“Ah! Tidak apa-apa berbuat dosa ini sekarang. Toh, Allah itu Maha kasih dan sabar. Pasti Dia akan mengampuni dan melupakan dosa saya. Bukankah Tuhan Yesus sudah mati bagi saya?” Pemikiran seperti ini memenuhi pikiran ketika saya berada dalam kondisi jatuh dalam dosa. Sering saya mengamankan diri dengan konsep ini apabila jatuh dalam dosa yang sama berulang kali dengan sengaja. Ini membuat saya merasa tidak apa-apa berdosa lagi dan lagi.
Suatu hari, ketika saya mengikuti satu kebaktian Minggu, apa yang saya pikirkan dan amini selama ini terpatahkan. Firman Tuhan hari itu bertemakan mematikan dosa. Memang benar, Allah yang begitu kasih telah mengaruniakan Tuhan Yesus, Anak-Nya, bagi dunia untuk mati atas dosa-dosa manusia. Akan tetapi, ada satu tanggung jawab umat tebusan untuk mematikan dosa. Tindakan ini berhubungan erat dengan salah satu atribut Allah yang penting. Atribut ini mungkin sudah jarang bahkan mungkin tidak pernah diperdengarkan di gereja ataupun di pertemuan ibadah lainnya. Hal itu adalah kesucian Allah.
James Innell Packer, seorang teolog kelahiran Inggris, dalam bukunya “Knowing God” menguraikan bahwa kasih Allah tidak lepas dari kesucian-Nya. Kasih Allah adalah kasih yang suci. Kasih Allah tidak terlepas dari kasih yang mengutamakan kebenaran, standar moral, kebencian atas dosa, serta kasih yang meminta anak-anak-Nya untuk hidup sempurna seperti pribadi-Nya sendiri (Matius 5:48; 1 Yohanes 1:5). Kita tidak boleh mengabaikan kesucian Allah ini dalam memahami pribadi-Nya.
Kesucian Allah ini dimanifestasikan dengan pengorbanan Yesus Kristus, Anak-Nya, atas dosa manusia. Allah yang suci membenci dosa namun Ia juga mengasihi manusia. Ia mau agar kita tidak binasa karena dosa-dosa kita. Akan tetapi, manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Allah pun berinisiatif untuk memberikan solusi atas kondisi ini dengan menganugerahkan Anak-Nya sendiri, menggantikan kita yang harusnya dihukum atas dosa-dosa yang kita lakukan.
Definisi tersebut menghantar kita untuk mengerti bahwa sebagai umat yang telah ditebus dan sebagai peta teladan Allah, ada satu tanggung jawab yang kita emban yakni hidup dalam kesucian atau kekudusan sama seperti pribadi Allah yang suci. Hidup dalam kesucian adalah bukti pertobatan atas dosa. Hidup yang suci adalah hidup yang meninggalkan dosa, sepenuhnya takluk dan taat akan Firman Tuhan, hidup dalam terang Allah. Hidup yang suci sama sekali tidak mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan melainkan menelanjangi dan mematikan dosa (Efesus 5:8-16).
Bagaimana bila tanggung jawab ini kita abaikan? Seperti dalam Ibrani 12:6-11, seseorang yang telah ditebus akan dihajar oleh Allah ketika ia berdosa atau tidak hidup dalam kesucian. Hal ini merupakan bukti bahwa ia dikasihi oleh Allah sebagai anaknya. Seorang bapa manusiawi saja akan menghajar anaknya ketika ditemui berbuat salah. Tujuannya agar si anak tidak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang. Hajaran ini tentu saja sakit namun berfaedah demi kebaikan si anak. Terlebih pula Allah Bapa, dalam kesucian-Nya, memberikan ganjaran atas dosa yang kita lakukan. Ganjaran ini merupakan buah kebenaran yang akhirnya mendatangkan damai. Kita tidak akan menjadi anak gampangan.
Banyak bukti dalam Alkitab tentang bagaimana Allah menunjukkan kesucian-Nya kepada orang-orang yang dikasihi-Nya saat mereka tidak hidup suci. Seperti raja Daud yang ditegur dan dihukum Allah dengan keras setelah tidur dengan isteri Uria dan membunuh panglima itu (2 Samuel 12:1-12). Begitu pula, seperti Zakheus sang pemungut cukai yang melihat kesucian Allah dalam Yesus Kristus dan akhirnya bertobat (Lukas 19:1-9).
Dari kedua contoh kasus di atas, terlihat bahwa Allah yang suci benar-benar membenci dosa dan mengganjar orang yang dianggapnya sebagai anak. Selain itu juga, terdapat kesamaan respon yang tepat dan benar yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Alkitab tersebut setelah menyaksikan kesucian Allah. Mereka sungguh-sungguh bertobat dan meninggalkan dosa. Mereka hidup dalam kesucian Allah.
Seperti kutipan dari buku “Holiness of God” oleh R. C. Sproul, seorang teolog dari Amerika, yang mengatakan bahwa “Ketika kita memahami karakter Allah, ketika kita mengenali kesucian-Nya, maka kita mulai mengenali dosa dan keputusasaan kita. Manusia berdosa yang tidak berdaya hanya dapat bertahan hidup (suci) hanya karena anugerah.” Kesucian Allah dapat membuat kita mengenali dosa-dosa kita dan akhirnya mengarahkan kita untuk bertobat dan meninggalkan dosa. Kita dapat hidup suci sepenuhnya bergantung pada kasih karunia Allah saja.
“Ketika kita memahami karakter Allah, ketika kita mengenali kesucian-Nya, maka kita mulai mengenali dosa dan keputusasaan kita. Ketidakberdayaan manusia berdosa hanya dapat bertahan hidup hanya karena anugerah.” – R. C. Sproul
Bagaimana dengan respon kita selama ini? Apakah kita masih sering mengabaikan atribut kesucian Allah ini dari hidup kita? Apakah kita masih sering hidup aman dalam dosa-dosa tertentu karena mengabaikan kesucian-Nya? Kiranya kita dapat sungguh bertobat, mematikan dosa, dan meninggalkannya karena kesucian Allah sudah nyata bagi kita.
“Kesucian Allah dapat membuat kita mengenali dosa-dosa kita dan akhirnya mengarahkan kita untuk bertobat dan meninggalkan dosa.”
Oleh: AL