Dunia untuk Kita atau Kita untuk Dunia?

Dunia untuk Kita atau Kita untuk Dunia?

Tahun 2020 merupakan dekade baru yang sangat menggemparkan dunia. Semua ini terjadi karena virus yang tidak terlihat yang disebut Corona. Siapa pun terkena dampak dan imbas dari virus ini, tanpa terkecuali. Negara maju, negara berkembang, negara manapun, semua terguncang dengan adanya virus kecil ini.

Bagaimana dengan kita? Ya, pasti kita semua terkena imbasnya. Bukan hanya di dalam hal pekerjaan atau sekolah yang membuat kita harus menyesuaikan diri tinggal di rumah aja, tetapi secara sadar atau pun tidak, muncul adanya kekhawatiran di dalam diri kita. Ketakutan-ketakutan akan bahaya virus yang mengancam membuat kita berpikir panjang untuk keluar rumah atau parno kalau dekat orang yang tiba-tiba batuk atau bersin.

Virus ini sudah membawa banyak perubahan dalam diri kita. Kita seperti dipaksa berdamai dengannya dengan cara hidup dalam new normal. Keadaan dunia ini seakan-akan mengubah semua rencana dan pola keseharian kita menjadi hal yang baru. Sebagai contoh, dulu ketika kita pulang dari kegiatan apapun di luar rumah, tidak ada dorongan untuk langsung mandi atau cuci tangan. Namun, sekarang hal itu jadi kebiasaan baru yang wajib dilakukan untuk melindungi diri kita dan orang-orang di rumah.

Apapun dampak dari virus ini, ego dan masalah pribadi sering sekali jadi pokok doa kita yang terutama. Permohonan akan perlindungan Tuhan atas kesehatan, karir, dan semua jalan kita di dunia ini. Hal ini sangat wajar, tetapi pernahkah kita terketuk untuk mendoakan orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal? Ketika kita melihat berita tentang dunia dan semua ‘tragedi’ yang terjadi ini, pernahkah kita mohon pada Tuhan untuk memberi belas kasihan pada dunia ini?

“Sebentar, masalah pribadi saya saja belum kelar, apalagi mendoakan orang lain dan dunia?” pikiran inilah yang sering ada dalam hidup kita dan jadi fokus utama. Tuntutan hidup membuat kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik sehingga kita seringkali lupa apa tujuan utama hidup kita di dunia ini. Kita bekerja keras untuk karir yang lebih baik, kita belajar mati-matian untuk menjadi yang terbaik di angkatan, belum lagi masalah finansial, belum lagi planning masa depan, ini, itu, tetapi apakah ‘hanya’ itu yang Tuhan mau untuk kita kerjakan?

Bagaimana kalau kita sendiri tidak sadar bahwa Tuhan mau pakai kita dan kita justru abai akan panggilan-Nya?

Dari semua itu, mari kita pikirkan peringatan keras Mordekhai, orang tua angkat dari Ratu Ester, saat Ratu Ester bersikap tidak acuh terhadap ratapan yang sedang diderita oleh bangsa Yahudi waktu itu. “… Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.” (Ester 4:13-14). Peringatan ini sangat menampar hati saya. Sebagai manusia biasa, Ester pasti memiliki ambisi dan pergumulannya sendiri yang membuatnya abai terhadap bangsanya. Saya percaya, kita semua tahu bahwa Allah pasti punya cara. Allah mampu menggunakan cara apapun, lebih dari sekedar magic, untuk memberi kelegaan dan kelepasan bagi umat-Nya, tetapi bagaimana kalau kita sendiri tidak sadar bahwa Tuhan mau pakai kita dan kita justru abai akan panggilan-Nya? Kitab Ester memang diakhiri dengan sukacita kebebasan bangsa Yahudi akan musuh-musuhnya. Akhir yang bahagia ini tidak akan terjadi jika Allah tidak menggerakkan Ester untuk berespon terhadap peringatan keras Mordekhai yang kemudian diikuti oleh perkabungan, puasa, dan doa yang dilakukan seluruh umat Yahudi.

Nah, kalo gitu, Allah kan pasti punya cara, in the end juga mereka bahagia, ngapain saya harus berdoa? Ntar juga kelar nih pandemik. Well, let’s see. Bisa jadi pandemik ini tidak akan berakhir. Bisa jadi besok ketika kita bangun di pagi hari sudah tidak ada wabah Corona. Segala sesuatu bisa terjadi di luar kendali kita, tetapi perlu kita cermati dan sadari bahwa cara kerja Allah bukan dengan kita berdiam diri saja.

Mari kita lihat apa yang terjadi pada Daniel. Daniel merupakan nabi besar yang dengan rendah hati mempelajari kitab, termasuk kitab Yeremia. Ia menemukan akan adanya jumlah tahun yang berlaku atas timbunan puing Yerusalem, dimana itu artinya akan ada pembebas untuk bangsanya, tetapi pembebasan itu belum kunjung datang. Menanggapi hal tersebut, Daniel bukannya bersikap tidak acuh, tetapi ia justru mengarahkan mukanya pada Tuhan Allah untuk mendoakan, memohon sambil berpuasa, dan mengenakan kain kabung serta abu (Daniel 9:3). Dan Allah menggenapi janji-Nya dengan memberikan Pembebas, tidak hanya untuk bangsa Yahudi saja, tetapi juga seluruh dunia, yaitu Dia yang kita sebut dengan Mesias. Allah memang tidak akan mengingkari janji-Nya, tetapi Ia mau kita berespon dengan tepat terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita, salah satunya dengan cara berdoa.

Saya berdoa karena saya tidak bisa menahan diri. Saya berdoa karena saya tak berdaya. Saya berdoa karena kebutuhan mengalir keluar dari saya sepanjang waktu, ketika bangun dan tidur. Itu tidak mengubah Tuhan. Ini mengubah saya. – C. S. Lewis

Berdoa, berpuasa, dan memohon akan belas kasihan Allah merupakan bagian kita. Sekali lagi, hal ini bukan bertujuan untuk membuat Allah bekerja, BUKAN, tetapi ini untuk menggerakkan, membangun, dan mendorong iman kita terhadap Dia. Lebih daripada itu, kita juga harus sadar kepada siapa kita memohon. Allah adalah Allah yang maha benar, suci, dan tidak kompromi terhadap dosa. Oleh karena itu, doa dan permohonan kita juga harus diikuti dengan menghilangkan our righteousness, merendahkan diri di hadapan Allah, mengakui betapa berdosanya dan kebergantungan kita akan Dia. Betapa sombongnya kita untuk menjadikan ‘aku’ sebagai yang terutama. Mintalah pengampunan akan dosa kita dan dosa umat-Nya, walaupun kita sebenarnya tidak layak, tetapi kita mau lakukan ini demi kemuliaan Tuhan nyata dalam hidup kita baik secara individu maupun komunal.

Jadi, dunia untuk kita atau kita untuk dunia? Menurut saya, ini merupakan sebuah relasi unik. Allah memang menciptakan dunia ini untuk manusia, tetapi Allah juga mempercayakan sebuah tugas untuk manusia, yaitu Allah mau kita berkuasa atas bumi ini (Kejadian 1:26). Definisi kekuasaan ini menjadi tercemar karena manusia jatuh ke dalam dosa dan merasa kekuasaan itu seperti ‘raja kecil’ yang bisa berbuat semaunya. Tetapi sebenarnya “berkuasa” berarti mengelola, menjaga, memelihara, dan memperhatikan, bukan sebaliknya. Ia memanggil kita, mengingatkan kita lagi dan lagi akan tugas yang telah Ia percayakan pada kita terhadap dunia ini.

Pandemik ini seharusnya manjadi peringatan bagi kita semua. Mungkin apa yang dapat kita lakukan saat ini terbatas, tetapi bukan berarti kita bersikap seolah-olah kita berada pada belahan dunia yang lain. Ya, adalah kewajiban kita untuk menjalankan protokol kesehatan, tetapi tugas kita bukan sebatas itu saja. Kita harus ingat, Tuhan mau kita turut memperhatikan dan mendoakan dunia ini. Milikilah hati yang berdoa dan memohon belas kasihan Tuhan bagi dunia, bangsa, gereja, keluarga, dan orang lain. Mari kita menjalankan tugas kita untuk memperhatikan dunia, melakukan apa yang Allah mau untuk kita lakukan bagi dunia ini, dan memohon belas kasihan Allah melalui kesungguhan hati mendoakan keadaan dunia ini.

Oleh: EG

Image source: Comemo

Oleh:

Quote of the day

Mereka tidak kehilangan apapun yang mendapatkan Kristus.

Samuel Rutherford