak senang akan perubahan yang dibawa dua orang ini. Meski hatinya sangat tergerak untuk Geneva, ia pun tunduk pada keputusan pemerintah yang ia lihat sebagai kehendak Allah dan pergi meninggalkan Geneva.
Calvin pun berangkat pergi ke Strasbourg, kota di mana Martin Bucer sedang melayani sebagai reformator yang besar. Calvin menghabiskan tahun-tahun yang paling bahagia dalam hidupnya di kota ini. Setelah banyak memohon dengan sangat – dan kemudian menegur dengan keras bahwa keengganan Calvin sama seperti nabi Yunus adanya – Bucer dengan sukses menggerakkan Calvin untuk menggembalakan 500an jemaat di kota tersebut. Bucer sendiri sangat mempengaruhi Calvin dalam pemahamannya akan posisi pelayanan gerejawi dan tatanan ibadah serta sistem pendidikan.
Pada tahun 1539, ketika melihat Geneva sudah ditinggalkan oleh para reformator, seseorang Kardinal bernama Sadolet menuliskan surat pada kota itu untuk berusaha mengembalikan mereka kepada gereja Katolik. Karena tidak ada orang yang fasih secara teologi untuk membalas Kardinal tersebut, Geneva pun memutuskan untuk memohon pertolongan Calvin. Calvin menuliskan surat balasannya yang sangat terkenal kepada Kardinal Sadolet mewakili Geneva, dan hal ini mulai memulihkan relasi dan reputasi Calvin dengan kota tersebut.
Pada bulan Agustus tahun 1540, kebahagiaannya bertambah setelah ia menikah dengan Idelette de Bure, yang berada dalam pengembalaan Calvin ketika ia melayani di Strasbourg. Ia sangat menghargai kerohanian istrinya, dan mereka menikmati kehidupan suami-istri yang indah.
Tetapi, pada 13 September 1541, tahun-tahun bahagia Calvin berakhir. Geneva meminta Calvin untuk kembali. Ia agak enggan untuk kembali, tetapi ia merasa bahwa kehendak Tuhan mendorongnya untuk pergi, dan ia pun taat dan berangkat ke kota lamanya.
Kembali ke Geneva, dan Tahun-tahun Gelap
Calvin pun kembali dan menetap di Geneva, yang nantinya akan menjadi bagian hidupnya yang paling dikenal orang masa kini. Pada periode inilah Calvin akan menderita banyak sekali pergumulan yang amat berat.
Ketika Calvin kembali ke Geneva, dia memakai wawasan yang ia dapat di Strasbourg untuk menyusun bentuk-bentuk kelembagaan gereja (pendeta, diaken, penatua) serta membentuk suatu Konsistori. Konsistori adalah sebuah badan pengadilan gerejawi yang terdiri atas penatua dan pendeta, yang diberikan otoritas untuk menjaga ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Badan ini membantu mengubah Geneva menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."
Tahun 1542 dimulai dengan tulah yang menyapu Strasbourg dan Geneva, menyebabkan banyak sekali kesakitan dan kematian. Calvin menolak untuk meninggalkan jemaatnya demi mencari aman di luar kota, tetapi ia meresikokan hidupnya untuk tetap di Geneva, melayani dan menghibur jemaatnya yang menderita.
Aku ingat bahwa aku bukan milikku sendiri, maka aku mempersembahkan hatiku sebagai korban bagi Allah.
Kemudian, pada musim panas tahun itu, anak Calvin lahir dan mati dua minggu kemudian. Kematian anaknya merupakan pukulan amat berat baginya, dan ini ditambah dengan kondisi istrinya yang sakit-sakitan sampai kematiannya pada tahun 1549. Dalam kondisi ini, ia terhibur dengan kehadiran teman-teman dekatnya melalui surat dan korespondensi mereka. Dalam salah satu suratnya ia menulis ke sahabat dekatnya Pierre Viret, “Tuhan telah menyebabkan luka parah dan pahit dalam kematian bayi laki-laki kami. Tetapi Dia sendiri adalah seorang ayah dan paling tahu apa yang baik untuk anak-anaknya.”
Namun, di dalam kegelapan ini, titik terang pun tetap bersinar baginya. Pada tahun itu juga Calvin dan Heinrich Bullinger (penerus reformator besar Huldrych Zwingli) menyusun Konsensus Zurich, yang menyatukan Gereja-Gereja Reformed di Swiss dan meletakkan fondasi untuk apa yang masih kita sebut gereja Reformed hari ini.
Kaum Libertine dan Perkara Servetus
Tahun 1553-1554 disebut seorang sejarawan gereja, T.H.L. Parker, sebagai periode signifikan dalam hidup Calvin. Dua peristiwa penting terjadi pada waktu ini: peperangan Calvin dengan kaum libertine yang mencapai puncaknya pada 3 September 1553, dan perkara Servetus yang terkenal sangat kontroversial dalam hidup Calvin pada 26-27 Oktober 1553.
Kaum libertine adalah sekelompok orang yang menganggap hidup sebagai sesuatu yang bebas mereka jalani sesuka hati nurani mereka. Ini menyebabkan mereka dengan bebas dan terbuka hidup dalam dosa dan hidup amoral, dengan kebebasan dalam seks dan mabuk-mabukan serta pesta pora. Meski mereka memiliki sikap hidup yang sangat amoral, mereka menganggap diri sebagai jemaat gereja yang baik dan ingin ikut serta dalam perjamuan kudus.
Calvin dengan keras menentang ini dan menyatakan disiplin gereja, memperingatkan kaum ini bahwa mereka tidak dapat berbagian dalam perjamuan tanpa pertobatan dari kehidupan mereka yang berdosa. Namun, pemerintah kota berpihak dengan kaum libertine dan memerintahkan gereja untuk mengijinkan kehadiran mereka dalam perjamuan. Calvin tidak bergeming.
Klimaks pertentangan ini datang pada 3 September. Kaum libertine memaksa masuk ke dalam gereja, dengan pedang di tangan seolah-olah menantang Calvin untuk mengijinkan mereka ikut perjamuan atau ia akan dibunuh. Konon, Calvin mengutarakan kalimat yang terkenal ini, “Engkau boleh meremukkan tanganku; engkau boleh memotong lenganku; engkau boleh mengambil hidupku; darahku milikmu, bolehlah engkau curahkan. Tetapi, engkau tidak akan pernah mampu memaksaku untuk memberikan apa yang kudus kepada apa yang hina, dan menghina meja Allahku.”
Theodore Beza, penerus Calvin di Geneva dan penulis biografinya, mencatat, "Setelah ini tata perjamuan dirayakan dengan keheningan yang amat dalam, dan di dengan hormat oleh semua yang hadir, seolah-olah Tuhan sendiri berada di antara mereka."
Para libertine undur dan tidak hadir. Konfrontasi langsung terhindarkan, namun kaum ini berusaha menjatuhkan Calvin melalui perkara Servetus yang tiba setelahnya.
Servetus adalah seorang Spanyol yang cukup ternama pada jaman itu. Ia adalah seorang Katolik, dokter medis, pengacara, dan ahli teologi yang terpengaruh ajaran humanis. Permasalahan diri Servetus adalah dalam doktrinnya tentang Allah Tritunggal yang ditetapkan baik gereja Katolik maupun Reformed sebagai ajaran sesat, namun mempengaruhi banyak orang.
Pada tahun 1553, Servetus dipenjara di Spanyol menunggu hukuman mati oleh gereja Katolik karena ia menentang ajaran Tritunggal. Ia berhasil melarikan diri, dan bersembunyi di Geneva. Ketika kehadirannya ketahuan oleh orang-orang di kota, ia ditangkap dan diadili atas dasar pengajaran sesat. Calvin dipanggil sebagai jaksa penuntut. Rincian perkara ini kurang jelas dalam sejarah, tetapi beberapa sejarawan mencatat Calvin menaruh belas kasihan pada Servetus dan menghimbaunya untuk kembali ke ajaran yang benar serta memohon pemerintah kota untuk memberi hukuman yang lebih ringan.
Namun, pada akhirnya Servetus dijatuhi hukuman mati pada tanggal 26 Oktober 1553 dan dibakar pada esok harinya. Kaum libertine, musuh Calvin membesar-besarkan perkara ini dan mencoreng nama Calvin di mata umum atas kekejaman dan kejahatan Calvin dalam mengutuki serta menghukum mati Servetus. Tindakan Calvin yang kurang elok dalam menangani perkara ini juga dikecam oleh teman-teman dekatnya. Hal ini menjadi pokok kritik utama akan hidup Calvin sampai sekarang.
Tahun-tahun Keemasan Calvin
Sisa hidup Calvin bisa disebut sebagai tahun-tahun keemasan Calvin. Dengan dukungan mayoritas pejabat di dewan kota, segala kemampuan Calvin dalam aspek teologi, hukum, serta pemerintahan muncul dan berpengaruh dengan besar.
Ia mendirikan Akademi Geneva pada tahun 1559, sekolah umum gratis bagi masyarakat dengan Theodore Beza sebagai rektor pertama. Tercatat ketika Calvin mati, lebih dari 1500 orang bersekolah di sana. Banyak lulusan sekolah ini diperlengkapi dan diutus ke banyak tempat di Eropa, dan menggerakkan kebangunan rohani besar di seluruh pelosok negeri.
5 tahun terakhir hidupnya diisi dengan khotbah dan menulis buku. Ia berkhotbah 3 kali seminggu (yang dulunya 2 hari sekali) dan rata-rata 1100 orang menghadiri setiap khotbahnya. Buku yang ia selesaikan selain Institutes adalah tafsiran akan hampir seluruh bagian Alkitab (kecuali kitab sejarah Perjanjian Lama, Sastra Hikmat, surat-surat kecil Yohanes serta Wahyu).
Calvin jatuh sakit parah dalam musim dingin tahun 1558 pada usia 49 tahun. Merasa bahwa ia sebentar lagi mati, Calvin mengalihkan sedikit tenaganya yang tersisa untuk merevisi buku Institutes. Ingin meninggalkan gereja dengan edisi yang paling baik, ia bekerja dengan giat untuk menyelesaikannya meskipun dalam keadaan sakit keras. Kesehatannya membaik pada tahun 1559, dan ia menyelesaikan edisi terakhir dari karyanya dalam bahasa Perancis pada tahun 1560.
Makam Tanpa Tanda
Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Kecepatan kerja Calvin mulai melambat pada bulan Febuari 1564, dan tenaganya mulai hilang dan ia tidak mampu untuk berkhotbah ataupun mengajar. Namun dalam kesakitan ini pun, semangatnya tak pudar dan ia terus menulis karya-karyanya dengan kekuatan yang tersisa.
Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-teman dekatnya yang kuatir akan banyaknya pekerjaan yang ia lakukan sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?" Pada saat-saat terakhirnya, ia mengundang semua teman dekatnya dewan kota serta Konsistori untuk pertemuan terakhir serta meminta maaf akan seluruh kesalahannya, baik sikap berangnya dan kelemahannya.
Calvin tahu bahwa ia akan dikenang orang lama sesudah ia mati. Ia pun berusaha keras untuk hilang dari tulisan sejarah sebisa mungkin, meminta teman-temannya untuk mengubur dia di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara, untuk menghindari perantau datang melihat tempat pekuburannya dan mengkultuskan dirinya sebagai orang suci, suatu sikap pemberhalaan yang ia tentang seumur hidupnya.
“Sifat manusia boleh dikatakan adalah pabrik berhala yang abadi.”
John Calvin meninggal di Geneva pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang tidak ditandai, untuk menghormati permintaannya. Tidak diketahui kubur mana yang merupakan miliknya, sebuah batu dengan ukiran inisialnya, “J.C” ditambahkan di abad ke 19 untuk menandakan kubur yang dianggap miliknya.
Hidup yang ia telah selesaikan, ia arahkan kepada satu tujuan, tidak untuk membesar-besarkan dirinya sendiri tetapi berjuang sekuat mungkin untuk mengarahkan pandangan manusia ke Pribadi yang telah mengasihi dan menyelamatkannya, yaitu Allah yang layak ditinggikan dan dipermuliakan selama-lamanya.
Image source: Learn Religions