Self Pity (Iba Diri) ternyata berbahaya!

Self Pity (Iba Diri) ternyata berbahaya!

Helen: Hai rekan-rekan Pelita, selamat bergabung kembali dengan podcast ngobrol bareng Pelita. Masih bersama saya, Helen. Kali ini kita akan ngobrol bareng lagi dengan Vikaris Sariwati. Selamat datang kembali, Ibu Sari.

Ibu Sari: Halo Helen, apa kabar?

Helen: Baik, terima-kasih. Bu, kita kan sering banget dengar atau mungkin pernah ngomong kalimat misalnya, “Aku tuh orang yang paling malang sedunia.” Atau, “Ah, memang nasib jelek deh.” Atau bahkan ada yang bilang, “Kasian deh gue.”

Nah, katanya ini namanya self-pity alias mengasihani diri sendiri. Bu, sebenarnya apa sihself-pity itu?

Ibu Sari: Iya, Helen, self-pity itu adalah bagian kecil dari self-talk. Dan betul sekali bahwa self-pity itu adalah satu kalimat yang dikatakan kepada diri sendiri yang berisi yaitu mengasihani diri sendiri, dan ini hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Kenapa? Karena kalau dibiarkan, self-pity ini akan sangat merugikan bagi pribadi yang terus- menerus mengatakan hal-hal yang self-pity kepada dirinya sendiri. Itu akan mengganggu pertumbuhan karakter dia dan juga bahkan akan membuat dia itu menjadi pribadi yang seolah-olah lumpuh karena sangat mengecilkan hatinya, dan akhirnya selalu melihat kepada dirinya yang malang.

Helen: Berarti itu sesuatu yang sangat negatif, ya, Bu?

Ibu Sari: Iya, bukan hanya negatif, tetapi itu sebenarnya masuk ke dalam satu hal yang sebenarnya berdosa. Artinya dia mengatakan hal-hal yang tidak sesuai yang Tuhan mau dia pikirkan. Jadi, selain mengarah kepada diri sendiri, itu juga akhirnya tidak melihat kebaikan Tuhan di dalam hidupnya. 

Helen:Nah, kenapa orang bisa jatuh kedalam self-pity ini, ya, Bu?

Dan apakah ada satu kelompok tertentu yang lebih rentan terkena jebakan self-pity ini?

Mungkin maksudnya seperti, apakah kelompok anak muda? Atau mungkin kelompok orang yang mungkin lebih senior begitu, Bu?

Ibu Sari: Sebenarnya self-pity ini ada dalam setiap pribadi dan ini sebagai satu bentuk nyata kejatuhan kita di dalam dosa. Jadi, dosa itu masuk ke dalam kehidupan manusia dan merusak seluruh aspek hidup manusia, termasuk cara berpikir, dan salah satunya masuk di dalam self-talk dalam bentuk self-pity seperti ini. Jadi, tidak ada bagian atau kelompok orang tertentu yang lebih rentan dibandingkan yang lain, dari kecil sampai sudah tua. Dan ini sesuatu yang sangat berbahaya kalau tidak di sadari, dan itu akan terus-menerus menarik diri masuk ke dalam satu pemikiran yang self-centered, dan akhirnya sangat merugikan sekali, baik secara karakter pribadi dan juga kerohanian.

Helen: Kembali lagi ke pertanyaan saya yang tadi, orang kenapa bisa self-pity, Bu?

Ibu Sari: Jadi begini, kalau dilihat dari kisah perjalanan seorang manusia begitu, ya, seorang anak di tengah keluarga itu biasanya orang tua tanpa menyadari seringkali lebih fokus kepada kelemahan anak, sehingga ketika anak mengalami satu kesalahan atau satu kelemahan, orang tua sering kali cepat untuk mengatakan sesuatu yang negatif. Bukan perbuatannya, tetapi kepada pribadinya.

Misalnya seorang anak yang memang lahir dalam kondisi yang biasa saja, tidak terlalu pintar, tetapi orang tua ingin dia menjadi anak yang pintar, anak yang paling menonjol di kelas, dan ketika harapan orang tua itu tidak terjadi, seringkali orang tua tanpa sadar mengatakan kepada anak, “Kamu anak bodoh!Kamu tidak sepintar kakak kamu! Kamu kok tidak sepintar teman kamu si A, si B…?”. Dan anehnya, kalimat-kalimat negatif itu masuk ke dalam pikiran anak itu dan terekam di dalam memorinya dia, sehingga ketika besar, tentu orang tua nya tidak lagi mengatakan hal dan kata yang sama, tetapi itu akan masuk ke dalam self-talk dia dan menjadi self-pity

Misalnya orang itu menjadi seorang pemuda yang sebenarnya berhasil, tetapi ketika mengalami kegagalan, anehnya kalimat-kalimat self-pity, self-blaming itu keluar lagi.

“Oh, saya memang orang bodoh. Saya memang orang yang tidak berhasil. Saya memang orang yang malang.”

Dan, misalnya, beberapa ciri dari self-pity itu adalah, misalnya, selalu dalam pikiran itu ada merasa diri paling malang dan selalu harus dimaklumi, dimengerti dalam setiap kelemahannya. Misalnya seorang pribadi atau seorang pemuda yang kalau marah itu meledak-ledak, kasar, misalnya, sinis. Ketika sahabatnya bertanya kenapa kamu seperti itu,lalu dia akan menceritakan bagaimana masa lalunya, yang misalnya orang tuanya sering marahin dia, dan kondisi keluarganya, atau dia sering menjadi anak yang sering disalahkan. Akhirnya orang itu akan merasa orang lain itu harus mengerti dia dan dia sendiri tidak mau mengambil tanggung jawab itu, selalu melihat diri sebagai korban, “Ini adalah akibat orang tua saya dulu!” 

Selalu menyalahkan orang lain, selalu menyalahkan kondisi, dan orang self-pity ini selalu minta dikasihani dan dimengerti oleh manusia. Padahal seperti yang kita tahu, sebagai anak Kristen, manusia hanya hidup karena belas kasihan Tuhan saja. Dan yang paling mematikan adalah dia tidak pernah masuk ke dalam satu kata “Pertobatan” karena dia tidak mau mengakui ini kesalahan dia. Jadi, dia selalu blaming orang lain, blaming masa lalunya, dan itu sangat menghambat sekali pertumbuhan rohaninya.

Helen: Kalau begitu, berarti self-pity itu pasti ada level-nya, ya, Ibu Sari? Dari yang ringan, misalnya self-pity karena tidak ada yang like postingan kita di Instagram, sampai level yang paling ekstrem mungkin. Nah, Ibu Sari, sebagai seorang konselor, bisa tidak share kasus self-pity apa yang paling ekstremyang pernah Ibu Sari tangani?

Ibu Sari: Jadi, self-pity ini sebenarnya kalau dibiarkan akan menuju kepada hal yang lebih berbahaya, misalnya kalimat-kalimat negatif tentang orang lain. Itu sesuatu yang di luar diri dia. Kalau itu dibiarkan juga, maka akan muncul kalimat-kalimat negatif tentang dirinya sendiri juga. Dan itu akan membuat dia selalu berbicara kepada dirinya bahwa saya orang yang gagal. Saya tidak mampu. Dan orang itu akan menjadi takut untuk mencoba hal yang baru, dan akhirnya dia tidak menyukai dirinya sendiri, dan bahkan membenci dirinya sendiri. Dan dari perasaan benci itu juga akan muncul, jika ini dibiarkan terus, akan muncul menjadi keinginan melukai diri. Dan itu akhirnya akan muncul keinginan mengakhiri hidupnya karena dia merasa tidak ada yang mengasihi dia, tidak ada yang bisa mengerti dia, dan akhirnya dia merasauntuk apa saya hidup.

Helen: Berarti ekstrem sekali, ya, Bu?

Ibu Sari: Iya, sangat berbahaya sekali.

Helen: Jadi, dimulai dari sesuatu yang kelihatan sederhana, sampai akhirnya bisa sampai self-harming, karena self-pity ini. 

Nah, tadi di awal Ibu Sari bicara bahwa semua orang itu bisa kena self-pity dan tidak ada satu kelompok pun yangimun. Sebagai orang Kristen, bagaimana kita bisa menghadapi self-pity ini dan bagaimana kita bisa terhindar dari jebakan self-pity ini?

Ibu Sari: Jadi, sebenarnya ini menjadi satu hal yang real di dalam diri setiap orang, termasuk orang Kristen. Jadi, ketika seseorang lahir baru, Alkitab mengatakan dia menjadi ciptaan baru di dalam Kristus, maka di hadapan Allah yang suci, kita disucikan di dalam Kristus. Tetapi itu tidak otomatis merubah segala sesuatu di dalam diri kita. Maksudnya begini, ketika orang sudah percaya Tuhan, status rohaninya dia dibenarkan di hadapan Tuhan Allah Bapa, di dalam Kristus Yesus, Roh Kudus berdiam di dalam hati dia, dan setelah itu, orang Kristen yang lahir baru itu akan masuk ke dalam proses pengudusan. 

Jadi, proses pengudusan ini adalah satu proses pengudusan yang Roh Kudus kerjakan melalui firman, melalui persekutuan dengan orang percaya, dan itu termasuk di dalam self-talk ini. Dan seringkali orang Kristen tidak menyadari hal ini begitu signifikan, sehingga itu menjadi sesuatu yang seolah-olah tersembunyi di dalam diri dia. Dan kalau misalnya itu menjadi satu realita pergumulan kita, sebenarnya peperangan rohani itu ada di dalam self-talk itu sendiri. Bagaimana seseorang mendengar firman dan Roh Kudus mengkonfirmasi bahwa firman itu adalah kebenaran, lalu ketaatan itu sebenarnya keputusan pribadi. Jadi, setelah dia menerima kebenaran, tidak secara otomatis kebenaran itu akan bekerja di dalam diri dia, kecuali kebenaran itu masuk ke dalam seluruh aspek hidup dia, termasuk self-talk ini diterangi oleh firman. 

Saya beri contoh, misalnya di dalam Mazmur 42, itu adalah satu Mazmur yang dituliskan dengan judul “Kerinduan kepada Allah.” 

Apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri pemazmur? Dia mengatakan seperti ini, dia bertanya kepada dirinya sendiri di dalam self-talk-nya, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?” Ini satu pertanyaan yang menarik sekali. Dan ini satu realita bahwa self-talk itu ada dan pemazmur ini mengalami satu kegelisahan di dalam dirinya. Dia berkata kepada dirinya, bertanya “Mengapa engkau tertekan dan gelisah di dalam diriku, hai jiwaku?”

Lalu jawaban itu muncul lagi dari dalam dirinya, di dalam self-talk itu juga, ada satu dialog yang mengatakan seperti ini, “Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku.”

Jadi, seolah-olah itu adalah dua orang yang berbicara, tetapi sebenarnya adalah dirinya sendiri.

Dan Martyn Llyod-Jones mengatakan bahwa masalah depresi kerohanian, jadi spiritualdepression itu, sebenarnya masalah utamanya adalah orang Kristen membiarkan dirinya bicara kepada dirinya, tetapi tidak melatih self-talk ini diisi oleh firman. Tetapi pemazmur ini jelas sekali dia mengatakan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku?”

Tentu konteks hidup bermacam-macam membuat jiwa kita tertekan. Sebagai anak Tuhan, kita perlu merenungkan Firman Tuhan, sehingga menghadapi self-talk yang negatif atau self-pity. Kalimat-kalimat yang membuat kita jauh dari Tuhan. Kita perlu berharap kepada Allah, kita perlu terus merenungkan sifat Allah, dan dia mengambil keputusan sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku. Itu cara menghadapi self-talk yang negatif. 

Tapi dunia seringkali mengatakan, “Kamu harus berpikir positif.”

Positive thinking itu tidak sama dengan self-talk yang diperbaharui oleh Roh Kudus. Bedanya adalah positive thinking itu berusaha memasukkan kalimat-kalimat positif dari luar, “Kamu pasti bisa!Kamu pasti berusaha lebih keras lagi. Pasti ada aja jalan keluar.”

Itu sesuatu yang dimasukkan dari luar. Mungkin, bisa berhasil, tetapi hanya sementara dan hanya di luar saja, tetapi tidakpermanen dan tidak sejati perubahan itu. Berbeda sekali dengan self-talk yang dikuduskan oleh firman dan ada kuasa Roh Kudus yang terus menopang kita.

Jadi, menghadapi hal-hal seperti ini, jangan sendirian. Bergantunglah bersama Tuhan.

Helen: Baik, jadi kita sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak kebal terhadap self-pity itu, tetapi kita perlu waspada, jangan sampai kita jatuh ke dalam jebakan self-pity.

Baik, Ibu Sari, sebelum kita akhiri podcast-nya kita hari ini, apakah ada hal yang Ibu Sari mau sampaikan untuk rekan-rekan Pelita di rumah, khususnya mungkin bagi mereka yang bergumul dalam self-pity?

Ibu Sari: Iya, jadi pertama, kita perlu terus mengingatkan bahwa apa yang menjadi pergumulan di dalam hati kita, khususnya di dalam self-talk atau berapa banyak kalimat negatif muncul itu, kita sebagai anak Tuhan harus selalu ingat bahwa kita tidak sendirian, ada Tuhan, ada Roh Kudus di dalam hati kita dan Tuhan tahu apa yang ada di dalam hati kita yang paling dalam. Selain itu, dengan rajin dan sengaja kita latih, amati self-talk saudara. Apakah itu sesuatu yang membangun iman atau itu menjauhkan kita dari Tuhan? Dan mintalah Tuhan secara pribadi membimbing kita untuk kita berani jujur, mengakui, membuka hati kita, dan bertobat. 

Jadi, sebenarnya itu menjadi tanggung jawab kita untuk boleh melatih diri kita, arah pikiran kita tertuju kepada Tuhan, tentu saja di dalam pertolongan Tuhan, dan isilah self-talk kita dengan membaca firman setiap hari, dengan mengingat, merenungkan, dan juga isi dengan ketaatan demi ketaatan, dan doa setiap hari, dan jangan sendirian. Di dalam Yakobus 4:7 itu tertulis seperti ini, “Tunduklah kepada Allah dan lawanlah iblis.”

Jadi, jangan jauhi juga persekutuan dengan orang percaya lain, karena kasih saudara seiman, doa-doa mereka itu sangat kita butuhkan.

Helen: Baik, terima kasih sekali Ibu Sari untuk semua obrolan kita hari ini. Biar ini semua boleh menjadi peringatan dan perenungan bagi kita semua.

Ibu Sari: Kembali kasih.

Helen: Sekian podcast Pelita kita kali ini. Untuk mendengarkan topik podcast Pelita yang lain, silakan mengunjungi www.pelita.net. Tuhan memberkati.

Oleh:

Quote of the day

Anda tidak akan pernah tahu kepenuhan Kristus sampai Anda mengetahui kekosongan dari segala hal selain Kristus.

Charles Spurgeon