Allah yang Cemburu

Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Allah itu cemburu? Bukankah cemburu itu sesuatu yang tidak baik? Ketika kita berbicara mengenai Allah, tentu kita membayangkan hanya karakter baik saja yang terdapat dalam diri Allah, dan cemburu bukanlah sesuatu yang kita pasangkan pada karakter Allah. Tetapi tidak demikian kata Alkitab. Ketika Allah membawa bangsa Israel keluar dari Mesir melalui Sinai dan memberikan hukum dan perjanjian-Nya, kecemburuan-Nya adalah salah satu karakter yang diajarkan Allah kepada mereka. “… sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu … (Keluaran 20:5b). Dan beberapa saat kemudian Allah memberi tahu Musa, “… karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburu, adalah Allah yang cemburu. (Keluaran 34:14b). Pernyataan diri Allah tentang nama-Nya di dalam Alkitab selalu menyatakan mengenai natur dan karakter-Nya.

Lalu bagaimana kita tahu bahwa kecemburuan Allah adalah sesuatu yang baik dalam diri Allah kalau bagi manusia kecemburuan adalah sesuatu yang dipandang buruk? Jika Allah itu sempurna dan layak kita sembah, bagaimana kita dapat menyembah Allah dalam kecemburuan-Nya?

Untuk menjawabnya, mari kita melihat dua hal ini:

  1. Deskripsi tentang Allah dalam Alkitab dinyatakan dalam bahasa yang diambil dalam keseharian hidup manusia.

Allah merendahkan diri-Nya dengan memakai bahasa yang dapat dipahami manusia karena itulah satu-satunya medium akurat yang dapat mengkomunikasikan hal-hal mengenai Dia kepada kita. Namun, yang harus kita ingat adalah ketika bahasa manusia sehari-hari dipakai untuk menggambarkan Allah, maka tidak ada batasan-batasan yang terjadi pada natur manusia terdapat pada penggambaran Allah. Dan elemen dari kualitas manusia yang berasal dari efek dosa juga tidak ada di dalam penggambaran Allah, hingga seluruh karakter Allah adalah karakter yang suci. Kecemburuan Allah bukan seperti kecemburuan manusia tetapi cemburu yang suci.

Kecemburuan Allah mendorong Allah untuk menghakimi orang-orang yang tidak setia dan jatuh kepada dosa dan ilah-ilah. Namun, pada saat yang sama Allah juga akan menebus dan membangkitkan umat pilihan-Nya dari penghakiman. Dan pada akhirnya kecemburuan Allah adalah kecemburuan bagi nama-Nya yang kudus agar Allah dipermuliakan di antara bangsa-bangsa.
  1. Ada dua jenis kecemburuan di tengah-tengah manusia.

Yang pertama adalah cemburu yang jahat. Di dalam Bahasa Inggrisnya adalah envy. Suatu ekspresi dari keinginan untuk memiliki sesuatu yang tidak dia punya dan ada perasaan benci atau ketidaksenangan karena orang lain memiliki yang dia tidak punya. Perasaan ini muncul dari ketamakan yang berasal dari harga diri manusia dan dapat menimbulkan suatu obsesi yang berbahaya.

Tetapi ada jenis kecemburuan kedua, di dalam Bahasa Inggris adalah jealousy, yaitu kecemburuan untuk melindungi suatu hubungan kasih yang ada di dalam suatu kovenan/perjanjian (misalnya dalam relasi suami-istri) dan mengambil tindakan ketika relasi di dalam kovenan itu dirusak. Tindakan ini bukan muncul sebagai reaksi buta dari harga diri yang terluka, tetapi buah dari afeksi pernikahan, dan usaha untuk menjaga hubungan yang eksklusif dalam pernikahan.

Alkitab secara konsisten melihat kecemburuan Allah dalam jenis yang terakhir ini, yaitu sebagai suatu aspek dalam relasi kasih dalam kovenan Allah dengan umat-Nya. Di dalam Perjanjian Lama dinyatakan bahwa Allah melihat kovenan/perjanjian-Nya sebagai bentuk pernikahan yang suci antara Allah dan umat-Nya yang menuntut adanya kasih yang tak bersyarat dari Allah dan kesetiaan dari umat-Nya.

Jadi, apa yang dimaksud oleh Allah ketika Dia mengatakan kepada Musa bahwa Dia adalah Allah yang cemburu? Allah menginginkan mereka yang telah dikasihi dan ditebus-Nya untuk setia sepenuhnya bagi-Nya dan Dia akan menghukum siapa saja yang mengkhianati cinta-Nya dengan ketidaksetiaan.

Kecemburuan Allah mendorong Allah untuk menghakimi orang-orang yang tidak setia dan jatuh kepada dosa dan ilah-ilah. Namun, pada saat yang sama, Allah juga akan menebus dan membangkitkan umat pilihan-Nya dari penghakiman. Dan pada akhirnya kecemburuan Allah adalah kecemburuan bagi nama-Nya yang kudus agar Allah dipermuliakan di antara bangsa-bangsa.

“Allah yang cemburu tidak akan puas dengan hati yang mendua. Kita harus mengasihi dan menempatkan Dia sebagai yang pertama dan terutama.” – Charles Haddon Spurgeon

Maka, ketika kita mengetahui bahwa Allah kita adalah Allah yang cemburu karena kita adalah umat yang dikasihi dan ditebus-Nya, kita dapat berespon dalam 2 cara, yaitu:

  1. Miliki hati yang sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan.

Adanya hasrat di dalam hati untuk menyenangkan hati Tuhan dan melakukan kehendak-Nya. Hati yang 100% mengarah hanya kepada-Nya. Hasrat dan keinginan ini tidak secara alami ada pada diri manusia. Hanya Roh Kudus saja yang dapat membuat hati kita berpaling kepada Tuhan dan menginginkan apa yang diinginkan Tuhan. Orang yang hatinya 100% untuk Tuhan mempunyai satu hasrat dalam dirinya, yaitu hasrat untuk menyenangkan hati Tuhan dan memperluas kerajaan Allah sehingga nama Tuhan dapat dipermuliakan.

  1. Jangan merebut kemuliaan Tuhan.

Karena Allah yang cemburu bagi nama-Nya yang kudus tidak akan memberikan kemuliaan-Nya kepada orang lain. Hanya Tuhan saja yang harus ditahtakan sebagai raja dalam hidup dan dalam hati kita. Jika kita memberikan tahta itu kepada orang lain atau hal lain yang menjadi keinginan hati kita selain Tuhan, maka itu sudah menjadi berhala/ilah dalam hidup kita. Dan secara tidak sadar kecenderungan hati kita sudah berpaling kepada berhala/ilah itu, dan kita sudah menggeser kedudukan Allah sebagai raja di dalam hidup kita.

Bagaimana dengan diri kita? Mari kita teliti hati kita dan minta Tuhan untuk menyelidiki dan menyingkapkan isi hati kita. Dan mintalah belas kasihan-Nya untuk Tuhan boleh bekerja dalam hidup kita sehingga nama-Nya dipermuliakan dalam hidup kita.

Oleh: MA

Image source: Wikipedia

Kemarahan Allah

Ketika membaca judul di atas, apa yang muncul dalam pikiran kita? Mungkin kita akan mengerutkan dahi sambil berpikir, apa iya Allah bisa marah? Bukankah Ia penuh kasih dan penyayang? Tetapi faktanya, bukan saja Allah pernah marah, tetapi Alkitab bahkan dengan jelas mencatat mengenai kemarahan dan murka Allah lebih banyak dibanding dengan kebaikan dan kelembutan-Nya (A.W. Pink, The Attributes of God). 

Kitab Ulangan 32:39-41 memberikan kita gambaran tentang Allah yang marah dan menuntut adanya pembalasan.

“Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku. Sesungguhnya, Aku mengangkat tangan-Ku ke langit, dan berfirman: Demi Aku yang hidup selama-lamanya, apabila Aku mengasah pedang-Ku yang berkilat-kilat, dan tangan-Ku memegang penghukuman, maka Aku membalas dendam kepada lawan-Ku, dan mengadakan pembalasan kepada yang membenci Aku”.

Ketika kita membaca Alkitab secara keseluruhan, kita akan menemukan bentuk-bentuk kemarahan dan murka Allah di berbagai kitab lainnya. Kita akan menemukan Allah yang murka dan mengirimkan api (Bilangan 11:1-2), Allah yang membuat umat Israel mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun sehingga seluruh angkatannya habis mati (Bilangan 32:13), Allah yang menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora (Kejadian 19:24), dan Tuhan Yesus yang mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah (Matius 21:12)

Alkitab juga mencatat beberapa peristiwa mengenai kemarahan Yesus. Salah satunya tercatat di dalam kitab Markus 3:5.

“Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.”

Yesus marah kepada orang-orang Farisi yang saat itu berada di rumah ibadat. Ia berdukacita karena melihat kedegilan hati orang-orang Farisi tersebut. Mereka yang adalah kaum pilihan, umat Israel, para ahli yang telah membaca dan merenungkan kitab suci tetapi tidak mengerti dan hati mereka jauh dari Tuhan. Bayangkan saja, ketika melihat Yesus menyembuhkan orang yang sedang sakit, alih-alih bersukacita, mereka malahan dengan sengaja mencari-cari hal apa yang bisa digunakan untuk mempersalahkan Yesus.

Kemarahan Tuhan Yesus tidak muncul karena Ia tidak dapat menguasai diri, tetapi karena Ia melihat suatu dosa sehingga hati-Nya menjadi marah dan berduka. Kemarahan Tuhan Yesus adalah kemarahan yang suci, sangat berbeda dengan kita. Kita seringkali mudah marah bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu.

Kita marah karena barang milik kita hilang atau diambil orang, atau kita marah ketika menghadapi kemacetan lalu lintas. Mari kita berpikir sejenak, ketika orang lain menghina Kekristenan dan menjadikannya lelucon, bagaimana sikap kita? Apakah hati kita berduka dan marah? Atau barangkali kita juga tertawa dan menganggapnya sebagai hal yang lucu? Masakan kita tidak marah jika kesucian Allah kita diolok-olok? Kita harus mengintrospeksi diri kita. Apakah kita juga berduka terhadap hal yang mendukakan Allah? Apakah kita juga marah terhadap hal yang membuat Allah marah? Sudahkah kita sehati dan sinkron dengan Allah?

Tuhan Yesus sudah menjadi teladan untuk kita semua. Dia yang adalah Allah rela turun ke dalam dunia demi menebus dosa kita. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan dan mengosongkan diri-Nya sendiri (Filipi 2:7). Dia tidak marah karena hak-Nya diambil orang lain, maupun ketika diolok-olok orang lain. Tetapi Ia marah terhadap dosa dan ketika manusia mempermainkan nama Allah. Inilah kemarahan yang sejati, kemarahan yang muncul dari kesucian Allah.

Pada zaman ini konsep kemarahan Allah sudah jarang dibahas. Kita lebih sering mendengar mengenai konsep kebaikan dan kasih Allah. Tetapi sesungguhnya, menurut A.W. Pink, kemarahan Allah adalah bentuk kesempurnaan dari keilahian-Nya yang harus terus kita renungkan. Mengapa kita perlu merenungkan mengenai kemarahan Allah?

Pertama, agar hati kita menyadari bagaimana Allah membenci dosa. Sebab seringkali kita memandang dosa sebagai hal yang ringan. Kedua, menghasilkan jiwa yang takut akan Allah. Kita harus melayani Allah yang sejati dengan perasaan gentar karena Allah kita adalah api yang menghanguskan. Ketiga, memiliki perasaan yang senantiasa bersyukur kepada Yesus Kristus karena telah melepaskan kita dari murka Allah.

Sebagai orang yang percaya, kita sepatutnya bersyukur karena telah dilepaskan dari murka Allah dan diperdamaikan dengan Dia. Tetapi kita tidak boleh menganggap remeh hal itu, dan terus berjuang untuk melawan dosa, sebab dengan jelas dikatakan bahwa Allah membenci dosa. Dan kita harus selalu mengingat bahwa Allah kita adalah api yang menghanguskan (Ibrani 12:29).

“Kita sudah terlalu meninggikan kasih Tuhan melampaui kesucian dan murka-Nya sampai neraka pun seolah-olah ber-AC.” - Steve Lawson
“Alkitab bahkan mencatat mengenai kemarahan dan murka Allah lebih banyak dibandingkan dengan kebaikan dan kelembutan-Nya.” - A.W. Pink, The Attributes of God

Oleh: DS

Image source: Wikipedia

Kesabaran Allah

Kita sekarang hidup di zaman yang serba praktis dan serba cepat. Jika kita mengingini sesuatu, kita mau untuk mendapatkannya secepat mungkin bahkan detik ini juga. Konsep menunggu atau sabar menjadi sesuatu yang asing bagi kita semua. Hal ini dibuktikan dari peningkatan restoran cepat saji di Indonesia yang bertumbuh sekitar 15% setiap tahunnya. Menunggu 15 menit untuk makanan? 5 menit saja sudah terlalu lama! Hal yang sama juga terjadi di gereja-gereja masa kini. Mendengar khotbah satu jam? 15 menit saja udah kelamaan!

Mungkin kita setuju bahwa kesabaran adalah hal yang penting. Tetapi pertanyaannya, darimana kita belajar mengenai kesabaran? Kenapa seseorang perlu menjadi sabar? Jawabannya sederhana, karena Allah sendiri yang lebih dulu bersabar kepada kita.

Arthur W. Pink mendefinisikan kesabaran Allah sebagai kemampuan menahan amarah dan menunggu sebelum memberikan hukuman kepada orang-orang yang berdosa. Kita dapat melihat hal ini saat umat Israel memberontak kepada Allah di Kadesh, padang gurun Paran. Ketika Allah hendak melenyapkan mereka, seketika itu juga Musa berkata, “TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat” (Bilangan 14:18).

Kesabaran Allah terlihat ketika Ia berhadapan dengan kita semua, orang-orang yang berdosa. Dalam kitab Kejadian 6, dikatakan bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, oleh karena itu Allah berhendak untuk menghapuskan manusia maupun binatang yang ada di bumi. Ketika itu, hanya Nuh dan keluarganya saja yang benar di mata Allah. Kemudian Allah memerintahkannya untuk membuat sebuah bahtera karena akan datang air bah yang akan memenuhi seluruh bumi. Allah tidak langsung saat itu menghukum orang-orang yang berdosa, tetapi memberikan mereka waktu dan kesempatan untuk berbalik kepadanya, diperkirakan sekitar 120 tahun (Kejadian 6:3).

Apakah Allah tidak mampu untuk seketika itu juga memberikan hukuman kepada mereka? Tentu Ia mampu melakukannya, seperti tertulis dalam Kisah Para Rasul 5:1-11 mengenai Ananias dan Safira. Ketika mereka berbohong, seketika itu juga Allah langsung menghukum dengan mencabut nyawa mereka. Lantas mengapa Allah tidak langsung saat itu menghukum orang-orang yang berdosa? Satu-satunya jawaban adalah karena Ia panjang sabar atau dalam bahasa inggrisnya longsuffering. Ia menahan amarah-Nya dan memberikan waktu sebelum memberikan hukuman kepada kita semua, orang-orang berdosa yang layak untuk dimurkai-Nya.

Kejadian 3 menceritakan mengenai kejatuhan Adam dan Hawa sebagai perwakilan dari seluruh manusia telah jatuh ke dalam dosa. Allah kemudian menghukum dan mengusir mereka dari Taman Eden. Tetapi Allah juga yang membuatkan mereka pakaian dari kulit binatang dan mengenakannya kepada mereka. Oh betapa panjang sabar Allah kita! Tidak hanya itu, Ia juga menjanjikan bahwa akan ada kemenangan melawan keturunan ular melalui anakNya sendiri, yaitu Yesus Kristus.

Betapa seringnya kita melawan perintah-perintah Tuhan? Seringkali kita melawan Dia, melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya, memanfaatkan kebaikan dan kesabaranNya terhadap kita. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Paulus dalam 1 Timotius 1:16 memberikan kita gambaran tentang kesempurnaan kesabaran yang diperlihatkan oleh Yesus Kristus kepada dirinya. Yesus Kristus yang adalah Allah itu sendiri dengan kesabarannya menunggu agar Paulus berbalik dan bertobat. Seperti Paulus, kita semua orang-orang berdosa yang telah menerima kesabaran-Nya, sudah sepantasnya kita juga berlaku sabar terhadap orang-orang lain, misalnya saat kita ditolak atau bahkan dihina ketika mengabarkan injil.

“Seorang Kristen tanpa kesabaran layaknya seorang prajurit tanpa lengan.” - Thomas Watson

Kunci utama dari kesabaran adalah mengetahui bahwa Allah yang berdaulat dan memiliki kontrol atas sejarah manusia turut bekerja dalam kehidupan kita sekarang ini. Efesus 4:2, Paulus berkata, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” Setiap orang Kristen yang menyadari bahwa diri kita telah menerima belas kasihan dan kesabaran dari Allah seharusnya dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang ada di dunia ini, khususnya yang ada di sekeliling kita. Mari kita belajar untuk sabar terhadap teman, keluarga, bahkan kepada orang-orang yang menolak menerima Injil Kristus, sebab kita telah terlebih dahulu menerimanya dari Allah.

Kunci utama dari kesabaran adalah mengetahui bahwa Allah yang berdaulat dan memiliki kontrol atas sejarah manusia turut bekerja dalam kehidupan kita sekarang ini.

Oleh: DS

Kesucian Allah

“Ah! Tidak apa-apa berbuat dosa ini sekarang. Toh, Allah itu Maha kasih dan sabar. Pasti Dia akan mengampuni dan melupakan dosa saya. Bukankah Tuhan Yesus sudah mati bagi saya?” Pemikiran seperti ini memenuhi pikiran ketika saya berada dalam kondisi jatuh dalam dosa. Sering saya mengamankan diri dengan konsep ini apabila jatuh dalam dosa yang sama berulang kali dengan sengaja. Ini membuat saya merasa tidak apa-apa berdosa lagi dan lagi.

Suatu hari, ketika saya mengikuti satu kebaktian Minggu, apa yang saya pikirkan dan amini selama ini terpatahkan. Firman Tuhan hari itu bertemakan mematikan dosa. Memang benar, Allah yang begitu kasih telah mengaruniakan Tuhan Yesus, Anak-Nya, bagi dunia untuk mati atas dosa-dosa manusia. Akan tetapi, ada satu tanggung jawab umat tebusan untuk mematikan dosa. Tindakan ini berhubungan erat dengan salah satu atribut Allah yang penting. Atribut ini mungkin sudah jarang bahkan mungkin tidak pernah diperdengarkan di gereja ataupun di pertemuan ibadah lainnya. Hal itu adalah kesucian Allah.

James Innell Packer, seorang teolog kelahiran Inggris, dalam bukunya “Knowing God” menguraikan bahwa kasih Allah tidak lepas dari kesucian-Nya.  Kasih Allah adalah kasih yang suci. Kasih Allah tidak terlepas dari kasih yang mengutamakan kebenaran, standar moral, kebencian atas dosa, serta kasih yang meminta anak-anak-Nya untuk hidup sempurna seperti pribadi-Nya sendiri (Matius 5:48; 1 Yohanes 1:5). Kita tidak boleh mengabaikan kesucian Allah ini dalam memahami pribadi-Nya.

Kesucian Allah ini dimanifestasikan dengan pengorbanan Yesus Kristus, Anak-Nya, atas dosa manusia. Allah yang suci membenci dosa namun Ia juga mengasihi manusia. Ia mau agar kita tidak binasa karena dosa-dosa kita. Akan tetapi, manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Allah pun berinisiatif untuk memberikan solusi atas kondisi ini dengan menganugerahkan Anak-Nya sendiri, menggantikan kita yang harusnya dihukum atas dosa-dosa yang kita lakukan.

Definisi tersebut menghantar kita untuk mengerti bahwa sebagai umat yang telah ditebus dan sebagai peta teladan Allah, ada satu tanggung jawab yang kita emban yakni hidup dalam kesucian atau kekudusan sama seperti pribadi Allah yang suci. Hidup dalam kesucian adalah bukti pertobatan atas dosa. Hidup yang suci adalah hidup yang meninggalkan dosa, sepenuhnya takluk dan taat akan Firman Tuhan, hidup dalam terang Allah. Hidup yang suci sama sekali tidak mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan melainkan menelanjangi dan mematikan dosa (Efesus 5:8-16).

Bagaimana bila tanggung jawab ini kita abaikan? Seperti dalam Ibrani 12:6-11, seseorang yang telah ditebus akan dihajar oleh Allah ketika ia berdosa atau tidak hidup dalam kesucian. Hal ini merupakan bukti bahwa ia dikasihi oleh Allah sebagai anaknya. Seorang bapa manusiawi saja akan menghajar anaknya ketika ditemui berbuat salah. Tujuannya agar si anak tidak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang. Hajaran ini tentu saja sakit namun berfaedah demi kebaikan si anak. Terlebih pula Allah Bapa, dalam kesucian-Nya, memberikan ganjaran atas dosa yang kita lakukan. Ganjaran ini merupakan buah kebenaran yang akhirnya mendatangkan damai. Kita tidak akan menjadi anak gampangan.

Banyak bukti dalam Alkitab tentang bagaimana Allah menunjukkan kesucian-Nya kepada orang-orang yang dikasihi-Nya saat mereka tidak hidup suci. Seperti raja Daud yang ditegur dan dihukum Allah dengan keras setelah tidur dengan isteri Uria dan membunuh panglima itu (2 Samuel 12:1-12). Begitu pula, seperti Zakheus sang pemungut cukai yang melihat kesucian Allah dalam Yesus Kristus dan akhirnya bertobat (Lukas 19:1-9).

Dari kedua contoh kasus di atas, terlihat bahwa Allah yang suci benar-benar membenci dosa dan mengganjar orang yang dianggapnya sebagai anak. Selain itu juga, terdapat kesamaan respon yang tepat dan benar yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Alkitab tersebut setelah menyaksikan kesucian Allah. Mereka sungguh-sungguh bertobat dan meninggalkan dosa. Mereka hidup dalam kesucian Allah.

Seperti kutipan dari buku “Holiness of God” oleh R. C. Sproul, seorang teolog dari Amerika, yang mengatakan bahwa “Ketika kita memahami karakter Allah, ketika kita mengenali kesucian-Nya, maka kita mulai mengenali dosa dan keputusasaan kita. Manusia berdosa yang tidak berdaya hanya dapat bertahan hidup (suci) hanya karena anugerah.” Kesucian Allah dapat membuat kita mengenali dosa-dosa kita dan akhirnya mengarahkan kita untuk bertobat dan meninggalkan dosa. Kita dapat hidup suci sepenuhnya bergantung pada kasih karunia Allah saja.

“Ketika kita memahami karakter Allah, ketika kita mengenali kesucian-Nya, maka kita mulai mengenali dosa dan keputusasaan kita. Ketidakberdayaan manusia berdosa hanya dapat bertahan hidup hanya karena anugerah.” – R. C. Sproul

Bagaimana dengan respon kita selama ini? Apakah kita masih sering mengabaikan atribut kesucian Allah ini dari hidup kita? Apakah kita masih sering hidup aman dalam dosa-dosa tertentu karena mengabaikan kesucian-Nya? Kiranya kita dapat sungguh bertobat, mematikan dosa, dan meninggalkannya karena kesucian Allah sudah nyata bagi kita.

“Kesucian Allah dapat membuat kita mengenali dosa-dosa kita dan akhirnya mengarahkan kita untuk bertobat dan meninggalkan dosa.”

Oleh: AL

Quote of the day

Mereka tidak kehilangan apapun yang mendapatkan Kristus.

Samuel Rutherford