Cornelia Luitingh ten Boom (yang biasa dipanggil Cor) adalah seorang ibu yang berhati lembut, hangat, dan penuh kasih sayang, bukan hanya kepada orang-orang terdekatnya saja, tetapi juga kepada setiap orang tanpa terkecuali. Ia bersama suaminya, Casper ten Boom, adalah anggota Gereja Reformasi Belanda yang saleh dan murah hati. Rumah mereka selalu terbuka bagi anak-anak jalanan, orang-orang miskin dan siapa saja yang membutuhkan tempat berlindung, di mana biskuit yang baru dipanggang dan makanan-makanan hangat selalu tersedia bagi mereka.
Cor dan Casper dikaruniai lima orang anak - Betsie, Willem, Hendrick (yang kemudian meninggal pada usia enam bulan), juga Nollie dan Corrie. Sejak masih kecil, Corrie (yang diberi nama menurut nama ibunya, Cornelia) sering diajak oleh ibunya pergi melayani, misalnya menghibur seorang ibu yang bayinya baru saja meninggal, atau membawa sekeranjang makanan kepada seseorang yang tidak bisa keluar rumah karena sakit atau cacat. Cor menyadari bahwa kebaikan yang ia tunjukkan bukanlah sifat dasar yang melekat, tetapi suatu pilihan. Oleh sebab itu, Cor ingin sejak kecil anak-anaknya memiliki kasih dan belas kasihan terhadap orang lain.
Ibu ini tidak pernah kehabisan akal bagaimana ia dapat membagikan kepada orang lain dari persediaannya yang seringkali terbatas. Selalu ada saja tempat untuk satu orang lagi di meja makan, meskipun itu berarti Cor harus mengencerkan sup sayurannya atau memperkecil potongan setiap roti yang disajikannya. Tidak ada satu orang pun yang ditolaknya pulang dalam keadaan lapar.
Cor seringkali terbaring di tempat tidur oleh karena penyakit kronis, tetapi ia menerima keadaannya tersebut dengan tidak mengeluh. Walaupun sakit, ia tetap mengabdikan diri untuk membantu orang-orang miskin di kotanya, Harleem, Belanda. Bahkan setelah ia menderita stroke dan tidak dapat lagi berbicara atau bergerak, sikap hati dan keyakinan imannya tidaklah goncang. Lewat teladan ibunya, Corrie belajar bahwa seseorang tidak harus dalam keadaan baik, sehat, atau beruntung baru dapat menjalani perintah Tuhan untuk melayani sesamanya yang menderita. Ibu Corrie akhirnya meninggal pada tahun 1921.
Setelah kematian ibu mereka, keluarga ten Boom tetap membuka rumah mereka untuk menampung anak-anak asuh: anak-anak pengungsi, anak-anak misionaris, dan yatim piatu. Mereka mengajarkan Alkitab kepada anak-anak dan gadis-gadis di komunitas mereka. Pada saat Perang Dunia II ketika Nazi menyerbu dan menguasai Belanda, mereka membantu menyembunyikan tetangga Yahudi mereka yang sedang dikejar oleh polisi Nazi. Meskipun nyawa mereka sendiri terancam, mereka dengan berani membangun tempat persembunyian kecil di rumah mereka dan menyembunyikan banyak orang Yahudi dari Nazi.
Cor mengajarkan kepada putrinya, Corrie untuk mengasihi semua orang, bahkan kepada musuh-musuhnya, sama seperti Kristus telah terlebih dahulu mengasihinya.
Jaringan mereka terus berkembang hingga suatu hari akhirnya Corrie, Betsie, ayah mereka, dan sejumlah orang lainnya pun ditangkap dan dipenjarakan di dalam kamp konsentrasi. Namun, polisi Nazi tidak pernah menemukan tempat persembunyian kecil di dinding kamar Corrie, atau keenam orang yang pada saat itu sedang bersembunyi di dalamnya.
Ayah Corrie yang berusia delapan puluh empat tahun meninggal sepuluh hari setelah ditangkap. Di dalam kamp konsentrasi, Corrie dan Betsie diperlakukan secara brutal oleh penjaga Nazi mereka. Tetapi meskipun mereka diderita dan dianiaya, kedua wanita muda yang luar biasa ini tetap memiliki hati untuk menguatkan teman-teman wanita sepenjara mereka. Setiap malam mereka mulai membacakan Alkitab kecil yang sempat disematkan Corrie di lipatan bajunya, dan ajaibnya ia adalah satu-satunya orang yang tidak diperiksa saat dibawa masuk ke kamp konsentrasi. Banyak wanita di dalam kamp itu yang menerima Kristus. Betsie kemudian meninggal dalam kamp konsentrasi dan Corrie dibebaskan pada bulan Desember 1944 karena kesalahan administratif.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Corrie sebenarnya memiliki beribu macam alasan untuk hidup dalam kepahitan, tetapi sebaliknya, ia berkeliling dunia menceritakan kisah hidupnya, menyaksikan tentang cinta, belas kasihan, dan pengampunan Kristus. Ia jarang sekali tinggal di hotel. Sama seperti keluarga ten Boom yang telah membuka rumah mereka bagi banyak orang, keluarga Kristen pun menerima Corrie dalam rumah mereka.
Pada suatu hari, setelah beberapa tahun kemudian, seorang pria mendatangi Corrie seusai ibadah. Pria ini adalah salah satu penjaga Jerman paling kejam yang pernah menyakitinya. Seluruh peristiwa menyakitkan itu terbayang kembali di dalam benaknya. Bagaimana pria ini memaksanya dan Betsie untuk berparade telanjang di muka umum setiap harinya. Bagaimana ia menertawakan keadaan Betsie yang sedang sakit dan membiarkannya terbatuk-batuk sampai mati. Sekarang ia berdiri di hadapannya dengan tangan yang terulur, meminta pengampunan, “Maukah engkau memaafkanku?”
“Aku berdiri terpaku dengan keadaan hati yang dingin membeku,” kata Corrie. Kemudian ia berdoa di dalam hatinya, “Tuhan Yesus, tolonglah aku!”, dan Allah Roh Kudus memenuhi hatinya dengan pengampunan. Dengan tangan yang kaku dan perlahan, Corrie menyambut tangan yang terulur padanya itu dan mengatakan, “Aku memaafkanmu, saudaraku, dengan segenap hatiku.” Mereka berpegangan tangan dalam waktu yang cukup lama sambil menangis. Corrie merasa bahwa ia belum pernah mengenal kasih Tuhan yang begitu nyata seperti yang ia alami saat itu. Sungguh ajaib pekerjaan Tuhan.
Cor Luitingh ten Boom telah memperlengkapi putrinya, Corrie dengan senjata rohani untuk bertahan hidup di dalam kamp konsentrasi, dan untuk mengenali rencana Tuhan dalam hidupnya di tengah-tengah penderitaannya tersebut. Ia juga telah mempersiapkan Corrie untuk hidup berkemenangan di dalam Kristus, di mana kisah hidupnya telah menginspirasi jutaan orang.
Seorang ibu yang berpengaruh mengajar anak-anaknya dan mendorong mereka untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang lain.
Baca juga kisah Corrie ten Boom :
https://pelita.net/wanita/corrie-ten-boom-iman-yang-luar-biasa-dalam-menghadapi-penderitaan/