Potret Pelopor Iman: John Calvin

Nama John Calvin tidak dapat dipisahkan dari kata Reformasi, peristiwa besar yang menyapu seluruh Eropa. Sebagai seorang teolog dan negarawan, Calvin membuat dampak yang kuat akan doktrin-doktrin dasar iman Kristen, dan secara luas diakui sebagai salah satu tokoh yang paling penting dalam peristiwa Reformasi. Di balik semua pencapaian besar ini terdapat seseorang yang dengan rendah hati menyerahkan keseluruhan hatinya demi menyatakan kemuliaan Tuhan pada dunia.

Masa Muda

John Calvin lahir pada tanggal 10 Juli 1509, di kota Noyon, Perancis. Salah satu tokoh terpenting dalam sejarah gereja dan Reformasi ini dilahirkan pada waktu Martin Luther berumur 25 tahun dan baru mulai mengajar Alkitab di kota Wittenberg, Jerman. Sebagai anak seorang pengacara yang cukup ternama, Gerard Calvin, ia dibesarkan dalam suatu keluarga yang baik serta memiliki koneksi dengan komunitas gereja pada saat itu, tempat ayahnya melayani.

Pada umur 14 tahun, dengan bantuan beasiswa dan kenalan orang tuanya, ia memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Paris. Di dalam sekolah tersebut, ia menghabiskan masa mudanya mempelajari teologi dan bahasa Latin dalam rangka persiapan masuk ke dalam kependetaan di gereja Katolik.

Namun, di Noyon, relasi ayahnya dengan keuskupan gereja menjadi tegang karena permasalahan antara badan hukum ayahnya dengan gereja. Ini menyebabkan keluarganya di ekskomunikasi pada tahun 1528, dan membuat ayahnya meminta Calvin yang muda untuk meninggalkan studi teologisnya di Paris untuk mengejar studi hukum di Orleans. Di kota inilah ia mengenal akan gerakan Reformasi dan figur-figur penting dalam gerakan tersebut, diantaranya adalah Martin Luther, John Hus dan John Wycliffe.

Pertobatan

Setelah setahun mempelajari hukum di Orleans, ia melanjutkan tiga tahun pendidikannya di Bourges. Di kota ini, ia hidup dikelilingi banyak sekali penganut ajaran humanisme. Tetapi, ia belajar di bawah profesor yang mengajar Yunani bernama Melchior Wolmar, yang adalah seorang Lutheran. Guru ini sangat mempengaruhi Calvin, dan membangkitkan semangatnya untuk giat mempelajari hukum, Firman serta iman Kekristenan. Ini membuatnya tidak merasa kagum akan keanggunan kosong yang menjadi ciri beberapa humanis terkenal, malah sebaliknya, ia kecewa akan mereka.

Banyak sekali perdebatan mengenai tahun pertobatan Calvin, yang diperkirakan terjadi di antara 1533-1534 pada waktu dia berumur 24 tahun. Keterangan yang ada sangatlah sedikit, dan Calvin hampur tidak pernah menulis berkenaan dengan masa mudanya. Satu-satunya cerita yang ia tuliskan tentang kelahiran barunya hanya berupa satu paragraf dalam pembuka buku tafsiran kitab Mazmur:

“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”

Allah menaklukkan kekerasan hatinya dan begitu membakar jiwanya untuk hidup bagi Tuhan yang jauh melebihi ketaatannya dalam mempelajari hukum atas permintaan ayahnya. Tetapi untuk menghormati ayahnya, ia terus menempuh pendidikannya sampai kematian ayahnya pada tahun 1531. Calvin mendapati dirinya bebas dari permintaan ayahnya dan ketika ia lulus sebagai Doktor Hukum pada tahun 1532, ia kembali ke Paris untuk belajar teologi.

“Hati saya amat keras pada periode awal kehidupan saya. Namun Allah, melalui pertobatan yang sangat tiba-tiba menundukkan dan membawa pikiran saya ke bentuk yang siap untuk diajar. Sesudah mengecap pengenalan akan kesalehan yang sejati, jiwaku langsung dibakar untuk mengejarnya dengan sepenuh hati.”

Pelarian, Perantauan, dan Pengajaran Inti Iman Kristen

Pada tahun 1533, 16 tahun sesudah Martin Luther memakukan 95 tesis di Wittenberg dan meluncurkan Reformasi, Calvin berada di kota Paris, dengan hati baru dan iman Kristen. Suatu ketika, Nicholas Cop, sahabatya berkhotbah di Universitas Paris yang sangat kontroversial. Ia menyatakan bahwa Kristus adalah pengantara satu-satunya antara manusia dan Allah, bukan Maria atau orang-orang kudus. Khotbah ini, yang sebagian konon ditulis oleh Calvin, memaksanya dan Cop untuk kabur dari kota karena mereka dianggap sebagai penganut ajaran sesat.

Dalam pengasingan, pada Januari 1535, Calvin pergi ke Basel di mana ia akan menulis dan menerbitkan edisi pertama buku Institutes of the Christian Religion (Institutio: Pengajaran Inti Iman Kristen). Edisi pertama ini diterbitkan pada Maret 1536 dan cukup pendek dibandingkan karya akhirnya yang melebihi 1000 halaman. Buku ini ia buat untuk dapat muat dalam kantong pengkhotbah supaya dapat dibawa dan dibaca di manapun dengan mudah.

“Tanpa pengetahuan tentang diri, tidak ada pengetahuan tentang Tuhan.”

Berkenaan dengan buku ini, ia menulis, “Yang ada dalam pikiran saya adalah menyatakan beberapa pengajaran dasar yang olehnya siapa pun dapat dibentuk untuk mengejar kesalehan sejati. Saya menulis buku ini terutama untuk saudara-saudari sebangsa saya, karena saya melihat bahwa banyak orang lapar dan haus akan Kristus, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang Dia.” Amatlah luar biasa bahwa pengajaran dasar ini akan tumbuh menjadi salah satu buku paling penting dalam sejarah gereja.

Dalam kesuksesannya menerbitkan buku ini, ia meninggalkan Basel pada tahun 1536 menuju kota Strasbourg supaya dapat menghabiskan hidupnya dalam studi dan menulis buku di bawah pengajaran Martin Bucer, seorang reformator terkenal.

Tetapi, dalam perjalanannya, ia mendapati bahwa jalur ke Strasbourg tertutup karena perang antara Charles V dan Francis I pada jaman itu, yang mengharuskan Calvin mengambil jalur lain, dan terpaksa singgah satu malam di kota bernama Geneva. Di Geneva inilah, Calvin nanti akan mengembangkan kota ini dalam banyak aspek termasuk teologi serta pemerintahan.

Geneva dan Strasbourg

Di Geneva, reformator pertama kota itu yang bernama William Farel mendapat kabar bahwa penulis Institutes yang terkenal itu singgah untuk semalam. Farel, yang memelopori reformasi di Geneva pada tahun 1536 berusaha memohon dan menghimbau Calvin untuk tinggal di Geneva supaya ia dapat mengembangkan gerakan reformasi di kota ini dengan baik. Namun, Calvin menolak permohonan Farel. Ia melihat dirinya sebagai seorang akademik, bukan pendeta. Hatinya tetap tergerak untuk menyendiri di Strasbourg untuk menulis buku yang nantinya akan bermanfaat untuk Reformasi di seluruh Eropa.

Farel yang melihat Calvin tidak mampu digerakkan oleh segala perkataannya kemudian dengan berani menyatakan kalimat terakhirnya kepada Calvin, “Aku berkata kepadamu, dalam nama Allah yang Mahakuasa, bahwa kecuali engkau menetap di sini sebagai rekan sekerja dalam pekerjaan Allah, kiranya kutuk-Nya ditimpakan padamu, karena engkau mengejar keinginanmu sendiri, bukan keinginan Kristus!”

Uniknya, Calvin pun akhirnya tunduk dan menerima tawaran Farel. Calvin pun menetap di Geneva dan pada Januari 1537 ia bersama Farel berjuang keras untuk menyebarkan gerakan Reformed di kota tersebut. Namun, waktu Paskah setahun kemudian, ia dan Farel diusir oleh dewan kota oleh karena musuh-musuh mereka yang menduduki posisi pemerintahan yang tinggi dan tidak senang akan perubahan yang dibawa dua orang ini. Meski hatinya sangat tergerak untuk Geneva, ia pun tunduk pada keputusan pemerintah yang ia lihat sebagai kehendak Allah dan pergi meninggalkan Geneva.

Calvin pun berangkat pergi ke Strasbourg, kota di mana Martin Bucer sedang melayani sebagai reformator yang besar. Calvin menghabiskan tahun-tahun yang paling bahagia dalam hidupnya di kota ini. Setelah banyak memohon dengan sangat – dan kemudian menegur dengan keras bahwa keengganan Calvin sama seperti nabi Yunus adanya – Bucer dengan sukses menggerakkan Calvin untuk menggembalakan 500an jemaat di kota tersebut. Bucer sendiri sangat mempengaruhi Calvin dalam pemahamannya akan posisi pelayanan gerejawi dan tatanan ibadah serta sistem pendidikan.

Pada tahun 1539, ketika melihat Geneva sudah ditinggalkan oleh para reformator, seseorang Kardinal bernama Sadolet menuliskan surat pada kota itu untuk berusaha mengembalikan mereka kepada gereja Katolik. Karena tidak ada orang yang fasih secara teologi untuk membalas Kardinal tersebut, Geneva pun memutuskan untuk memohon pertolongan Calvin. Calvin menuliskan surat balasannya yang sangat terkenal kepada Kardinal Sadolet mewakili Geneva, dan hal ini mulai memulihkan relasi dan reputasi Calvin dengan kota tersebut.

Pada bulan Agustus tahun 1540, kebahagiaannya bertambah setelah ia menikah dengan Idelette de Bure, yang berada dalam pengembalaan Calvin ketika ia melayani di Strasbourg. Ia sangat menghargai kerohanian istrinya, dan mereka menikmati kehidupan suami-istri yang indah.

Tetapi, pada 13 September 1541, tahun-tahun bahagia Calvin berakhir. Geneva meminta Calvin untuk kembali. Ia agak enggan untuk kembali, tetapi ia merasa bahwa kehendak Tuhan mendorongnya untuk pergi, dan ia pun taat dan berangkat ke kota lamanya.

Kembali ke Geneva, dan Tahun-tahun Gelap

Calvin pun kembali dan menetap di Geneva, yang nantinya akan menjadi bagian hidupnya yang paling dikenal orang masa kini. Pada periode inilah Calvin akan menderita banyak sekali pergumulan yang amat berat.

Ketika Calvin kembali ke Geneva, dia memakai wawasan yang ia dapat di Strasbourg untuk menyusun bentuk-bentuk kelembagaan gereja (pendeta, diaken, penatua) serta membentuk suatu Konsistori. Konsistori adalah sebuah badan pengadilan gerejawi yang terdiri atas penatua dan pendeta, yang diberikan otoritas untuk menjaga ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Badan ini membantu mengubah Geneva menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."

Tahun 1542 dimulai dengan tulah yang menyapu Strasbourg dan Geneva, menyebabkan banyak sekali kesakitan dan kematian. Calvin menolak untuk meninggalkan jemaatnya demi mencari aman di luar kota, tetapi ia meresikokan hidupnya untuk tetap di Geneva, melayani dan menghibur jemaatnya yang menderita.

Aku ingat bahwa aku bukan milikku sendiri, maka aku mempersembahkan hatiku sebagai korban bagi Allah.

Kemudian, pada musim panas tahun itu, anak Calvin lahir dan mati dua minggu kemudian. Kematian anaknya merupakan pukulan amat berat baginya, dan ini ditambah dengan kondisi istrinya yang sakit-sakitan sampai kematiannya pada tahun 1549. Dalam kondisi ini, ia terhibur dengan kehadiran teman-teman dekatnya melalui surat dan korespondensi mereka. Dalam salah satu suratnya ia menulis ke sahabat dekatnya Pierre Viret, “Tuhan telah menyebabkan luka parah dan pahit dalam kematian bayi laki-laki kami. Tetapi Dia sendiri adalah seorang ayah dan paling tahu apa yang baik untuk anak-anaknya.”

Namun, di dalam kegelapan ini, titik terang pun tetap bersinar baginya. Pada tahun itu juga Calvin dan Heinrich Bullinger (penerus reformator besar Huldrych Zwingli) menyusun Konsensus Zurich, yang menyatukan Gereja-Gereja Reformed di Swiss dan meletakkan fondasi untuk apa yang masih kita sebut gereja Reformed hari ini.

Kaum Libertine dan Perkara Servetus

Tahun 1553-1554 disebut seorang sejarawan gereja, T.H.L. Parker, sebagai periode signifikan dalam hidup Calvin. Dua peristiwa penting terjadi pada waktu ini: peperangan Calvin dengan kaum libertine yang mencapai puncaknya pada 3 September 1553, dan perkara Servetus yang terkenal sangat kontroversial dalam hidup Calvin pada 26-27 Oktober 1553.

Kaum libertine adalah sekelompok orang yang menganggap hidup sebagai sesuatu yang bebas mereka jalani sesuka hati nurani mereka. Ini menyebabkan mereka dengan bebas dan terbuka hidup dalam dosa dan hidup amoral, dengan kebebasan dalam seks dan mabuk-mabukan serta pesta pora. Meski mereka memiliki sikap hidup yang sangat amoral, mereka menganggap diri sebagai jemaat gereja yang baik dan ingin ikut serta dalam perjamuan kudus.

Calvin dengan keras menentang ini dan menyatakan disiplin gereja, memperingatkan kaum ini bahwa mereka tidak dapat berbagian dalam perjamuan tanpa pertobatan dari kehidupan mereka yang berdosa. Namun, pemerintah kota berpihak dengan kaum libertine dan memerintahkan gereja untuk mengijinkan kehadiran mereka dalam perjamuan. Calvin tidak bergeming.

Klimaks pertentangan ini datang pada 3 September. Kaum libertine memaksa masuk ke dalam gereja, dengan pedang di tangan seolah-olah menantang Calvin untuk mengijinkan mereka ikut perjamuan atau ia akan dibunuh. Konon, Calvin mengutarakan kalimat yang terkenal ini, “Engkau boleh meremukkan tanganku; engkau boleh memotong lenganku; engkau boleh mengambil hidupku; darahku milikmu, bolehlah engkau curahkan. Tetapi, engkau tidak akan pernah mampu memaksaku untuk memberikan apa yang kudus kepada apa yang hina, dan menghina meja Allahku.”

Theodore Beza, penerus Calvin di Geneva dan penulis biografinya, mencatat, "Setelah ini tata perjamuan dirayakan dengan keheningan yang amat dalam, dan di dengan hormat oleh semua yang hadir, seolah-olah Tuhan sendiri berada di antara mereka."

Para libertine undur dan tidak hadir. Konfrontasi langsung terhindarkan, namun kaum ini berusaha menjatuhkan Calvin melalui perkara Servetus yang tiba setelahnya.

Servetus adalah seorang Spanyol yang cukup ternama pada jaman itu. Ia adalah seorang Katolik, dokter medis, pengacara, dan ahli teologi yang terpengaruh ajaran humanis. Permasalahan diri Servetus adalah dalam doktrinnya tentang Allah Tritunggal yang ditetapkan baik gereja Katolik maupun Reformed sebagai ajaran sesat, namun mempengaruhi banyak orang.

Pada tahun 1553, Servetus dipenjara di Spanyol menunggu hukuman mati oleh gereja Katolik karena ia menentang ajaran Tritunggal. Ia berhasil melarikan diri, dan bersembunyi di Geneva. Ketika kehadirannya ketahuan oleh orang-orang di kota, ia ditangkap dan diadili atas dasar pengajaran sesat. Calvin dipanggil sebagai jaksa penuntut. Rincian perkara ini kurang jelas dalam sejarah, tetapi beberapa sejarawan mencatat Calvin menaruh belas kasihan pada Servetus dan menghimbaunya untuk kembali ke ajaran yang benar serta memohon pemerintah kota untuk memberi hukuman yang lebih ringan.

Namun, pada akhirnya Servetus dijatuhi hukuman mati pada tanggal 26 Oktober 1553 dan dibakar pada esok harinya. Kaum libertine, musuh Calvin membesar-besarkan perkara ini dan mencoreng nama Calvin di mata umum atas kekejaman dan kejahatan Calvin dalam mengutuki serta menghukum mati Servetus. Tindakan Calvin yang kurang elok dalam menangani perkara ini juga dikecam oleh teman-teman dekatnya. Hal ini menjadi pokok kritik utama akan hidup Calvin sampai sekarang.

Tahun-tahun Keemasan Calvin

Sisa hidup Calvin bisa disebut sebagai tahun-tahun keemasan Calvin. Dengan dukungan mayoritas pejabat di dewan kota, segala kemampuan Calvin dalam aspek teologi, hukum, serta pemerintahan muncul dan berpengaruh dengan besar.

Ia mendirikan Akademi Geneva pada tahun 1559, sekolah umum gratis bagi masyarakat dengan Theodore Beza sebagai rektor pertama. Tercatat ketika Calvin mati, lebih dari 1500 orang bersekolah di sana. Banyak lulusan sekolah ini diperlengkapi dan diutus ke banyak tempat di Eropa, dan menggerakkan kebangunan rohani besar di seluruh pelosok negeri.

5 tahun terakhir hidupnya diisi dengan khotbah dan menulis buku. Ia berkhotbah 3 kali seminggu (yang dulunya 2 hari sekali) dan rata-rata 1100 orang menghadiri setiap khotbahnya. Buku yang ia selesaikan selain Institutes adalah tafsiran akan hampir seluruh bagian Alkitab (kecuali kitab sejarah Perjanjian Lama, Sastra Hikmat, surat-surat kecil Yohanes serta Wahyu).

Calvin jatuh sakit parah dalam musim dingin tahun 1558 pada usia 49 tahun. Merasa bahwa ia sebentar lagi mati, Calvin mengalihkan sedikit tenaganya yang tersisa untuk merevisi buku Institutes. Ingin meninggalkan gereja dengan edisi yang paling baik, ia bekerja dengan giat untuk menyelesaikannya meskipun dalam keadaan sakit keras. Kesehatannya membaik pada tahun 1559, dan ia menyelesaikan edisi terakhir dari karyanya dalam bahasa Perancis pada tahun 1560.

Makam Tanpa Tanda

Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Kecepatan kerja Calvin mulai melambat pada bulan Febuari 1564, dan tenaganya mulai hilang dan ia tidak mampu untuk berkhotbah ataupun mengajar. Namun dalam kesakitan ini pun, semangatnya tak pudar dan ia terus menulis karya-karyanya dengan kekuatan yang tersisa.

Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-teman dekatnya yang kuatir akan banyaknya pekerjaan yang ia lakukan sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?" Pada saat-saat terakhirnya, ia mengundang semua teman dekatnya dewan kota serta Konsistori untuk pertemuan terakhir serta meminta maaf akan seluruh kesalahannya, baik sikap berangnya dan kelemahannya.

Calvin tahu bahwa ia akan dikenang orang lama sesudah ia mati. Ia pun berusaha keras untuk hilang dari tulisan sejarah sebisa mungkin, meminta teman-temannya untuk mengubur dia di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara, untuk menghindari perantau datang melihat tempat pekuburannya dan mengkultuskan dirinya sebagai orang suci, suatu sikap pemberhalaan yang ia tentang seumur hidupnya.

“Sifat manusia boleh dikatakan adalah pabrik berhala yang abadi.”

John Calvin meninggal di Geneva pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang tidak ditandai, untuk menghormati permintaannya. Tidak diketahui kubur mana yang merupakan miliknya, sebuah batu dengan ukiran inisialnya, “J.C” ditambahkan di abad ke 19 untuk menandakan kubur yang dianggap miliknya.

Hidup yang ia telah selesaikan, ia arahkan kepada satu tujuan, tidak untuk membesar-besarkan dirinya sendiri tetapi berjuang sekuat mungkin untuk mengarahkan pandangan manusia ke Pribadi yang telah mengasihi dan menyelamatkannya, yaitu Allah yang layak ditinggikan dan dipermuliakan selama-lamanya.

Image source: Learn Religions

Kemarahan Allah

Ketika membaca judul di atas, apa yang muncul dalam pikiran kita? Mungkin kita akan mengerutkan dahi sambil berpikir, apa iya Allah bisa marah? Bukankah Ia penuh kasih dan penyayang? Tetapi faktanya, bukan saja Allah pernah marah, tetapi Alkitab bahkan dengan jelas mencatat mengenai kemarahan dan murka Allah lebih banyak dibanding dengan kebaikan dan kelembutan-Nya (A.W. Pink, The Attributes of God). 

Kitab Ulangan 32:39-41 memberikan kita gambaran tentang Allah yang marah dan menuntut adanya pembalasan.

“Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku. Sesungguhnya, Aku mengangkat tangan-Ku ke langit, dan berfirman: Demi Aku yang hidup selama-lamanya, apabila Aku mengasah pedang-Ku yang berkilat-kilat, dan tangan-Ku memegang penghukuman, maka Aku membalas dendam kepada lawan-Ku, dan mengadakan pembalasan kepada yang membenci Aku”.

Ketika kita membaca Alkitab secara keseluruhan, kita akan menemukan bentuk-bentuk kemarahan dan murka Allah di berbagai kitab lainnya. Kita akan menemukan Allah yang murka dan mengirimkan api (Bilangan 11:1-2), Allah yang membuat umat Israel mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun sehingga seluruh angkatannya habis mati (Bilangan 32:13), Allah yang menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora (Kejadian 19:24), dan Tuhan Yesus yang mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah (Matius 21:12)

Alkitab juga mencatat beberapa peristiwa mengenai kemarahan Yesus. Salah satunya tercatat di dalam kitab Markus 3:5.

“Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.”

Yesus marah kepada orang-orang Farisi yang saat itu berada di rumah ibadat. Ia berdukacita karena melihat kedegilan hati orang-orang Farisi tersebut. Mereka yang adalah kaum pilihan, umat Israel, para ahli yang telah membaca dan merenungkan kitab suci tetapi tidak mengerti dan hati mereka jauh dari Tuhan. Bayangkan saja, ketika melihat Yesus menyembuhkan orang yang sedang sakit, alih-alih bersukacita, mereka malahan dengan sengaja mencari-cari hal apa yang bisa digunakan untuk mempersalahkan Yesus.

Kemarahan Tuhan Yesus tidak muncul karena Ia tidak dapat menguasai diri, tetapi karena Ia melihat suatu dosa sehingga hati-Nya menjadi marah dan berduka. Kemarahan Tuhan Yesus adalah kemarahan yang suci, sangat berbeda dengan kita. Kita seringkali mudah marah bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu.

Kita marah karena barang milik kita hilang atau diambil orang, atau kita marah ketika menghadapi kemacetan lalu lintas. Mari kita berpikir sejenak, ketika orang lain menghina Kekristenan dan menjadikannya lelucon, bagaimana sikap kita? Apakah hati kita berduka dan marah? Atau barangkali kita juga tertawa dan menganggapnya sebagai hal yang lucu? Masakan kita tidak marah jika kesucian Allah kita diolok-olok? Kita harus mengintrospeksi diri kita. Apakah kita juga berduka terhadap hal yang mendukakan Allah? Apakah kita juga marah terhadap hal yang membuat Allah marah? Sudahkah kita sehati dan sinkron dengan Allah?

Tuhan Yesus sudah menjadi teladan untuk kita semua. Dia yang adalah Allah rela turun ke dalam dunia demi menebus dosa kita. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan dan mengosongkan diri-Nya sendiri (Filipi 2:7). Dia tidak marah karena hak-Nya diambil orang lain, maupun ketika diolok-olok orang lain. Tetapi Ia marah terhadap dosa dan ketika manusia mempermainkan nama Allah. Inilah kemarahan yang sejati, kemarahan yang muncul dari kesucian Allah.

Pada zaman ini konsep kemarahan Allah sudah jarang dibahas. Kita lebih sering mendengar mengenai konsep kebaikan dan kasih Allah. Tetapi sesungguhnya, menurut A.W. Pink, kemarahan Allah adalah bentuk kesempurnaan dari keilahian-Nya yang harus terus kita renungkan. Mengapa kita perlu merenungkan mengenai kemarahan Allah?

Pertama, agar hati kita menyadari bagaimana Allah membenci dosa. Sebab seringkali kita memandang dosa sebagai hal yang ringan. Kedua, menghasilkan jiwa yang takut akan Allah. Kita harus melayani Allah yang sejati dengan perasaan gentar karena Allah kita adalah api yang menghanguskan. Ketiga, memiliki perasaan yang senantiasa bersyukur kepada Yesus Kristus karena telah melepaskan kita dari murka Allah.

Sebagai orang yang percaya, kita sepatutnya bersyukur karena telah dilepaskan dari murka Allah dan diperdamaikan dengan Dia. Tetapi kita tidak boleh menganggap remeh hal itu, dan terus berjuang untuk melawan dosa, sebab dengan jelas dikatakan bahwa Allah membenci dosa. Dan kita harus selalu mengingat bahwa Allah kita adalah api yang menghanguskan (Ibrani 12:29).

“Kita sudah terlalu meninggikan kasih Tuhan melampaui kesucian dan murka-Nya sampai neraka pun seolah-olah ber-AC.” - Steve Lawson
“Alkitab bahkan mencatat mengenai kemarahan dan murka Allah lebih banyak dibandingkan dengan kebaikan dan kelembutan-Nya.” - A.W. Pink, The Attributes of God

Oleh: DS

Image source: Wikipedia

Kesabaran Allah

Kita sekarang hidup di zaman yang serba praktis dan serba cepat. Jika kita mengingini sesuatu, kita mau untuk mendapatkannya secepat mungkin bahkan detik ini juga. Konsep menunggu atau sabar menjadi sesuatu yang asing bagi kita semua. Hal ini dibuktikan dari peningkatan restoran cepat saji di Indonesia yang bertumbuh sekitar 15% setiap tahunnya. Menunggu 15 menit untuk makanan? 5 menit saja sudah terlalu lama! Hal yang sama juga terjadi di gereja-gereja masa kini. Mendengar khotbah satu jam? 15 menit saja udah kelamaan!

Mungkin kita setuju bahwa kesabaran adalah hal yang penting. Tetapi pertanyaannya, darimana kita belajar mengenai kesabaran? Kenapa seseorang perlu menjadi sabar? Jawabannya sederhana, karena Allah sendiri yang lebih dulu bersabar kepada kita.

Arthur W. Pink mendefinisikan kesabaran Allah sebagai kemampuan menahan amarah dan menunggu sebelum memberikan hukuman kepada orang-orang yang berdosa. Kita dapat melihat hal ini saat umat Israel memberontak kepada Allah di Kadesh, padang gurun Paran. Ketika Allah hendak melenyapkan mereka, seketika itu juga Musa berkata, “TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat” (Bilangan 14:18).

Kesabaran Allah terlihat ketika Ia berhadapan dengan kita semua, orang-orang yang berdosa. Dalam kitab Kejadian 6, dikatakan bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, oleh karena itu Allah berhendak untuk menghapuskan manusia maupun binatang yang ada di bumi. Ketika itu, hanya Nuh dan keluarganya saja yang benar di mata Allah. Kemudian Allah memerintahkannya untuk membuat sebuah bahtera karena akan datang air bah yang akan memenuhi seluruh bumi. Allah tidak langsung saat itu menghukum orang-orang yang berdosa, tetapi memberikan mereka waktu dan kesempatan untuk berbalik kepadanya, diperkirakan sekitar 120 tahun (Kejadian 6:3).

Apakah Allah tidak mampu untuk seketika itu juga memberikan hukuman kepada mereka? Tentu Ia mampu melakukannya, seperti tertulis dalam Kisah Para Rasul 5:1-11 mengenai Ananias dan Safira. Ketika mereka berbohong, seketika itu juga Allah langsung menghukum dengan mencabut nyawa mereka. Lantas mengapa Allah tidak langsung saat itu menghukum orang-orang yang berdosa? Satu-satunya jawaban adalah karena Ia panjang sabar atau dalam bahasa inggrisnya longsuffering. Ia menahan amarah-Nya dan memberikan waktu sebelum memberikan hukuman kepada kita semua, orang-orang berdosa yang layak untuk dimurkai-Nya.

Kejadian 3 menceritakan mengenai kejatuhan Adam dan Hawa sebagai perwakilan dari seluruh manusia telah jatuh ke dalam dosa. Allah kemudian menghukum dan mengusir mereka dari Taman Eden. Tetapi Allah juga yang membuatkan mereka pakaian dari kulit binatang dan mengenakannya kepada mereka. Oh betapa panjang sabar Allah kita! Tidak hanya itu, Ia juga menjanjikan bahwa akan ada kemenangan melawan keturunan ular melalui anakNya sendiri, yaitu Yesus Kristus.

Betapa seringnya kita melawan perintah-perintah Tuhan? Seringkali kita melawan Dia, melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya, memanfaatkan kebaikan dan kesabaranNya terhadap kita. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Paulus dalam 1 Timotius 1:16 memberikan kita gambaran tentang kesempurnaan kesabaran yang diperlihatkan oleh Yesus Kristus kepada dirinya. Yesus Kristus yang adalah Allah itu sendiri dengan kesabarannya menunggu agar Paulus berbalik dan bertobat. Seperti Paulus, kita semua orang-orang berdosa yang telah menerima kesabaran-Nya, sudah sepantasnya kita juga berlaku sabar terhadap orang-orang lain, misalnya saat kita ditolak atau bahkan dihina ketika mengabarkan injil.

“Seorang Kristen tanpa kesabaran layaknya seorang prajurit tanpa lengan.” - Thomas Watson

Kunci utama dari kesabaran adalah mengetahui bahwa Allah yang berdaulat dan memiliki kontrol atas sejarah manusia turut bekerja dalam kehidupan kita sekarang ini. Efesus 4:2, Paulus berkata, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” Setiap orang Kristen yang menyadari bahwa diri kita telah menerima belas kasihan dan kesabaran dari Allah seharusnya dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang ada di dunia ini, khususnya yang ada di sekeliling kita. Mari kita belajar untuk sabar terhadap teman, keluarga, bahkan kepada orang-orang yang menolak menerima Injil Kristus, sebab kita telah terlebih dahulu menerimanya dari Allah.

Kunci utama dari kesabaran adalah mengetahui bahwa Allah yang berdaulat dan memiliki kontrol atas sejarah manusia turut bekerja dalam kehidupan kita sekarang ini.

Oleh: DS

Mematikan Dosa (1)

Banyak dari orang-orang Kristen yang berpikir, jika didalam sebuah kebaktian mereka pernah mengangkat tangan, maju ke depan, menangis dan menerima Yesus Kristus menjadi Juruselamatnya, maka itu artinya mereka sudah diselamatkan dan masuk surga.

Ini bukan kebenaran yang Alkitab nyatakan karena ada banyak kepalsuan yang mungkin terjadi dalam hal-hal seperti ini.

Alkitab menyatakan dalam Galatia 5:24 kalau seseorang adalah milik Kristus Yesus, maka dia akan mematikan dosa yang ada di dalam dirinya dan menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

Ini prinsipnya : barangsiapa menjadi milik Kristus = True Christian = The real member of Christ, mereka adalah orang-orang yang memberi dirinya diperintah oleh Yesus Kristus dan yang memberi dirinya takluk dibawah pimpinan Roh Kudus. Orang-orang seperti ini akan memiliki 1 tanda kesejatian, yaitu proses pengudusan yang sungguh-sungguh terjadi di dalam hidupnya.

Kalau seseorang berkata “saya sudah menerima Yesus Kristus”, tapi hidupnya masih di bawah kuasa dosa, tidak mengasihi kesucian Allah, tidak mau mematikan dosa, maka semua itu adalah kebohongan. Setiap orang Kristen yang sejati harus mengalami proses pengudusan setelah proses pengakuan.

2 hal ini yang merupakan bentuk dari proses pengudusan. Yang pertama adalah mematikan dosa. Dan setelah itu, maka Roh Kudus akan membawa seluruh hati dan pikiran kita dalam proses yang progresif untuk memikirkan kehendak Allah di surga.

Perhatikan 4 arah ini. Alkitab menyatakan ini merupakan tugas-tugas penting yang Tuhan berikan kepada setiap orang Kristen yang sejati.

Kepada Tuhan, setiap manusia harus hormat.

Kepada setan, setiap manusia harus melawan.

Terhadap diri, setiap daripada diri kita harus menyangkal.

Kepada dosa, setiap daripada kita harus mematikan dosa.

Hanya orang2 yang adalah milik Kristus, maka di dalam hatinya ada Roh Kudus yang akan membawa dia menuju kepada pengalaman-pengalaman mematikan dosa.

Pembenaran didalam Kristus Yesus dan proses pengudusan akan selalu bersanding bersama-sama.

Jika proses pengudusan ini tidak ada, maka semua pengakuan kita ketika kita menangis, mengangkat tangan dan maju kedepan dalam sebuah kebaktian, itu menjadi suatu kepalsuan.

Ordo Salutis: Predestinasi

Predestinasi adalah salah satu doktrin yang penting di dalam kekristenan yang sering menjadi pokok pembahasan karena cukup menarik dan penuh misteri. Tetapi doktrin ini juga banyak disalah mengerti oleh banyak orang Kristen, sehingga kita harus lebih berhati-hati di dalam mempelajari doktrin ini. Jikalau tidak berhati-hati, maka kita akan memiliki pengertian yang salah akan doktrin ini, dan itu akan menjerat kita pada pengenalan yang salah akan Allah.

Mari kita terlebih dahulu melihat di dalam Efesus 1:5. Di dalam ayat ini dikatakan ,“Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Ini adalah salah satu ayat di dalam Alkitab yang mengandung doktrin Predestinasi. Predestinasi pada dasarnya berarti Allah di dalam kekekalan telah memilih dari semua manusia, sebagian orang-orang yang akan diselamatkan, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya. Maka tentu sebagai konsekuensi logisnya, ada orang-orang yang tidak akan diselamatkan. Hal ini menyebabkan munculnya tuduhan yang mengatakan bahwa Tuhan tidak adil. Tuduhan ini sama sekali tidak benar.

Untuk dapat mengerti doktrin Predestinasi, kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:

Pertama, kita harus mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang jahat yang keluar dari Allah. Sebagai manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita mudah dan sering memiliki pikiran yang jahat/jelek terhadap sesuatu, seseorang dan bahkan kepada Allah. Kita bisa berpikiran buruk terhadap apa saja dan siapa saja. Misalnya, seseorang yang suka berbohong, maka dia akan memiliki kecenderungan untuk mencurigai orang lain dan berpikir bahwa orang lain juga suka berbohong seperti dia. Maka dia akan sering ketakutan kalau-kalau dia dibohongi atau ditipu oleh orang lain. Tentu setiap orang akan selalu berjaga-jaga jangan sampai dibohongi atau ditipu, tetapi kecurigaan orang ini akan lebih besar daripada orang lain pada umumnya. Ini adalah salah satu karakter manusia yang selalu memproyeksikan sifat-sifatnya sendiri, pemikirannya sendiri, presaposisinya sendiri kepada orang lain. Dan lebih celaka lagi, presaposisi ini juga manusia pakai untuk memproyeksikan Allah. Karena presaposisi yang salah ini maka kita juga akan mengenal Allah yang salah, yaitu Allah yang jahat.

Kedua, di dalam Yesaya 55:8 disebutkan “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan.” Maka tentu saja kita tidak akan pernah bisa memahami sepenuhnya rencana Tuhan yang tinggi. Hanya sebagian yang diwahyukan kepada kita dan itu tidak membuat kita bisa mengerti Tuhan sepenuhnya seperti yang ditulis di dalam kitab Ulangan 29:29 “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita.” Maka tanggung jawab kita hanya sebatas pada yang dinyatakan kepada kita saja. Jangan mencoba mencari tahu apa yang disembunyikan bagi kita karena ini bisa menuju kepada kesesatan. Predestinasi adalah salah satu contoh yang baik untuk ini. Ketika kita memaksa untuk mengetahui bagian yang Tuhan sembunyikan ini, maka bisa menghasilkan suatu kesimpulan yang menyesatkan, contohnya seperti pemikiran bahwa Tuhan itu jahat, tidak adil, pilih kasih dan sebagainya. Tidak mungkin ini keluar daripada Tuhan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak ada yang jahat keluar dari Tuhan. Pikiran kitalah yang seringkali menyesatkan oleh sebab dosa kita sendiri. Sejauh bagian kita, percayalah bahwa Tuhan tahu apa yang Dia kerjakan dan janganlah kita menjadi sombong, menaikkan posisi kita seolah-olah kita tahu apa yang menjadi pikirkan-Nya, pertimbangan-Nya, dan bijaksana-Nya. Paulus berkata di dalam Roma 11:33-34, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?”

Ketiga, Tuhan oleh kebaikan-Nya menghendaki semua orang untuk diselamatkan. Tidak mungkin Dia mencipta manusia hanya untuk dibinasakan. Firman Tuhan berkata di dalam 1 Timotius 2:4 bahwa Tuhanlah “yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan”. Tetapi ini bukan ketetapan-Nya, melainkan kehendak-Nya. Karena jika itu adalah ketetapan Tuhan, maka pasti terlaksana dan semua orang diselamatkan. Pada dasarnya Tuhan tidak menghendaki kehancuran orang fasik, melainkan pertobatan supaya ia hidup (Yeh. 33:11). Tetapi ketika Tuhan memanggil orang-orang fasik untuk kembali kepada-Nya, mereka tidak mau datang. Firman Tuhan: “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Mat. 23:37). Ini adalah dalam konteks Yerusalem, tetapi sampai sekarang masih tetap sama kejadiannya. Tuhan memanggil orang-orang untuk diselamatkan melalui pemberitaan Injil Yesus Kristus. Tetapi orang-orang fasik menolak panggilan ini. Maka mereka pada akhirnya dibinasakan karena keadilan Tuhan harus dijalankan.

Kesimpulannya, Predestinasi mengandung suatu misteri yang tidak bisa kita pahami sepenuhnya. Tetapi yang penting kita tanamkan dalam pikiran kita adalah bahwa Allah itu adalah kasih dan adil adanya.  Kedua atribut Allah ini tidak dapat dipisahkan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa dan melawan Allah, pada saat yang sama manusia sudah memasuki suatu keadaan dimana dia sudah selayaknya dibinasakan. Ketika Allah berbelas kasihan dan mengampuni sebagian manusia, maka itu tidak membuat Allah harus mengampuni semua. Ketika orang berdosa dihukum oleh Allah, itu adalah suatu keadilan Allah yang ditegakkan karena orang berdosa layak dihukum. Allah tidak berhutang apa-apa kepada orang yang tidak diselamatkan karena memang mereka layak dihukum.

Ketika kita mengerti akan doktrin predestinasi dan menyadari bahwa Allah telah menganugerahkan keselamatan bagi kita, maka seharusnya kita bersyukur dan memuji Tuhan.

Soli Deo Gloria.

Oleh: AH

Ordo Salutis: Garis Besar Ordo Salutis

Tuhan telah menetapkan Ordo Salutis sejak dari kekekalan, Dia juga yang menggenapinya dan memberikan anugerah-Nya yang begitu besar kepada kita. Pada bagian ini kita akan melihat garis besar daripada Ordo Salutis. 

Mari kita melihat pengertian tentang keselamatan terlebih dahulu. Keselamatan sebenarnya tidak bisa dipersempit artinya sebagai mati masuk sorga saja. Banyak orang mencari Tuhan hanya supaya bisa masuk ke sorga saja. Ini bukan konsep keselamatan dalam kekristenan. Keselamatan adalah ketika anugerah Tuhan diberikan kepada kita dengan dihadirkannya Roh Kudus di dalam hidup kita, yang memampukan kita untuk percaya dan menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan dengan iman.

Ketika mendapat anugerah keselamatan ini, maka kita dibenarkan dan diperdamaikan dengan Allah Bapa di sorga. Hubungan yang telah rusak karena kita sudah jatuh di dalam dosa, kini diperbaharui kembali oleh Kristus Yesus melalui karya penebusan-Nya. Kita kembali memiliki relasi yang intim dengan Allah Bapa di mana kita bisa merasakan kehadiran-Nya dan pimpinan-Nya di dalam hidup kita. Kita bisa merasakan segala berkat-berkat-Nya yaitu kegenapan dari janji-janji-Nya, suatu pengalaman untuk menyaksikan Tuhan yang hidup dan bekerja dalam hidup kita. Ini adalah suatu kenikmatan yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan, yang Dia berikan kepada kita pada saat ini ketika kita masih hidup di dunia.

Di sisi lain, ketika kita sudah mengalami semuanya ini, maka segala kehidupan kita akan berubah. Kita akan menjadi manusia baru, anak-anak Allah. Maka ketika kita melakukan kehendak-Nya, pada saat yang sama kita memuliakan Bapa kita yang ada di sorga. Inilah keselamatan itu, yang sudah Tuhan hadirkan dalam hidup kita sekarang dan terus akan berlanjut sampai kepada kekekalan.

Relasi yang intim dengan Allah Bapa di sorga ini disebut sebagai “mengenal Allah”. Arti dari kata “mengenal” yang dipakai di dalam Alkitab ini tidak sama dengan arti dari kata “mengenal” yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. “Mengenal” di sini bukan berarti hanya sekedar “tahu” atau “memiliki pengetahuan tentang”, melainkan suatu pengenalan yang memiliki suatu relasi yang intim. Kata asli dari “mengenal” dalam bahasa Ibrani yang dipakai di dalam Alkitab adalah ‘yada’. Kata yang sama juga dipakai untuk menjelaskan ‘hubungan intim’ suami isteri, misalnya di dalam Kejadian 4:25 dikatakan “Adam bersetubuh pula dengan isterinya”.

Tuhan memakai gambaran hubungan suami istri untuk menjelaskan bagaimana intimnya relasi kita seharusnya dengan Dia karena seorang suami/istri adalah orang yang paling mengenal pasangannya dengan begitu intim, melebihi orang lain. Hanya dengan relasi yang seperti ini kita dapat menikmati Tuhan dalam hidup kita. Jadi keselamatan bukan hanya sekedar mati masuk sorga, melainkan ketika kita dapat mengenal dan berelasi dengan Dia secara intim, saat ini, selagi kita masih hidup sampai kita mati dan dibangkitkan di dalam kekekalan.

Mengenal Allah adalah suatu proses sepanjang hidup. Kita tidak akan pernah bisa mengenal Allah secara tuntas seumur hidup, karena pengenalan akan Allah yang tidak terbatas itu tidak bisa ditampung oleh otak manusia yang terbatas. Untuk mempelajari seluruh pengetahuan dalam satu bidang studi saja kita tidak mampu. Bagaimana kita bisa menuntaskan pengetahuan tentang Pencipta kita. Hanya di dalam kekekalan nanti maka kita baru dapat mengenal Allah sepenuhnya. Tetapi ini bukan berarti sekarang kita tidak perlu mengenal Dia.

Ordo Salutis dijelaskan dengan singkat oleh Paulus di dalam Roma 8:30 sebagai berikut “Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”

Secara garis besar Ordo Salutis dimulai dari pemilihan di dalam kekekalan oleh Allah kepada orang-orang yang akan diselamatkan atau yang biasa disebut dengan istilah Predestinasi. Orang-orang pilihan inilah yang mendapatkan panggilan dari Allah. Panggilan efektif akan menghasilkan kelahiran kembali (baru) dan pertobatan yang mencakup pengakuan dosa dan iman. Orang tersebut akan memiliki hubungan yang baru dengan Tuhan, menjadi “anak Tuhan”, kemudian diteruskan dengan ketaatan dan ketekunan sebagai orang kudus. Pada akhirnya mereka boleh dipermuliakan.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, Ordo Salutis membentuk suatu urutan yang logis. Tetapi perlu diperhatikan bahwa urutan ini bukan merupakan urutan secara kronologis atau urutan waktu seolah-olah seseorang dapat dipanggil sebelum dia dibenarkan. Meskipun secara logis berurutan, tetapi sebenarnya proses ini adalah satu kejadian yang sama. Ketika Tuhan memanggil kita, maka pada saat yang sama kita akan beralih dari dosa menuju kepada Tuhan, di mana kita dibenarkan. Dan orang yang dibenarkan maka dia akan dipermuliakan karena dia sekarang menjadi anak Allah.

Jika kita boleh memperoleh anugerah menjadi bagian dari Ordo Salutis, maka Allah mengijinkan kita untuk mengenal-Nya. Alangkah pentingnya setiap orang yang telah menerima anugerah keselamatan untuk boleh hidup memuliakan Tuhan dan menikmati Dia selama-lamanya. Bersyukurlah kepada Tuhan ketika kita dapat mengenal Dia karena tidak semua orang yang mencari Allah akan menemukan-Nya. Allah hanya bisa dikenal jika dan hanya jika Dia mau menyatakan diri-Nya. Banyak orang mencari tetapi tidak kepada semuanya dia menyatakan diri-Nya. Bukan kita yang menemukan Yesus, melainkan Dialah yang menemukan kita. Mari kita bersyukur senantiasa untuk anugerah-Nya.

Soli Deo Gloria.

Oleh: AH

Jonathan Edwards dan Disiplin Rohani

Tokoh pertama yang dibahas dalam seri “Tokoh-tokoh Kristen” kali ini adalah Jonathan Edwards. Pada suatu kesempatan, RC Sproul, pendiri Ligonier Ministeries, mengatakan bahwa Jonathan Edwards adalah tokoh paling saleh yang pernah diberikan Tuhan kepada Amerika. Ini adalah kalimat yang sangat berani, mengingat pasti begitu banyak tokoh asal Amerika yang dia pelajari. Jika kita sendiri yang mengatakan kalimat tersebut mungkin terkesan biasa, sebab mungkin sekali tokoh yang kita ketahui hanya satu saja.

Tujuan dari artikel yang sangat singkat ini bukan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai siapa Jonathan Edwards, melainkan agar kita semua dapat mengenal, atau bahkan sekedar mengintip siapa dan mengapa dia disebut sebagai orang paling saleh di Amerika.

Mengapa belajar melalui tokoh Kristen

Ibrani 13:7 mengajarkan agar kita mengingat akan pemimpin yang telah menyampaikan firman Allah, memperhatikan akhir hidup mereka, dan mencontoh iman mereka. Paulus sendiri dalam nasihatnya kepada Timotius mengajarkan agar memegang segala pengajaran yang telah dia berikan kepadanya. Sehingga kita mengetahui adalah hal yang baik untuk melihat suatu tokoh dan mempelajari bagaimana mereka pernah dipakai oleh Tuhan.

Hidup Jonathan Edwards

Secara singkat saja, Edwards lahir di East Windsor, Connecticut pada 5 Oktober 1703. Dia terlahir di dalam keluarga Kristen, dan ayahnya, Timothy Edwards merupakan seorang pendeta di daerah tersebut. Kepandaiannya sudah terlihat sejak di usia muda.

Meskipun lahir dalam keluarga Kristen, Edwards tetap mengalami pergumulan dalam imannya. Khususnya di saat remaja, dia sangat kesulitan menerima pengajaran Calvinist mengenai “Kedaulatan Allah”. Edwards melihat itu sebagai doktrin yang sangat mengerikan. Tetapi oleh karena anugerah Tuhan, ia mendapatkan pencerahan pada tahun 1721 saat melakukan meditasi pada kitab 1 Timotius 1:17. Sejak itu Edwards memiliki suatu sukacita terhadap doktrin “Kedaulatan Allah”.

Dia mengemban pendidikan di Yale University dan memperoleh gelar Master pada tahun 1722. Ketika itu, dirasakan bahwa Harvard University telah bergeser ke arah sekular, oleh karenanya dia memilih mengambil pendidikannya di Yale ketimbang Harvard. Setelah lulus, Edwards menjadi murid dari kakeknya, Solomon Stoddard yang merupakan pendeta dan melayani bersama di dalam gereja. Edwards adalah orang yang sangat komitmen dalam hal belajar, menurut sejarah, ia menghabiskan 13 jam dalam satu hari untuk membaca dan menulis.

Terdapat banyak sekali karya terkenal yang ditulis oleh Edwards, baik dalam bentuk khotbah maupun buku-buku. Karyanya yang paling terkenal dan banyak dibaca berjudul “Orang berdosa di tangan Allah yang murka”. Suatu khotbah yang luar biasa dan memberikan banyak kebangunan rohani. Tetapi sangat disayangkan jika kita hanya berhenti di buku itu saja, sebab banyak sekali karya-karya Edwards yang

sungguh memukau, bahkan hingga hari ini, misalnya The Freedom of the Will, Religious Affections, A Faithful Narrative of Suprising Work of God, Life and Diary of David Brainerd, dan A Treatise on Original Sin”.

Great Awakening

Dalam bukunya yang berjudul A Faithful Narrative of Suprising Work of God, Edwards memberikan kesaksian secara singkat mengenai kebangunan rohani secara besar-besaran yang terjadi di New England (Amerika Serikat) tahun 1734-35, yang disebut juga The Great Awakening.

Saat itu Edwards melayani sebagai pendeta di Northampton, Massachusetts. Pada bulan Desember tahun 1734, Roh Tuhan (The Spirit of God) bekerja secara luar biasa bagi orang-orang di wilayah tersebut. Secara mendadak, satu per satu, 5 hingga 6 orang bertobat dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini sangat mengejutkan, terlebih lagi karena salah satu diantaranya adalah perempuan muda yang bisa dikatakan paling nakal di kota itu.

Edwards yang awalnya ragu kemudian mencoba berbicara dengan perempuan muda tersebut. Dalam percakapan tersebut, perempuan itu mengatakan bahwa Tuhan memberikan dia satu hati yang baru, yang hancur, dan yang telah disucikan. Mendengar hal tersebut, Edwards hanya bisa mengatakan, "I could not then doubt it, and I have seen much in my acquaintance with her since to confirm it."

Tidak terduga berita pertobatan perempuan ini menjadi satu cara yang dipakai oleh Tuhan untuk membangkitkan kerohanian anak-anak muda di kota tersebut. Kebangunan rohani secara besar-besaran mulai terjadi di kota tersebut, mencakup segala kelas sosial dan semua rentan usia. Pembicaraan mengenai hal-hal spiritual menjadi sangat populer dan dicari-cari oleh semua orang di kota tersebut, seakan-akan semua orang melupakan segala kesibukan dunianya, dan berkomitmen untuk membaca, berdoa, dan hal-hal rohani lainnya.

Dalam durasi yang cukup singkat, jumlah orang-orang suci yang takut akan Tuhan bertambah berkali-kali lipat jumlahnya. Pada musim Spring dan Summer tahun 1735, seluruh kota seperti dipenuhi oleh hadirat Allah. Terlihat dengan jelas adanya kehadiran Tuhan hampir di semua rumah tangga yang ada. Dalam setiap pertemuan, para pemuda selalu menghabiskan waktunya untuk membicarakan mengenai kebesaran dan cinta dari Yesus Kristus.

Kebangunan rohani terjadi besar-besaran, dalam kurun waktu 4 atau 5 minggu berturut-turut, terdapat paling tidak 4 orang yang bertobat per harinya, atau sekitar 30 orang per minggunya. Semua orang mendadak menyadari kerusakan dirinya dan menyadari dosa mereka. Ada yang terjadi secara mendadak, ada juga yang terjadi secara bertahap.

Setelah mengalami kebangunan rohani, mereka mulai menyadari dosa mereka dan berhenti melakukannya. Selain itu juga mereka juga mulai secara aktif membaca, berdoa, bermeditasi, baik di gereja maupun di rumah mereka secara pribadi. Hal ini terjadi kepada setiap orang di berbagai rentan usia yang berbeda-beda, dari anak-anak yang berusia 4 tahun (The Conversion of Phebe Barlet), hingga orang tua yang berusia 70 tahun.

Hal ini bermula dari kota yang dilayani oleh Jonathan Edwards hingga ke kota-kota lainnya. Pada tahun-tahun tersebut, kebangunan rohani secara besar-besaran terjadi di New England. Tetapi pada bulan May tahun 1736, terlihat jelas sekali bahwa Roh Kudus secara bertahap mulai menarik diri dari mereka.

Selain Jonathan Edwards, ada 2 tokoh lainnya yang dipakai Tuhan secara luar biasa, yaitu John Wesley dan George Whitefield.

Akhir Pelayanan Jonathan Edwards

Setelah melayani dalam waktu yang lama di Northampton, pada tahun 1750, Edwards secara resmi dikeluarkan dari gereja melalui voting jemaat. Dari 253 jemaat yang mengikuti voting, 230 menginginkan agar dia keluar. Sungguh disayangkan sekali bahwa gereja tersebut harus kehilangan tokoh sebesar Jonathan Edwards. Tetapi alasan mengapa Edwards di voting keluar, bukan karena dia berbuat kesalahan, dosa, atau sesuatu yang negatif.

Sebaliknya, Edwards justru menginginkan agar jemaat lebih serius dan ketat di dalam kehidupan bergereja. Ia ingin menambahkan aturan agar perjamuan kudus hanya diperbolehkan kepada orang yang telah menerima anugerah dari Allah, bukan untuk semua orang. Tentu saja bukan hanya karena satu hal ini, tetapi ini menjadi satu pemicu penting.

Edwards kemudian berpindah ke Stockbridge, Massachusetts, di mana dia melayani jemaat yang lebih kecil dan sekaligus menjadi misionaris untuk suku India. Perpindahan ini membuat Edwards mengalami masalah keuangan, tetapi dia justru memiliki waktu lebih untuk belajar dan menulis. Di waktu-waktu ini justru ia menyelesaikan bukunya yang berjudul The Freedom of the Will pada tahun 1954.

Tahun 1958, Edwards terpilih menjadi presiden dari College of New Jersey (kini dikenal sebagai Princeton University). Tetapi setelah menjabat selama beberapa bulan saja, pada tanggal 22 Maret 1758, Edwards meninggal di usianya yang ke 54 tahun.

Disiplin Rohani

Setelah kita melihat secara singkat mengenai kehidupan Jonathan Edwards, mari kita melihat prinsip-prinsip penting khususnya dalam hal disiplin rohani dari dirinya.

Dalam sebuah acara konferensi yang diadakan Desiring God tahun 2003, Don Whitney memberikan satu sesi mengenai prinsip dan hal-hal mengenai disiplin rohani dari Jonathan Edwards. Disiplin rohani adalah sesuatu yang kita lakukan, bukan siapa diri kita. Disiplin tidak berkaitan dengan anugerah, karakter, ataupun buah roh.

Tidak semua aktifitas atau kegiatan yang kita lakukan dapat disebut sebagai disiplin rohani, melainkan hanya yang berkaitan dengan Alkitab. Tetapi segala bentuk praktis dari disiplin rohani dapat menjadi sesuatu yang mematikan tanpa adanya iman dan motivasi yang benar.

Siapa yang lebih banyak berdoa, membaca kitab suci, berpuasa, dan kegiatan rohani lainnya dibandingkan dengan orang-orang Farisi? Tujuan dari melakukan disiplin rohani adalah menjadi semakin serupa dengan Kristus. Sehingga kita mengerti bahwa dengan melakukan kegiatan disiplin rohani tidak

menjamin seseorang menjadi saleh (Godly), melainkan sebaliknya, seseorang yang saleh dengan sendirinya akan melakukan disiplin rohani.

Terdapat banyak sekali penerapan disiplin rohani yang kita bisa pelajari dari Jonathan Edwards. Tetapi dalam artikel ini hanya akan 2 hal saja, yaitu meditasi dan berdoa.

Melakukan Meditasi Alkitab

Menurut Edwards, melakukan meditasi adalah cara terbaik untuk menikmati keindahan dan kemanisan dari Alkitab. Hal ini melibatkan proses berpikir dalam waktu yang lama, dan berfokus kepada sesuatu yang ditemukan dalam teks, baik saat membaca, mendengar, mempelajari, dan menghapal Akitab.

Edwards sering melakukan meditasi Alkitab saat sedang mengendarai kuda dalam perjalanannya. Dampak yang ia rasakan melalui meditasi begitu terasa dalam jiwanya. Terkadang, hanya mendengar satu kata saja dalam Alkitab, dapat membuat hatinya begitu terbakar, sama halnya ketika mendengar nama Kristus, maupun sifat-sifat Allah.

Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa saat kita membaca Alkitab di rumah masing-masing, efek dan dampaknya sangat terasa sedikit. Tetapi saat kita mendengar ayat yang sama dikhotbahkan oleh pendeta kita maupun orang lain, kita bisa begitu tergerak dan mendapatkan banyak hal? Alasannya adalah karena saat di rumah, kita hanya membacanya secara cepat, sekilas saja, seakan-akan ada suatu dorongan yang mendesak agar kita menutupnya secepat mungkin.

Tetapi jika kita mendengarnya dari orang lain, kita mendengarnya dalam waktu yang lama, melihat secara rinci hal menonjol yang ada di dalamnya, membandingkannya dengan bagian-bagian yang lain, membuat atau membayangkan ilustrasinya, dan mencoba penerapkannya dalam hidup. Kita memberikan suatu usaha keras saat kita memikirkannya.

Membaca Alkitab sangat penting, khususnya secara eksposisi. Tetapi meditasi akan firman, diibaratkan seperti menyerap dan membawa firman tersebut masuk ke dalam hati kita, dan memperbaharui diri kita.

Berdoa

Edwards adalah orang yang sangat sering berdoa sehingga kita kesulitan untuk mencari kegiatan rutin dirinya yang tidak berkaitan dengan doa. Dia berdoa sendirian saat bangun di pagi hari, doa keluarga di pagi hari sebelum sarapan dan di malam hari, berdoa ketika belajar, maupun ketika berjalan-jalan di sore hari. Berdoa adalah bentuk disiplin sekaligus ungkapan sukacita menurut Edwards.

Kita tidak bisa tau secara pasti kapan saja Edwards berdoa, sebab dia memang secara sengaja merahasiakan kegiatan rutinitasnya, mengikuti perintah Yesus untuk berdoa secara tertutup. Menurut Edwards, doa dapat dilakukan dalam bentuk formal maupun informal, direncanakan secara teratur maupun mendadak. Dia melihat doa sebagai sesuatu yang natural seperti suatu nafas dalam dalam dirinya.

Berdoa menurut Edwards adalah hal yang sangat essensial. Mendengar bahwa adanya seorang Kristen yang tidak berdoa adalah hal yang sangat tidak masuk akal. Edwards tidak bisa membayangkan jika ada orang yang mengenal Tuhan yang ia kenal, dan tidak terdorong akan kepuasan, cinta, dan kemanisan dalam kegiatan berdoa. Jika seseorang memiliki keinginan akan Tuhan, orang tersebut secara otomatis pasti akan berdoa.

Ini baru sedikit sekali yang kita bisa pelajari dari raksasa rohani yang pernah diberikan oleh Tuhan kepada Amerika. Kiranya kita semakin memiliki dorongan untuk mengenal Tuhan melalui pembelajaran tokoh-tokoh besar yang Tuhan bangkitkan di dalam sejarah kekristenan.

Semoga Tuhan memberkati. Soli Deo Gloria.

Kesucian Allah

“Ah! Tidak apa-apa berbuat dosa ini sekarang. Toh, Allah itu Maha kasih dan sabar. Pasti Dia akan mengampuni dan melupakan dosa saya. Bukankah Tuhan Yesus sudah mati bagi saya?” Pemikiran seperti ini memenuhi pikiran ketika saya berada dalam kondisi jatuh dalam dosa. Sering saya mengamankan diri dengan konsep ini apabila jatuh dalam dosa yang sama berulang kali dengan sengaja. Ini membuat saya merasa tidak apa-apa berdosa lagi dan lagi.

Suatu hari, ketika saya mengikuti satu kebaktian Minggu, apa yang saya pikirkan dan amini selama ini terpatahkan. Firman Tuhan hari itu bertemakan mematikan dosa. Memang benar, Allah yang begitu kasih telah mengaruniakan Tuhan Yesus, Anak-Nya, bagi dunia untuk mati atas dosa-dosa manusia. Akan tetapi, ada satu tanggung jawab umat tebusan untuk mematikan dosa. Tindakan ini berhubungan erat dengan salah satu atribut Allah yang penting. Atribut ini mungkin sudah jarang bahkan mungkin tidak pernah diperdengarkan di gereja ataupun di pertemuan ibadah lainnya. Hal itu adalah kesucian Allah.

James Innell Packer, seorang teolog kelahiran Inggris, dalam bukunya “Knowing God” menguraikan bahwa kasih Allah tidak lepas dari kesucian-Nya.  Kasih Allah adalah kasih yang suci. Kasih Allah tidak terlepas dari kasih yang mengutamakan kebenaran, standar moral, kebencian atas dosa, serta kasih yang meminta anak-anak-Nya untuk hidup sempurna seperti pribadi-Nya sendiri (Matius 5:48; 1 Yohanes 1:5). Kita tidak boleh mengabaikan kesucian Allah ini dalam memahami pribadi-Nya.

Kesucian Allah ini dimanifestasikan dengan pengorbanan Yesus Kristus, Anak-Nya, atas dosa manusia. Allah yang suci membenci dosa namun Ia juga mengasihi manusia. Ia mau agar kita tidak binasa karena dosa-dosa kita. Akan tetapi, manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Allah pun berinisiatif untuk memberikan solusi atas kondisi ini dengan menganugerahkan Anak-Nya sendiri, menggantikan kita yang harusnya dihukum atas dosa-dosa yang kita lakukan.

Definisi tersebut menghantar kita untuk mengerti bahwa sebagai umat yang telah ditebus dan sebagai peta teladan Allah, ada satu tanggung jawab yang kita emban yakni hidup dalam kesucian atau kekudusan sama seperti pribadi Allah yang suci. Hidup dalam kesucian adalah bukti pertobatan atas dosa. Hidup yang suci adalah hidup yang meninggalkan dosa, sepenuhnya takluk dan taat akan Firman Tuhan, hidup dalam terang Allah. Hidup yang suci sama sekali tidak mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan melainkan menelanjangi dan mematikan dosa (Efesus 5:8-16).

Bagaimana bila tanggung jawab ini kita abaikan? Seperti dalam Ibrani 12:6-11, seseorang yang telah ditebus akan dihajar oleh Allah ketika ia berdosa atau tidak hidup dalam kesucian. Hal ini merupakan bukti bahwa ia dikasihi oleh Allah sebagai anaknya. Seorang bapa manusiawi saja akan menghajar anaknya ketika ditemui berbuat salah. Tujuannya agar si anak tidak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang. Hajaran ini tentu saja sakit namun berfaedah demi kebaikan si anak. Terlebih pula Allah Bapa, dalam kesucian-Nya, memberikan ganjaran atas dosa yang kita lakukan. Ganjaran ini merupakan buah kebenaran yang akhirnya mendatangkan damai. Kita tidak akan menjadi anak gampangan.

Banyak bukti dalam Alkitab tentang bagaimana Allah menunjukkan kesucian-Nya kepada orang-orang yang dikasihi-Nya saat mereka tidak hidup suci. Seperti raja Daud yang ditegur dan dihukum Allah dengan keras setelah tidur dengan isteri Uria dan membunuh panglima itu (2 Samuel 12:1-12). Begitu pula, seperti Zakheus sang pemungut cukai yang melihat kesucian Allah dalam Yesus Kristus dan akhirnya bertobat (Lukas 19:1-9).

Dari kedua contoh kasus di atas, terlihat bahwa Allah yang suci benar-benar membenci dosa dan mengganjar orang yang dianggapnya sebagai anak. Selain itu juga, terdapat kesamaan respon yang tepat dan benar yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Alkitab tersebut setelah menyaksikan kesucian Allah. Mereka sungguh-sungguh bertobat dan meninggalkan dosa. Mereka hidup dalam kesucian Allah.

Seperti kutipan dari buku “Holiness of God” oleh R. C. Sproul, seorang teolog dari Amerika, yang mengatakan bahwa “Ketika kita memahami karakter Allah, ketika kita mengenali kesucian-Nya, maka kita mulai mengenali dosa dan keputusasaan kita. Manusia berdosa yang tidak berdaya hanya dapat bertahan hidup (suci) hanya karena anugerah.” Kesucian Allah dapat membuat kita mengenali dosa-dosa kita dan akhirnya mengarahkan kita untuk bertobat dan meninggalkan dosa. Kita dapat hidup suci sepenuhnya bergantung pada kasih karunia Allah saja.

“Ketika kita memahami karakter Allah, ketika kita mengenali kesucian-Nya, maka kita mulai mengenali dosa dan keputusasaan kita. Ketidakberdayaan manusia berdosa hanya dapat bertahan hidup hanya karena anugerah.” – R. C. Sproul

Bagaimana dengan respon kita selama ini? Apakah kita masih sering mengabaikan atribut kesucian Allah ini dari hidup kita? Apakah kita masih sering hidup aman dalam dosa-dosa tertentu karena mengabaikan kesucian-Nya? Kiranya kita dapat sungguh bertobat, mematikan dosa, dan meninggalkannya karena kesucian Allah sudah nyata bagi kita.

“Kesucian Allah dapat membuat kita mengenali dosa-dosa kita dan akhirnya mengarahkan kita untuk bertobat dan meninggalkan dosa.”

Oleh: AL

Quote of the day

Anda tidak akan pernah tahu kepenuhan Kristus sampai Anda mengetahui kekosongan dari segala hal selain Kristus.

Charles Spurgeon