Bagaimana kita berespon terhadap perkembangan dunia digital?

"Bagaimana kita sebagai orang Kristen berespon terhadap kemajuan digital?" 

Ini adalah masalah yang besar bagi kita semua khususnya anak-anak muda. Kemajuan digital adalah seperti gelombang laut yang besar sekali seperti Tsunami yang besar melanda daripada satu pulau yang kecil. Dan pulau yang dilanda itu adalah pribadi kita masing-masing. Beberapa hal ini:

  • Pertama adalah, kita harus menguatkan diri kita, mengerti diri kita itu siapa di hadapan Allah.

Jadi kita harus menyadari yang mendefinisikan diri kita itu adalah bukan orang lain tetapi adalah Allah itu sendiri melalui Alkitab. Kalau kita tidak tahu identitas diri kita, maka yang terjadi adalah kita akan diombang-ambingkan dengan ombak yang besar seperti ini. Kita begitu ada orang yang klik Like di tempatnya kita punya post, maka kita itu senang. Coba begitu banyak orang ratusan orang yang tidak suka dengan apa yang kita post langsung hati kita begitu down. Kita rasa menjadi orang yang nothing, atau merasa diri menjadi orang yang berguna, bangga, tergantung daripada bagaimana respon orang lain terhadap hidup kita, terhadap diri kita, di media sosial yang mereka bahkan tidak tahu kita, tidak kenal kita dan itu membuat kita naik turun antara kita senang, bangga, atau sedih dan kemudian kita merasa benar-benar gagal di dalam hidup. Kalau kita tidak kenal diri kita sendiri maka kita akan mencari approval dari luar dan medsos akan menjadi sarana untuk kita melihat apakah kita di-approved oleh orang luar atau tidak dan di situ kecelakaan daripada hidup kita.

  • Hal yang kedua adalah self-control (Penguasaan diri).

Self-control itu diperlukan pada zaman digital seperti ini. Zaman yang kuno kita memiliki rumah, rumah itu kemudian kita pagari dengan ketat supaya pencuri itu tidak masuk ke dalam. Zaman kuno orangtua memberikan satu peraturan yang ketat supaya anak-anak tidak keluar atau tidak pergi keluar tanpa ada sesuatu pemberitahuan atau membeli barang-barang di luar yang orangtua tidak tahu. Tetapi zaman sekarang pencuri itu tidak lagi di luar, pencuri itu ada di depan mata kita, di kamar kita, di laptop kita, di komputer kita, di handphone kita. Mereka akan mencuri waktu kita, mencuri hati kita, mereka akan mencuri pikiran kita dengan hal-hal yang sangat-sangat bahkan hina, dan sangat-sangat najis ada di depan daripada handphone kita, dan itu 24 jam. Nah saudara-saudara, apakah pikiran kita mau tercuri, hati kita mau tercuri, waktu kita mau diambil atau tidak itu tergantung sekarang bukan oleh orangtua kita, bukan oleh guru kita, bukan oleh orang lain, tetapi oleh kita sendiri. Kita yang menentukan apakah kita itu mau menolak mereka atau tidak. Tetapi masalahnya adalah tidak banyak daripada kita memiliki self-control. 

Sebenarnya dua hal itu, pertama adalah mengenal identitas diri kita, kedua, memiliki self-control, dua-duanya adalah tanda dari maturity, daripada kedewasaan iman kristiani. Masalahnya adalah banyak daripada kita tidak bertumbuh, kita menjadi orang Kristen, kita aktif di gereja, tapi kita tidak bertumbuh di dalam Kristus. Kita tidak bertumbuh dan tidak ada pertumbuhan di dalam pengenalan akan Allah. Ini yang membuat kita tidak memiliki kuasa untuk mengontrol diri kita, dan kita tidak memiliki satu fondasi mengenal diri kita itu sebenarnya siapa di hadapan Allah yang melihat kita, bukan di hadapan manusia.

Potret Pelopor Iman: John Calvin

Nama John Calvin tidak dapat dipisahkan dari kata Reformasi, peristiwa besar yang menyapu seluruh Eropa. Sebagai seorang teolog dan negarawan, Calvin membuat dampak yang kuat akan doktrin-doktrin dasar iman Kristen, dan secara luas diakui sebagai salah satu tokoh yang paling penting dalam peristiwa Reformasi. Di balik semua pencapaian besar ini terdapat seseorang yang dengan rendah hati menyerahkan keseluruhan hatinya demi menyatakan kemuliaan Tuhan pada dunia.

Masa Muda

John Calvin lahir pada tanggal 10 Juli 1509, di kota Noyon, Perancis. Salah satu tokoh terpenting dalam sejarah gereja dan Reformasi ini dilahirkan pada waktu Martin Luther berumur 25 tahun dan baru mulai mengajar Alkitab di kota Wittenberg, Jerman. Sebagai anak seorang pengacara yang cukup ternama, Gerard Calvin, ia dibesarkan dalam suatu keluarga yang baik serta memiliki koneksi dengan komunitas gereja pada saat itu, tempat ayahnya melayani.

Pada umur 14 tahun, dengan bantuan beasiswa dan kenalan orang tuanya, ia memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Paris. Di dalam sekolah tersebut, ia menghabiskan masa mudanya mempelajari teologi dan bahasa Latin dalam rangka persiapan masuk ke dalam kependetaan di gereja Katolik.

Namun, di Noyon, relasi ayahnya dengan keuskupan gereja menjadi tegang karena permasalahan antara badan hukum ayahnya dengan gereja. Ini menyebabkan keluarganya di ekskomunikasi pada tahun 1528, dan membuat ayahnya meminta Calvin yang muda untuk meninggalkan studi teologisnya di Paris untuk mengejar studi hukum di Orleans. Di kota inilah ia mengenal akan gerakan Reformasi dan figur-figur penting dalam gerakan tersebut, diantaranya adalah Martin Luther, John Hus dan John Wycliffe.

Pertobatan

Setelah setahun mempelajari hukum di Orleans, ia melanjutkan tiga tahun pendidikannya di Bourges. Di kota ini, ia hidup dikelilingi banyak sekali penganut ajaran humanisme. Tetapi, ia belajar di bawah profesor yang mengajar Yunani bernama Melchior Wolmar, yang adalah seorang Lutheran. Guru ini sangat mempengaruhi Calvin, dan membangkitkan semangatnya untuk giat mempelajari hukum, Firman serta iman Kekristenan. Ini membuatnya tidak merasa kagum akan keanggunan kosong yang menjadi ciri beberapa humanis terkenal, malah sebaliknya, ia kecewa akan mereka.

Banyak sekali perdebatan mengenai tahun pertobatan Calvin, yang diperkirakan terjadi di antara 1533-1534 pada waktu dia berumur 24 tahun. Keterangan yang ada sangatlah sedikit, dan Calvin hampur tidak pernah menulis berkenaan dengan masa mudanya. Satu-satunya cerita yang ia tuliskan tentang kelahiran barunya hanya berupa satu paragraf dalam pembuka buku tafsiran kitab Mazmur:

“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”

Allah menaklukkan kekerasan hatinya dan begitu membakar jiwanya untuk hidup bagi Tuhan yang jauh melebihi ketaatannya dalam mempelajari hukum atas permintaan ayahnya. Tetapi untuk menghormati ayahnya, ia terus menempuh pendidikannya sampai kematian ayahnya pada tahun 1531. Calvin mendapati dirinya bebas dari permintaan ayahnya dan ketika ia lulus sebagai Doktor Hukum pada tahun 1532, ia kembali ke Paris untuk belajar teologi.

“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”

Pelarian, Perantauan, dan Pengajaran Inti Iman Kristen

Pada tahun 1533, 16 tahun sesudah Martin Luther memakukan 95 tesis di Wittenberg dan meluncurkan Reformasi, Calvin berada di kota Paris, dengan hati baru dan iman Kristen. Suatu ketika, Nicholas Cop, sahabatya berkhotbah di Universitas Paris yang sangat kontroversial. Ia menyatakan bahwa Kristus adalah pengantara satu-satunya antara manusia dan Allah, bukan Maria atau orang-orang kudus. Khotbah ini, yang sebagian konon ditulis oleh Calvin, memaksanya dan Cop untuk kabur dari kota karena mereka dianggap sebagai penganut ajaran sesat.

Dalam pengasingan, pada Januari 1535, Calvin pergi ke Basel di mana ia akan menulis dan menerbitkan edisi pertama buku Institutes of the Christian Religion (Institutio: Pengajaran Inti Iman Kristen). Edisi pertama ini diterbitkan pada Maret 1536 dan cukup pendek dibandingkan karya akhirnya yang melebihi 1000 halaman. Buku ini ia buat untuk dapat muat dalam kantong pengkhotbah supaya dapat dibawa dan dibaca di manapun dengan mudah.

“Tanpa pengetahuan tentang diri, tidak ada pengetahuan tentang Tuhan.”

Berkenaan dengan buku ini, ia menulis, “Yang ada dalam pikiran saya adalah menyatakan beberapa pengajaran dasar yang olehnya siapa pun dapat dibentuk untuk mengejar kesalehan sejati. Saya menulis buku ini terutama untuk saudara-saudari sebangsa saya, karena saya melihat bahwa banyak orang lapar dan haus akan Kristus, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang Dia.” Amatlah luar biasa bahwa pengajaran dasar ini akan tumbuh menjadi salah satu buku paling penting dalam sejarah gereja.

Dalam kesuksesannya menerbitkan buku ini, ia meninggalkan Basel pada tahun 1536 menuju kota Strasbourg supaya dapat menghabiskan hidupnya dalam studi dan menulis buku di bawah pengajaran Martin Bucer, seorang reformator terkenal.

Tetapi, dalam perjalanannya, ia mendapati bahwa jalur ke Strasbourg tertutup karena perang antara Charles V dan Francis I pada jaman itu, yang mengharuskan Calvin mengambil jalur lain, dan terpaksa singgah satu malam di kota bernama Geneva. Di Geneva inilah, Calvin nanti akan mengembangkan kota ini dalam banyak aspek termasuk teologi serta pemerintahan.

Geneva dan Strasbourg

Di Geneva, reformator pertama kota itu yang bernama William Farel mendapat kabar bahwa penulis Institutes yang terkenal itu singgah untuk semalam. Farel, yang memelopori reformasi di Geneva pada tahun 1536 berusaha memohon dan menghimbau Calvin untuk tinggal di Geneva supaya ia dapat mengembangkan gerakan reformasi di kota ini dengan baik. Namun, Calvin menolak permohonan Farel. Ia melihat dirinya sebagai seorang akademik, bukan pendeta. Hatinya tetap tergerak untuk menyendiri di Strasbourg untuk menulis buku yang nantinya akan bermanfaat untuk Reformasi di seluruh Eropa.

Farel yang melihat Calvin tidak mampu digerakkan oleh segala perkataannya kemudian dengan berani menyatakan kalimat terakhirnya kepada Calvin, “Aku berkata kepadamu, dalam nama Allah yang Mahakuasa, bahwa kecuali engkau menetap di sini sebagai rekan sekerja dalam pekerjaan Allah, kiranya kutuk-Nya ditimpakan padamu, karena engkau mengejar keinginanmu sendiri, bukan keinginan Kristus!”

Uniknya, Calvin pun akhirnya tunduk dan menerima tawaran Farel. Calvin pun menetap di Geneva dan pada Januari 1537 ia bersama Farel berjuang keras untuk menyebarkan gerakan Reformed di kota tersebut. Namun, waktu Paskah setahun kemudian, ia dan Farel diusir oleh dewan kota oleh karena musuh-musuh mereka yang menduduki posisi pemerintahan yang tinggi dan tidak senang akan perubahan yang dibawa dua orang ini. Meski hatinya sangat tergerak untuk Geneva, ia pun tunduk pada keputusan pemerintah yang ia lihat sebagai kehendak Allah dan pergi meninggalkan Geneva.

Calvin pun berangkat pergi ke Strasbourg, kota di mana Martin Bucer sedang melayani sebagai reformator yang besar. Calvin menghabiskan tahun-tahun yang paling bahagia dalam hidupnya di kota ini. Setelah banyak memohon dengan sangat – dan kemudian menegur dengan keras bahwa keengganan Calvin sama seperti nabi Yunus adanya – Bucer dengan sukses menggerakkan Calvin untuk menggembalakan 500an jemaat di kota tersebut. Bucer sendiri sangat mempengaruhi Calvin dalam pemahamannya akan posisi pelayanan gerejawi dan tatanan ibadah serta sistem pendidikan.

Pada tahun 1539, ketika melihat Geneva sudah ditinggalkan oleh para reformator, seseorang Kardinal bernama Sadolet menuliskan surat pada kota itu untuk berusaha mengembalikan mereka kepada gereja Katolik. Karena tidak ada orang yang fasih secara teologi untuk membalas Kardinal tersebut, Geneva pun memutuskan untuk memohon pertolongan Calvin. Calvin menuliskan surat balasannya yang sangat terkenal kepada Kardinal Sadolet mewakili Geneva, dan hal ini mulai memulihkan relasi dan reputasi Calvin dengan kota tersebut.

Pada bulan Agustus tahun 1540, kebahagiaannya bertambah setelah ia menikah dengan Idelette de Bure, yang berada dalam pengembalaan Calvin ketika ia melayani di Strasbourg. Ia sangat menghargai kerohanian istrinya, dan mereka menikmati kehidupan suami-istri yang indah.

Tetapi, pada 13 September 1541, tahun-tahun bahagia Calvin berakhir. Geneva meminta Calvin untuk kembali. Ia agak enggan untuk kembali, tetapi ia merasa bahwa kehendak Tuhan mendorongnya untuk pergi, dan ia pun taat dan berangkat ke kota lamanya.

Kembali ke Geneva, dan Tahun-tahun Gelap

Calvin pun kembali dan menetap di Geneva, yang nantinya akan menjadi bagian hidupnya yang paling dikenal orang masa kini. Pada periode inilah Calvin akan menderita banyak sekali pergumulan yang amat berat.

Ketika Calvin kembali ke Geneva, dia memakai wawasan yang ia dapat di Strasbourg untuk menyusun bentuk-bentuk kelembagaan gereja (pendeta, diaken, penatua) serta membentuk suatu Konsistori. Konsistori adalah sebuah badan pengadilan gerejawi yang terdiri atas penatua dan pendeta, yang diberikan otoritas untuk menjaga ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Badan ini membantu mengubah Geneva menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."

Tahun 1542 dimulai dengan tulah yang menyapu Strasbourg dan Geneva, menyebabkan banyak sekali kesakitan dan kematian. Calvin menolak untuk meninggalkan jemaatnya demi mencari aman di luar kota, tetapi ia meresikokan hidupnya untuk tetap di Geneva, melayani dan menghibur jemaatnya yang menderita.

Aku ingat bahwa aku bukan milikku sendiri, maka aku mempersembahkan hatiku sebagai korban bagi Allah.

Kemudian, pada musim panas tahun itu, anak Calvin lahir dan mati dua minggu kemudian. Kematian anaknya merupakan pukulan amat berat baginya, dan ini ditambah dengan kondisi istrinya yang sakit-sakitan sampai kematiannya pada tahun 1549. Dalam kondisi ini, ia terhibur dengan kehadiran teman-teman dekatnya melalui surat dan korespondensi mereka. Dalam salah satu suratnya ia menulis ke sahabat dekatnya Pierre Viret, “Tuhan telah menyebabkan luka parah dan pahit dalam kematian bayi laki-laki kami. Tetapi Dia sendiri adalah seorang ayah dan paling tahu apa yang baik untuk anak-anaknya.”

Namun, di dalam kegelapan ini, titik terang pun tetap bersinar baginya. Pada tahun itu juga Calvin dan Heinrich Bullinger (penerus reformator besar Huldrych Zwingli) menyusun Konsensus Zurich, yang menyatukan Gereja-Gereja Reformed di Swiss dan meletakkan fondasi untuk apa yang masih kita sebut gereja Reformed hari ini.

Kaum Libertine dan Perkara Servetus

Tahun 1553-1554 disebut seorang sejarawan gereja, T.H.L. Parker, sebagai periode signifikan dalam hidup Calvin. Dua peristiwa penting terjadi pada waktu ini: peperangan Calvin dengan kaum libertine yang mencapai puncaknya pada 3 September 1553, dan perkara Servetus yang terkenal sangat kontroversial dalam hidup Calvin pada 26-27 Oktober 1553.

Kaum libertine adalah sekelompok orang yang menganggap hidup sebagai sesuatu yang bebas mereka jalani sesuka hati nurani mereka. Ini menyebabkan mereka dengan bebas dan terbuka hidup dalam dosa dan hidup amoral, dengan kebebasan dalam seks dan mabuk-mabukan serta pesta pora. Meski mereka memiliki sikap hidup yang sangat amoral, mereka menganggap diri sebagai jemaat gereja yang baik dan ingin ikut serta dalam perjamuan kudus.

Calvin dengan keras menentang ini dan menyatakan disiplin gereja, memperingatkan kaum ini bahwa mereka tidak dapat berbagian dalam perjamuan tanpa pertobatan dari kehidupan mereka yang berdosa. Namun, pemerintah kota berpihak dengan kaum libertine dan memerintahkan gereja untuk mengijinkan kehadiran mereka dalam perjamuan. Calvin tidak bergeming.

Klimaks pertentangan ini datang pada 3 September. Kaum libertine memaksa masuk ke dalam gereja, dengan pedang di tangan seolah-olah menantang Calvin untuk mengijinkan mereka ikut perjamuan atau ia akan dibunuh. Konon, Calvin mengutarakan kalimat yang terkenal ini, “Engkau boleh meremukkan tanganku; engkau boleh memotong lenganku; engkau boleh mengambil hidupku; darahku milikmu, bolehlah engkau curahkan. Tetapi, engkau tidak akan pernah mampu memaksaku untuk memberikan apa yang kudus kepada apa yang hina, dan menghina meja Allahku.”

Theodore Beza, penerus Calvin di Geneva dan penulis biografinya, mencatat, "Setelah ini tata perjamuan dirayakan dengan keheningan yang amat dalam, dan di dengan hormat oleh semua yang hadir, seolah-olah Tuhan sendiri berada di antara mereka."

Para libertine undur dan tidak hadir. Konfrontasi langsung terhindarkan, namun kaum ini berusaha menjatuhkan Calvin melalui perkara Servetus yang tiba setelahnya.

Servetus adalah seorang Spanyol yang cukup ternama pada jaman itu. Ia adalah seorang Katolik, dokter medis, pengacara, dan ahli teologi yang terpengaruh ajaran humanis. Permasalahan diri Servetus adalah dalam doktrinnya tentang Allah Tritunggal yang ditetapkan baik gereja Katolik maupun Reformed sebagai ajaran sesat, namun mempengaruhi banyak orang.

Pada tahun 1553, Servetus dipenjara di Spanyol menunggu hukuman mati oleh gereja Katolik karena ia menentang ajaran Tritunggal. Ia berhasil melarikan diri, dan bersembunyi di Geneva. Ketika kehadirannya ketahuan oleh orang-orang di kota, ia ditangkap dan diadili atas dasar pengajaran sesat. Calvin dipanggil sebagai jaksa penuntut. Rincian perkara ini kurang jelas dalam sejarah, tetapi beberapa sejarawan mencatat Calvin menaruh belas kasihan pada Servetus dan menghimbaunya untuk kembali ke ajaran yang benar serta memohon pemerintah kota untuk memberi hukuman yang lebih ringan.

Namun, pada akhirnya Servetus dijatuhi hukuman mati pada tanggal 26 Oktober 1553 dan dibakar pada esok harinya. Kaum libertine, musuh Calvin membesar-besarkan perkara ini dan mencoreng nama Calvin di mata umum atas kekejaman dan kejahatan Calvin dalam mengutuki serta menghukum mati Servetus. Tindakan Calvin yang kurang elok dalam menangani perkara ini juga dikecam oleh teman-teman dekatnya. Hal ini menjadi pokok kritik utama akan hidup Calvin sampai sekarang.

Tahun-tahun Keemasan Calvin

Sisa hidup Calvin bisa disebut sebagai tahun-tahun keemasan Calvin. Dengan dukungan mayoritas pejabat di dewan kota, segala kemampuan Calvin dalam aspek teologi, hukum, serta pemerintahan muncul dan berpengaruh dengan besar.

Ia mendirikan Akademi Geneva pada tahun 1559, sekolah umum gratis bagi masyarakat dengan Theodore Beza sebagai rektor pertama. Tercatat ketika Calvin mati, lebih dari 1500 orang bersekolah di sana. Banyak lulusan sekolah ini diperlengkapi dan diutus ke banyak tempat di Eropa, dan menggerakkan kebangunan rohani besar di seluruh pelosok negeri.

5 tahun terakhir hidupnya diisi dengan khotbah dan menulis buku. Ia berkhotbah 3 kali seminggu (yang dulunya 2 hari sekali) dan rata-rata 1100 orang menghadiri setiap khotbahnya. Buku yang ia selesaikan selain Institutes adalah tafsiran akan hampir seluruh bagian Alkitab (kecuali kitab sejarah Perjanjian Lama, Sastra Hikmat, surat-surat kecil Yohanes serta Wahyu).

Calvin jatuh sakit parah dalam musim dingin tahun 1558 pada usia 49 tahun. Merasa bahwa ia sebentar lagi mati, Calvin mengalihkan sedikit tenaganya yang tersisa untuk merevisi buku Institutes. Ingin meninggalkan gereja dengan edisi yang paling baik, ia bekerja dengan giat untuk menyelesaikannya meskipun dalam keadaan sakit keras. Kesehatannya membaik pada tahun 1559, dan ia menyelesaikan edisi terakhir dari karyanya dalam bahasa Perancis pada tahun 1560.

Makam Tanpa Tanda

Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Kecepatan kerja Calvin mulai melambat pada bulan Febuari 1564, dan tenaganya mulai hilang dan ia tidak mampu untuk berkhotbah ataupun mengajar. Namun dalam kesakitan ini pun, semangatnya tak pudar dan ia terus menulis karya-karyanya dengan kekuatan yang tersisa.

Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-teman dekatnya yang kuatir akan banyaknya pekerjaan yang ia lakukan sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?" Pada saat-saat terakhirnya, ia mengundang semua teman dekatnya dewan kota serta Konsistori untuk pertemuan terakhir serta meminta maaf akan seluruh kesalahannya, baik sikap berangnya dan kelemahannya.

Calvin tahu bahwa ia akan dikenang orang lama sesudah ia mati. Ia pun berusaha keras untuk hilang dari tulisan sejarah sebisa mungkin, meminta teman-temannya untuk mengubur dia di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara, untuk menghindari perantau datang melihat tempat pekuburannya dan mengkultuskan dirinya sebagai orang suci, suatu sikap pemberhalaan yang ia tentang seumur hidupnya.

“Sifat manusia boleh dikatakan adalah pabrik berhala yang abadi.”

John Calvin meninggal di Geneva pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang tidak ditandai, untuk menghormati permintaannya. Tidak diketahui kubur mana yang merupakan miliknya, sebuah batu dengan ukiran inisialnya, “J.C” ditambahkan di abad ke 19 untuk menandakan kubur yang dianggap miliknya.

Hidup yang ia telah selesaikan, ia arahkan kepada satu tujuan, tidak untuk membesar-besarkan dirinya sendiri tetapi berjuang sekuat mungkin untuk mengarahkan pandangan manusia ke Pribadi yang telah mengasihi dan menyelamatkannya, yaitu Allah yang layak ditinggikan dan dipermuliakan selama-lamanya.

Image source: Learn Religions

Renungan bagi Kaum Muda: Kesombongan

Kesombongan adalah dosa yang tertua di dunia, setan, Adam dan Hawa jatuh karenanya. Dalam Yakobus 4:6 Tuhan menentang orang yang sombong, karena kesombongan adalah deklarasi pemberontakan kepada Tuhan dan akar dari dosa – dosa yang lain.

Namun anehnya, walaupun kesombongan adalah dosa yang sangat berbahaya, tidak banyak di antara kita yang menyadari dosa ini ada di dalam diri kita, atau walaupun kita menyadarinya, kita tidak memprioritaskannya dalam peperangan terhadap dosa, karena hal ini tidak selalu kasat mata, dan kita terlatih untuk menutupinya.

Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, kita sering melihat selumbar di mata saudara kita, tapi tidak menyadari balok yang ada di mata kita. Kesombongan membuat kita selalu melihat kesalahan orang lain, memandang rendah dan menghakimi dosa orang lain, tapi kita buta akan dosa dan kelemahan kita sendiri. Pujian orang lain terdengar seperti musik yang begitu indah di telinga kita. Kita mau orang lain mengagumi apa yang kita miliki, mulai dari gadget, pakaian, postingan di media sosial dan bukan itu saja, kita mau orang lain memuji apa yang kita lakukan dan katakan.

Kita haus perhatian dan penghormatan dari orang lain, maka dari itu kita pamer di social media, tentang kekayaan, kepintaran dan kesuksesan kita. Kita lebih suka bergaul dengan orang-orang yang kita anggap lebih layak dibanding yang lain, mungkin karena mereka lebih populer, lebih dihormati, lebih kaya, atau lebih punya koneksi.

Ini semua karena kita berusaha mencari pengakuan dari manusia dan bukan dari Tuhan.

Nah, bagaimana kita dapat melawan dan menghindar dari bahaya kesombongan?
Firman Tuhan mengatakan milikilah kerendahan hati. Di dalam 1 Petrus 5:5 dikatakan kita sebagai pemuda harus tunduk kepada orang yang lebih tua dan rendah hati seorang terhadap yang lain. Rendah hati berarti tidak menjadikan diri kita sebagai pusat, tetapi mengikuti teladan Yesus Kristus, yang menjadikan Kehendak Allah Bapa sebagai prioritas di dalam hidup dan tidak menganggap diri lebih tinggi, lebih hebat atau lebih penting dari orang lain. Yang penting bukanlah apa yang diri kita atau orang lain pikirkan tentang kita, tetapi apa yang Tuhan pikirkan tentang diri kita. Rendah hati adalah anugerah dari Tuhan, oleh sebab itu, kenakan “kerendah-hatian” setiap hari, setiap saat, seumur hidup kita karena seperti yang dikatakan di dalam Yakobus 4:6, Tuhan mengasihi orang-orang yang rendah hati.

Oleh: PH

Ordo Salutis: Kelahiran Baru

Kelahiran baru menandakan suatu kehidupan yang baru. Suatu kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang lama. Kehidupan lama berada di dalam kuasa dosa sehingga meskipun kita hidup secara jasmani tetapi sebenarnya kita mati secara rohani. Perhatikan Yeh. 37:1-4 yang menarik. Tulang-tulang yang dibicarakan di dalam perikop itu menandakan orang-orang berdosa yang dalam keadaan mati. Dengan nubuatan firman Tuhan oleh nabi Yehezkiel, tulang-tulang itu menjadi hidup kembali. Kematian di sini lebih ditekankan kepada kematian rohani, meskipun juga pada akhirnya menunjuk kepada kematian yang kekal.

Kelahiran kembali atau kelahiran baru adalah tindakan Allah untuk menanamkan prinsip-prinsip hidup yang baru ke dalam manusia yang berdosa, sikap hati manusia yang dikuduskan, dan tindakan kudus pertama kali bisa dihasilkan dari sikap hati yang baru tadi. Perubahan ini terjadi secara seketika, secara intelektual, emosional dan moral. Perubahan terjadi pada alam bawah sadar karena ini adalah pekerjaan Allah. Perlu diingat bahwa kelahiran baru bukan berarti sekarang manusia itu tidak bisa berdosa lagi. Ini juga bukan perubahan sifat manusia atau perubahan substansi manusia seperti menjadi manusia super.

Kelahiran baru sangat erat kaitannya dengan panggilan eksternal yang kita bahas pada sesi sebelumnya. Panggilan eksternal tidak selalu menyebabkan orang bisa bertobat. Panggilan eksternal efektif yang menyebabkan orang bisa bertobat akan menjadi panggilan internal. Panggilan internal adalah pekerjaan Roh Kudus di dalam hati manusia yang membawa perubahan kesadaran manusia, membawa manusia kembali kepada Allah, bersekutu dengan Kristus, menerima berkat-berkat-Nya, hidup dalam kesucian, dan segala sifatnya semua akan kembali kepada kemuliaan Allah.

Kelahiran kembali adalah suatu proses internal di dalam diri manusia sedangkan panggilan adalah bekerja di luar manusia. Urutannya demikian: panggilan eksternal melalui pemberitaan Firman Tuhan, mendahului atau bersamaan dengan tindakan Roh Kudus menghasilkan hidup baru dalam jiwa manusia. Melalui Firman, Allah memberikan hidup baru, pencerahan pikiran, perubahan perasaan, pembaharuan kehendak. Inilah pengertian kelahiran baru secara sederhana. Setelah Allah menghidupkan telinga rohani, Allah membuat orang yang tadinya menolak, kini mau taat dan dipanggil pulang secara efektif. Manusia mendengar panggilan ini dalam hati mereka. Inilah panggilan efektif oleh Allah melalui Firman-Nya dan diterapkan secara efektif oleh Roh Allah. Panggilan efektif menghasilkan penerimaan kudus dan pembaharuan yang pertama kali dalam sikap hati orang tersebut. Orang ini sekarang memulai hidup dengan format yang baru, dengan arah dan hati yang baru. Inilah pengertian kelahiran kembali dalam arti yang lebih luas.

Alkitab mengajarkan pentingnya kelahiran kembali. Kesucian manusia dan ketaatan pada Firman adalah tuntutan dari Tuhan. Dosa menjadikan manusia mati di dalam keadaannya dan melawan Allah. Semuanya ini akan berujung kepada kebinasaan kekal seperti yang tertulis di dalam Rom. 6:23 “Sebab upah dosa ialah maut”. Kelahiran kembali adalah suatu titik penting bagi manusia di mana dia sekarang bisa berbalik kembali kepada Allah. Suatu titik di mana keadaan manusia yang sudah rusak total karena kejatuhan ke dalam dosa, kembali dipulihkan keadaannya menjadi manusia yang sejati. Kelahiran baru memungkinkan seseorang untuk mentaati firman Allah, menjalankan kehendak-Nya dan mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk kemuliaan-Nya. Seseorang yang mengalami kelahiran baru akan memiliki identitas yang jelas yaitu sebagai anak-anak Allah.

Beberapa bagian Alkitab berbicara dengan jelas tentang kelahiran baru seperti di Yoh. 3:1-7 dalam percakapan Tuhan Yesus dengan Nikodemus. Di ayatnya yang ke-3, Yesus berkata “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Dan di ayatnya yang ke-7 “Kamu harus dilahirkan kembali.” Paulus dalam tulisannya di Roma 8, meskipun dia tidak menulis secara literal kata “kelahiran baru”, tetapi ada pengertian di sana bahwa manusia memiliki dua kehidupan, hidup oleh daging yang dibandingkan dengan hidup oleh Roh. Dan di sana dia membahas mengenai bagaimana orang harus hidup menurut Roh. Mengambil pengertian dari perkataan Yesus tadi, seseorang mutlak perlu dilahirkan kembali. Jika tidak, dia tidak akan dapat melihat Kerajaan Allah. Paling mudah dimengerti adalah bahwa jika seseorang sudah mengalami satu persatu proses Ordo Salutis yang sudah kita bahas di atas, maka secara logis dia akan dilahirkan menjadi manusia baru. Maka konsekuensi logisnya adalah dia akan menerima segala berkat-berkat jalan keselamatan di dalam Yesus Kristus, yaitu salah satunya adalah hak untuk dapat melihat Kerajaan Allah. Orang Kristen sejati adalah orang yang sudah dilahirbarukan.

Dari pengertian tadi, sekarang kita bisa melihat kepada diri kita sendiri, kepada keluarga kita, dan teman-teman kita, apakah mereka adalah orang-orang yang sudah mendapatkan kelahiran baru? Adakah kita melihat suatu hati yang diubah, yang berfokus kepada Allah, yang diikuti oleh suatu kehidupan yang diubah juga. Jika sudah, maka puji Tuhan. Tetapi jika belum, maka berlutut dan berdoalah, memohon kepada Tuhan belas kasihan-Nya karena hanya itu yang bisa kita lakukan.

Soli deo Gloria.

Oleh: AH

Kemarahan Allah

Ketika membaca judul di atas, apa yang muncul dalam pikiran kita? Mungkin kita akan mengerutkan dahi sambil berpikir, apa iya Allah bisa marah? Bukankah Ia penuh kasih dan penyayang? Tetapi faktanya, bukan saja Allah pernah marah, tetapi Alkitab bahkan dengan jelas mencatat mengenai kemarahan dan murka Allah lebih banyak dibanding dengan kebaikan dan kelembutan-Nya (A.W. Pink, The Attributes of God). 

Kitab Ulangan 32:39-41 memberikan kita gambaran tentang Allah yang marah dan menuntut adanya pembalasan.

“Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku. Sesungguhnya, Aku mengangkat tangan-Ku ke langit, dan berfirman: Demi Aku yang hidup selama-lamanya, apabila Aku mengasah pedang-Ku yang berkilat-kilat, dan tangan-Ku memegang penghukuman, maka Aku membalas dendam kepada lawan-Ku, dan mengadakan pembalasan kepada yang membenci Aku”.

Ketika kita membaca Alkitab secara keseluruhan, kita akan menemukan bentuk-bentuk kemarahan dan murka Allah di berbagai kitab lainnya. Kita akan menemukan Allah yang murka dan mengirimkan api (Bilangan 11:1-2), Allah yang membuat umat Israel mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun sehingga seluruh angkatannya habis mati (Bilangan 32:13), Allah yang menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora (Kejadian 19:24), dan Tuhan Yesus yang mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah (Matius 21:12)

Alkitab juga mencatat beberapa peristiwa mengenai kemarahan Yesus. Salah satunya tercatat di dalam kitab Markus 3:5.

“Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.”

Yesus marah kepada orang-orang Farisi yang saat itu berada di rumah ibadat. Ia berdukacita karena melihat kedegilan hati orang-orang Farisi tersebut. Mereka yang adalah kaum pilihan, umat Israel, para ahli yang telah membaca dan merenungkan kitab suci tetapi tidak mengerti dan hati mereka jauh dari Tuhan. Bayangkan saja, ketika melihat Yesus menyembuhkan orang yang sedang sakit, alih-alih bersukacita, mereka malahan dengan sengaja mencari-cari hal apa yang bisa digunakan untuk mempersalahkan Yesus.

Kemarahan Tuhan Yesus tidak muncul karena Ia tidak dapat menguasai diri, tetapi karena Ia melihat suatu dosa sehingga hati-Nya menjadi marah dan berduka. Kemarahan Tuhan Yesus adalah kemarahan yang suci, sangat berbeda dengan kita. Kita seringkali mudah marah bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu.

Kita marah karena barang milik kita hilang atau diambil orang, atau kita marah ketika menghadapi kemacetan lalu lintas. Mari kita berpikir sejenak, ketika orang lain menghina Kekristenan dan menjadikannya lelucon, bagaimana sikap kita? Apakah hati kita berduka dan marah? Atau barangkali kita juga tertawa dan menganggapnya sebagai hal yang lucu? Masakan kita tidak marah jika kesucian Allah kita diolok-olok? Kita harus mengintrospeksi diri kita. Apakah kita juga berduka terhadap hal yang mendukakan Allah? Apakah kita juga marah terhadap hal yang membuat Allah marah? Sudahkah kita sehati dan sinkron dengan Allah?

Tuhan Yesus sudah menjadi teladan untuk kita semua. Dia yang adalah Allah rela turun ke dalam dunia demi menebus dosa kita. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan dan mengosongkan diri-Nya sendiri (Filipi 2:7). Dia tidak marah karena hak-Nya diambil orang lain, maupun ketika diolok-olok orang lain. Tetapi Ia marah terhadap dosa dan ketika manusia mempermainkan nama Allah. Inilah kemarahan yang sejati, kemarahan yang muncul dari kesucian Allah.

Pada zaman ini konsep kemarahan Allah sudah jarang dibahas. Kita lebih sering mendengar mengenai konsep kebaikan dan kasih Allah. Tetapi sesungguhnya, menurut A.W. Pink, kemarahan Allah adalah bentuk kesempurnaan dari keilahian-Nya yang harus terus kita renungkan. Mengapa kita perlu merenungkan mengenai kemarahan Allah?

Pertama, agar hati kita menyadari bagaimana Allah membenci dosa. Sebab seringkali kita memandang dosa sebagai hal yang ringan. Kedua, menghasilkan jiwa yang takut akan Allah. Kita harus melayani Allah yang sejati dengan perasaan gentar karena Allah kita adalah api yang menghanguskan. Ketiga, memiliki perasaan yang senantiasa bersyukur kepada Yesus Kristus karena telah melepaskan kita dari murka Allah.

Sebagai orang yang percaya, kita sepatutnya bersyukur karena telah dilepaskan dari murka Allah dan diperdamaikan dengan Dia. Tetapi kita tidak boleh menganggap remeh hal itu, dan terus berjuang untuk melawan dosa, sebab dengan jelas dikatakan bahwa Allah membenci dosa. Dan kita harus selalu mengingat bahwa Allah kita adalah api yang menghanguskan (Ibrani 12:29).

“Kita sudah terlalu meninggikan kasih Tuhan melampaui kesucian dan murka-Nya sampai neraka pun seolah-olah ber-AC.” - Steve Lawson
“Alkitab bahkan mencatat mengenai kemarahan dan murka Allah lebih banyak dibandingkan dengan kebaikan dan kelembutan-Nya.” - A.W. Pink, The Attributes of God

Oleh: DS

Image source: Wikipedia

Quote of the day

Seorang Kristen bukanlah seseorang yang tidak pernah salah, tetapi orang yang dimampukan untuk bertobat dan mengangkat dirinya sendiri dan memulai lagi, karena kehidupan Kristus ada di dalam dirinya.

C. S. Lewis