Hidup sebagai wanita Jerman di abad 15an bukanlah hal yang mudah. Mereka tidak memiliki banyak pilihan selain menjadi biarawati. Katharina Von Bora, walaupun masih keturunan bangsawan, dia hampir menghabiskan separuh hidupnya di dalam biara. Setelah ibunya meninggal pada waktu dia berumur 5 tahun, ayahnya memasukannya ke asrama Benedictine. 4 tahun kemudian, ayahnya mendaftarkan dia masuk ke sekolah biara dan pada usianya yang ke 16, dia mengambil sumpah menjadi biarawati.
Pada tahun 1517, Martin Luther memakukan 95 tesisnya di pintu gereja di Wittenberg, hal ini dilakukan untuk memprotes Gereja Roma Katolik yang melakukan praktek penjualan surat pengampunan dosa.
Ajaran Reformasi Luther menyebar dengan cepat di Eropa dan membuka mata Katharina dan juga 11 biarawati lainnya. Hati nurani mereka tidak tahan lagi dengan kehidupan di biara. Mereka ingin melarikan diri. Tetapi bagaimana caranya?
Diam-diam Katharina dan 11 biarawati lainnya menghubungi Martin Luther meminta bantuannya untuk mengeluarkan mereka dari biara. Mereka berhasil bersembunyi di kereta Koppe yang tertutup antara barel ikan dan melarikan diri ke Wittenberg. Ini merupakan langkah yang sangat berbahaya bagi para biarawati yang melarikan diri dan menyangkalagama mereka karena hukumannya adalah hukuman mati.
Setelah mereka keluar maka dengan cepat mereka ditempatkan di keluarga atau menikah karena tidak ada tempat untuk perempuan lajang dalam masyarakat pada waktu itu.
Pada tahun 1525 Katharina menikah dengan Marthin Luther. Boleh dikatakan pernikahan mereka tidak dimulai atas dasar cinta, bahkan Katharina melihat pernikahannya sebagai suatu tugas dari Allah sedangkan bagi Luther adalah untuk menyenangkan hati ayahnya.
Meskipun demikian, pernikahan mereka pada akhirnya menjadi sebuah pernikahan yang bahagia, dan menjadi kisah cinta yang sangat menguatkan.
Katharina bukan wanitalah biasa, dia adalah seorang istri yang cerdas, terampil, cekatan, dan selalu giat bekerja, dia bangun jam 4 pagi untuk mengurus kebutuhan sehari-hari suami dan mendidik 6 anak mereka, ditambah lagi 11 anak yatim piatu yang mereka adopsi. Sampai-sampai Luther bercanda memberikan dia julukan Bintang Pagi Wittenberg.
Peran dan pelayanan Katharina dalam rumah tangga, memberikan ruang gerak yang luas bagi suaminya, untuk menulis, mengajar, bepergian, dan berkotbah paling tidak sebanyak 150 kali setiap tahunnya. Ini adalah kontribusi yang tidak terlihat dari seorang Katharina bagi Reformasi.
Pada jaman itu panggilan hidup wanita Kristen yang dianggap ideal adalah sebagai seorang biarawati. Namun, Katharina memberikan contoh teladan baru tentang apa artinya menjadi seorang wanita yang mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan, melalui pelayanan di dalam keluarga dan gereja. Ketika mengerjakan tugasnya sehari-hari, dia tidak memisahkan mana tugas yang rohani mana yang tidak karena dia percaya bahwa dia sedang melayani Allah di dalam segalatugasnya
Keluarga Luther tidak luput dari kesedihan yang mendalam, Anak ke-2 mereka, meninggal pada usia 10 bulan. Anak ke-3 mereka, meninggal pada usia 13 tahun. Puncak kesedihan Katharina adalah pada saat Martin Luther, suami terkasihnya meninggal dunia pada tahun 1546. Katharina sangat sedih dan hancur hati. Setelah kematian suaminya, dia mengalami kesulitan dalam keuangan sehingga dia terpaksa harus meninggalkan rumahnya.
Pada saat terjadi pandemi Black death, Katharina pergi ke Torgau untuk menyelamatkan diri tetapi dalam perjalanan itu dia mengalami kecelakaan parah dan meninggal 3 bulan kemudian pada usia 53 tahun.
Di ranjang kematiannya, Katharina memberikan pernyataan seperti ini, “Aku akan tetap menempel erat pada Kristus, seperti mantel yang bergantung pada kaitannya.”
Kehidupan Katharina adalah suatu kesaksian hidup yang selalu bergantung kepada Tuhan,dan menunjukkan keinginan hatinya untuk menjunjung tinggi kebenaran. Warisan terbesarKatharina bagi Reformasi adalah kesetiaannya di dalam pernikahannya dan dalam imannyakepada Tuhan, juga teladan kesalehannya bagi gereja.