Pada zaman Kerajaan Mesir Kuno, kekuatan perang atau kegagahan pasukan militer dari satu bangsa diukur dari jumlah kuda yang dimiliki, dan Mesir adalah yang paling terkenal dengan kudanya. Ketika Firaun, raja Mesir itu, mendengar bahwa umat Israel yang dipimpin oleh abdi Allah yang bernama Musa telah lari meninggalkan negerinya, maka ia pun mengejar mereka dengan segala kuda, keretanya, dan orang-orang berkuda (Keluaran 14). Tercatat dalam 1 Raja-Raja 10:28 bahwa kuda untuk raja Salomo di tengah-tengah puncak pemerintahannya juga didatangkan dari Mesir karena kuda yang terpilih dan terbaik pada masa itu berasal dari Mesir.
Alkitab dengan jelas menuliskan bahwa Allah melarang bangsa Israel kembali ke Mesir untuk mendapatkan banyak kuda (Ulangan 17:16). Pernahkah kita berpikir mengapa Allah melarang bangsa Israel kembali ke Mesir? Mengapa Allah menolak bangsa Israel untuk mendapatkan banyak kuda?
Bagi seorang raja, memperkuat kota pertahanannya adalah sesuatu yang baik, tetapi tanpa disadari hal ini bisa menjadi celah masuknya dosa. Demi memperkuat kerajaannya, maka diperlukan kuda-kuda perang. Demi memperoleh kuda-kuda perang yang terbaik, maka harus dijalani perdagangan dengan Mesir. Demi menjalani perdagangan, maka harus ada hubungan yang dibangun kembali dengan Mesir. Kemudian raja menghitung seluruh jumlah kuda-kuda yang telah diperolehnya, keserakahan pun muncul di dalam hati raja. Keserakahan yang menyebabkan hati raja tidak puas dengan apa yang ada. Keserakahan yang membebani raja untuk mengejar lebih banyak kuda. Akibatnya, perdagangan dengan Mesir semakin meningkat. Utusan-utusan dari raja ke Mesir semakin bertambah. Hubungan yang dibangun kembali dengan Mesir semakin kuat.
Lebih daripada itu, persekongkolan raja dan utusan-utusannya dengan Mesir berarti segala penyembahan berhala, kebiasaan buruk, dan bermacam-macam kejahatan lainnya yang membuat Mesir itu terkenal, terpapar secara terbuka di depan mereka. Perlahan-lahan mereka dipengaruhi oleh Mesir. Perlahan-lahan mereka ditarik oleh cara hidup Mesir. Mata raja yang tertuju pada Mesir perlahan-lahan menghampiri kemuliaan dunia dan mengasingkan dari kemuliaan Allah. Mata raja yang awalnya hanya terpaku pada kuda-kuda Mesir perlahan-lahan mendekati kemuliaan diri dan menjauhi kemuliaan Allah, sampai akhirnya raja tidak lagi mencari kemuliaan Allah.
Kedahsyatan dosa yang paling menakutkan adalah menggantikan kemuliaan Allah dengan kemuliaan ciptaan-Nya, menggeser kemuliaan Allah dengan kemuliaan dunia, menukar kemuliaan Allah dengan kemuliaan diri.
Sadarkah kita bahwa sang raja tersebut adalah diri kita? Raja yang melakukan kerja sama dengan Mesir untuk memperbanyak kuda-kudanya adalah gambaran kita yang sedang berkompromi dengan dunia yang sudah rusak ini untuk memuaskan keinginan hati kita. Raja yang telah membebani dirinya dan utusan-utusannya dengan urusan kuda adalah kita yang sedang mengenakan beban yang tidak perlu dan sia-sia pada diri kita sendiri demi mencapai kemauan kita.
Yesaya berseru, “Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN. Sebab orang Mesir adalah manusia, bukan allah, dan kuda-kuda mereka adalah makhluk yang lemah, bukan roh yang berkuasa. Apabila TUHAN mengacungkan tangan-Nya, tergelincirlah yang membantu dan jatuhlah yang dibantu, dan mereka sekaliannya habis binasa bersama-sama.” (Yesaya 31:1, 3).
Perhatikan baik-baik cara kerja setan yang begitu lihai. Setan akan merayu kita setahap demi setahap dan tidak akan berhenti sampai kita meninggalkan Allah. Kedahsyatan dosa yang paling menakutkan adalah menggantikan kemuliaan Allah dengan kemuliaan ciptaan-Nya, menggeser kemuliaan Allah dengan kemuliaan dunia, menukar kemuliaan Allah dengan kemuliaan diri. Ini merupakan tragedi terbesar bagi umat manusia.
Allah yang menciptakan kita adalah Allah yang mengenal kita jauh melebihi kita mengenal diri sendiri. Allah mengetahui kondisi hati kita yang cenderung diperdaya oleh akal setan dan Allah menghendaki supaya kita terhindar dari jebakan setan. Oleh sebab itu, Allah yang telah membebaskan umat Israel dari Mesir berfirman kepada umat-Nya, “... Janganlah sekali-kali kamu kembali melalui jalan ini lagi.” (Ulangan 17:16). Allah juga, yang telah memerdekakan kita dalam Kristus dari dosa dan kematian, mengingatkan kita janganlah sekali-kali kita kembali melalui jalan yang menuju kebinasaan ini.
Alkisah, seorang istri dari duta besar Inggris ingin bersaing di salah satu kontes kecantikan teragung di kota Berlin, Jerman. Di tengah perjalanannya dari Inggris ke sana sayangnya dia membuka kalung yang dia kenakan dan kehilangan satu mutiara yang mahal di suatu tempat. Mungkin mutiara itu bisa ditemukan kembali jika pencarian yang serius dilakukan pada saat itu, tetapi prosesi akbar akan segera mulai, dan jika mereka tidak tiba di sana pada waktunya, maka istri duta besar akan kehilangan tempatnya di kontes kecantikan tersebut. Karena mereka menyadari bahwa kontes itu lebih penting daripada mutiara yang hilang, mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
Kita akan berada dalam bahaya yang sama jikalau kecelakaan seperti ini harus terjadi dalam serbuan yang tidak berkesudahan dari tahun-tahun hidup kita. Mutiara apa yang hilang dalam hidup kita? Apakah itu uang? Apakah itu kekayaan? Apakah itu kemakmuran materi? Apakah itu pekerjaan? Apakah itu hak pribadi? Apakah itu ketidakadilan? Apakah itu pujaan manusia? Apakah itu kehormatan dunia? Jangan kembali ke Mesir untuk mencarinya. Jangan kembali ke bayang-bayang kemuliaan dunia ciptaan yang berusaha menawan hati kita dengan segala kemegahannya dan keindahannya, yang berusaha merebut kesadaran dan hasrat kita akan kemuliaan Allah.
Oleh: SP
Image source: Unsplash