Pengusaha Kehidupan, Pelayan Kristus, dan Penyeru Kebenaran (1)

Pernah kepikiran gak apa yang membedakan dokter Kristen dengan dokter lainnya? Atau akuntan Kristen dengan akuntan lainnya? Pelajar Kristen dengan pelajar lainnya? Mungkin ada yang menjawab dokter Kristen memegang erat sumpah jabatan dan menjalankan praktik sesuai dengan etika kedokteran, akuntan Kristen mencatat setiap pembukuan dengan teliti dan melaporkannya dengan jujur, pelajar Kristen belajar dengan rajin dan tekun. Apakah benar ini pembedanya? Coba lihat dengan lebih teliti lagi, dokter, akuntan, dan pelajar non-Kristen pun melakukan hal yang sama, kan? Mereka sangat berkontribusi memberikan yang terbaik di tempat mereka bekerja, dihormati karena sumbangsih mereka bagi bidang keahlian yang ditekuni, dan tak jarang bahkan memiliki sikap yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang mengaku Kristen. Jadi apa yang membedakan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari lihat apa kata Alkitab tentang panggilan orang Kristen dalam profesi. Di Kejadian 1, Allah memberikan tugas perdana kepada manusia yang baru saja diciptakan menurut gambar-Nya. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1:28). Allah memerintahkan manusia untuk memiliki keturunan yang akan mengisi bumi ciptaan-Nya sekaligus memberikan kekuasaan kepada mereka untuk mengelolanya (Kej. 2:15). Perintah untuk mengusahakan dan memelihara ciptaan-Nya ini dikenal sebagai “Mandat Budaya”. 

Jabatan Raja, Imam, Nabi dalam Narasi Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan-Penyempurnaan

Apabila kita lihat mandat budaya dari sisi jabatan yang diberikan Tuhan kepada manusia, maka dalam konteks ini manusia ditugaskan sebagai “raja” yang mewakili Allah untuk menguasai alam semesta sekaligus mengelolanya dengan bertanggung jawab. Kemudian Tuhan memberikan makanan kepada manusia melalui ciptaan-Nya (Kej. 1:29). Manusia diajak untuk menikmati ciptaan Allah sekaligus menikmati Allah Sang Pencipta, seperti yang disebutkan dalam jawaban pertanyaan pertama Katekimus Singkat Westminster, “Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah serta menikmati Dia selamanya.” Sebagai ungkapan syukur, maka manusia mempersembahkan hasil kelola ciptaan-Nya kembali kepada Allah Sang Pemberi. Tugas jabatan ini seperti seorang “imam” yang mempersembahkan korban syukur sebagai bentuk apresiasi atas berkat yang telah Tuhan berikan. Tugas berikutnya yang Allah berikan adalah menamai tiap-tiap makhluk hidup dengan terlebih dahulu memberi contoh bagaimana Ia menamainya (Kej. 2:19-20). Allah memberi tugas kepada manusia untuk memberi makna kepada ciptaan-Nya, melakukan interpretasi terhadap apa yang diamati, dan menyuarakan pengetahuan dari Allah Sang Sumber Pengetahuan. Ini adalah jabatan manusia sebagai “nabi” yang berbicara dan mengajar tentang kebenaran Allah. Ketiga jabatan ini: raja, imam, dan nabi, langsung diberikan Allah kepada manusia ketika baru saja selesai menciptakan dunia ini.

Di Kejadian 3, kita tahu bahwa akhirnya manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga menyebabkan manusia tidak mampu melaksanakan ketiga jabatan yang telah Allah berikan. Adam, yang seharusnya menjadi pemimpin bagi Hawa, malah lebih memilih mendengarkan perkataan istrinya ikut memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Hawa, yang seharusnya menjadi penolong yang sepadan, yang bersama-sama Adam dimandatkan Allah untuk menguasai alam ciptaan, malah berbalik dikuasai oleh ular, yang lebih rendah derajatnya dari manusia. Urutan yang seharusnya Adam – Hawa – alam ciptaan, sudah dibalik oleh manusia menjadi alam ciptaan – Hawa – Adam. Akibatnya, Allah langsung menghukum manusia saat itu juga. Alam ciptaan yang seharusnya tunduk pada manusia, akhirnya dibuat memberontak sebagai konsekuensi dosa (Kej. 3:17). Tidak hanya gagal menjadi wakil Allah sebagai raja atas alam ciptaan, manusia juga gagal menikmati Allah. Setelah melanggar perjanjian, manusia menjadi takut bertemu dengan Allah. Mereka bersembunyi ketika mendengar bunyi langkah Allah yang berjalan-jalan dalam taman itu. Mereka takut dan malu menghadapi Allah karena telah berdosa, gagal menjadi imam yang seharusnya menghampiri Allah dengan rasa syukur. Alih-alih bersyukur, mereka bahkan tidak bertanggung jawab, menyalahkan pihak lain atas kesalahan yang telah diperbuat. Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular. Manusia yang harusnya sebagai nabi menyerukan kebenaran Allah malah memelintir kebenaran.

Tak hanya menghukum manusia sebagai konsekuensi dosa, Allah juga sudah merencanakan keselamatan yang digenapi melalui keseluruhan karya Kristus. Allah menubuatkan akan terjadi peperangan antara anak manusia keturunan Hawa dan keturunan ular, yang akan dimenangkan oleh Anak Manusia (Kej. 3:15). Allah juga langsung menyiapkan korban pendamaian (Kej. 3:21), sebagai bayang-bayang dari Kristus, korban pendamaian yang sejati, yang menyatukan kembali hubungan yang telah terpisah antara Allah dan manusia. Nama Kristus, artinya “Yang Diurapi”, mengingatkan para pembaca perjanjian lama akan 3 jabatan yang menerima urapan dengan minyak ketika ditahbiskan, yakni raja, imam, dan nabi. Allah berbicara kepada orang percaya melalui perantaraan Kristus, nabi yang juga merupakan Sang Firman itu sendiri, cahaya kemuliaan, dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya (Ibr. 1:2-3). Allah juga menjadikan alam semesta melalui Kristus, raja yang sejati, yang juga menopang segala yang ada dengan penuh kekuasaan, duduk di sebelah kanan Allah, di tempat yang maha tinggi, dikaruniakan nama yang indah, berhak menerima segala yang ada (Ibr. 1:2-4). Kristus, Sang Imam Besar Agung, juga melakukan penyucian dosa, korban pendamaian yang sempurna (Ibr. 1:3). Kristus menebus seluruh dosa umat pilihan-Nya dengan tuntas dan memulihkan 3 jabatan tersebut. Secara status, orang Kristen, sebagai pengikut Kristus, juga menerima urapan yang sama untuk jabatan raja, imam, dan nabi dalam mandat budaya yang diberikan.

Kristus menebus seluruh dosa umat pilihan-Nya dengan tuntas dan memulihkan 3 jabatan tersebut. Secara status, orang Kristen, sebagai pengikut Kristus, juga menerima urapan yang sama untuk jabatan raja, imam, dan nabi dalam mandat budaya yang diberikan.

Tentunya kita tahu bahwa menghidupi status yang sudah dipulihkan tidak otomatis membuat kehidupan orang Kristen langsung sempurna, tetapi ada proses pengudusan seumur hidup. Orang Kristen tahu dengan jelas arah tujuan hidupnya, walau di tengah jalan masih bisa terjatuh, tetapi kemudian bisa bangkit kembali karena Roh Kudus memberikan kekuatan untuk menang atas dosa, mengalami disiplin dari Tuhan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang diperbuat, karena Ia menghendaki orang Kristen untuk beroleh bagian dalam kekudusan-Nya dan menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya (Ibr. 12:6-11). Ada sebuah kemajuan yang terus-menerus terjadi seumur hidup, mengejar hadiah panggilan surgawi yang telah Allah karuniakan dalam Kristus (Flp. 3:14), dengan pengharapan yang penuh kepastian bahwa semua ini akan menuju resolusi di langit dan bumi yang baru (Why. 21:1).  

Oleh: AW

Image source: Unsplash

YOLO – Kamu Hanya Hidup Sekali

Istilah ini sangatlah populer di kalangan orang-orang muda pada zaman ini. Pemikiran para generasi muda zaman sekarang telah teracuni oleh prinsip hidup yang tidak mau pusing dan berpikir panjang. Saya pun juga dulunya sempat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang positif, berpikir tidak ada salahnya untuk bersenang-senang selagi bisa. Prinsip hidup YOLO dalam pandangan saya waktu itu yaitu hidup memang untuk dinikmati selagi sempat karena belum tentu ada hari esok. Ya, memang benar bahwa hari esok belum tentu ada, tapi yang menjadi fokus yang salah yaitu ditujukan untuk kesenangan pribadi yang sementara dari dunia ini.

Dulunya pikiran saya hanya sebatas saya dan keluarga saya saja, memikirkan bagaimana yang terbaik untuk diri saya dan keluarga. Itu sungguh memprihatinkan bukan? Dengan pemikiran yang sempit, saya dulunya lupa akan kedaulatan Tuhan yang memelihara saya sampai saat ini. 

Sejak kecil saya sudah ditanamkan konsep hidup mandiri, yaitu berusaha keras sendiri untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Puncaknya sejak pertama kali saya datang ke Australia. Saya mesti bertanggung jawab penuh terhadap diri saya sendiri dan tidak boleh sampai berpikiran kalau orang tua saya pasti akan membantu. Jadi, hidup di negara asing dengan mengandalkan diri sendiri sangatlah menyeramkan bagi saya yang saat itu baru berusia 18 tahun. Tidak ada pengalaman hidup di dunia kerja, benar-benar baru tamat dari bangku SMA.

Tidak ada kepastian hidup yang bisa saya pegang, ya, tentunya saya percaya kalau Tuhan itu ada, tapi yang saya hidupi dulu yaitu hanya sebatas ke gereja tiap minggu, dan bahkan tidak pernah menghidupi doa-doa saya, karena sebenarnya saya sendiri pun tidak yakin kalau Tuhan itu mendengarkannya.

Waktu-waktu berlalu amat cepat, menginjak tahun kedua di Australia saya baru belajar untuk membaca dan merenungkan firman Tuhan. Awalnya sungguh tidak mudah karena membutuhkan komitmen yang kuat, tapi saat itu seorang teman mengatakan kepada saya kalau firman Tuhan-lah yang menjadi kekuatan di dalam hidupnya. Pada saat itu saya hanya kepikiran: “Saya juga mau merasakan kekuatan dari Tuhan yang nyata.” Jadi, saya coba belajar membaca firman Tuhan sejak saat itu dan akhirnya menemukan suatu kepastian yang terus menguatkan saya.

Yeremia 9:23-24, Beginilah firman TUHAN: “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”

Ketika saya membaca ayat tersebut, saya baru kepikiran dan menyadari kalau Tuhan yang sesungguhnya yaitu Tuhan yang ingin dikenal. Selama ini saya tidak pernah memahami konsep-konsep dasar iman kekristenan karena saya sendiri tidak pernah berusaha untuk bersikap aktif untuk mencari wajah Tuhan. Sebaliknya, dengan sekuat tenaga saya hanya mencoba untuk mengandalkan diri saya sendiri. Ketika mengingat kembali masa-masa seperti itu, rasanya sungguh sangat menakutkan dan sungguh penuh dengan ketidakpastian. Contohnya, pada saat awal datang ke Australia, benar-benar hidup yang mencoba berjalan sendiri dan sungguh tidak ada kelegaan sama sekali. Semua kelihatannya baik-baik saja dan terlihat sangat normal, tetapi tidak ada kelegaan yang menyegarkan jiwa saya. Tidak ada ketenteraman pribadi di dalam hati saya, karena saya hanya mengandalkan diri saya sendiri.

Saya teringat akan kutipan dari Elisabeth Elliot yang mengatakan, “Ketakutan muncul ketika kita membayangkan semuanya tergantung pada kita.”

Namun, setelah saya mengetahui kebenaran firman Tuhan itu, saya benar-benar belajar untuk menyangkal diri saya dan berusaha untuk menghidupinya. Ketika beberapa saat berlalu, saya sangat bersyukur dan baru menyadari tentang doa-doa saya dulu yang bersifat egois, dimana saya hanya meminta apa yang berfokus pada kebaikan diri saya, untuk memuaskan kesenangan pribadi yang hanya sesaat itu, yang ketika saya tidak mendapatkannya saya akhirnya menjadi kecewa dan sulit untuk mempercayainya lagi. Saya dulunya sungguh sangat egois dan hanya memikirkan kepentingan saya saja, padahal saya ada sebagaimana saat ini hanyalah semata-mata karena belas kasihan Tuhan. Merenungkan kembali hal itu, sejujurnya saya sangat bersyukur ketika Tuhan tidak memberikan apa yang saya anggap baik pada saat itu, karena justru itulah yang mungkin akan mencelakakan saya. 

Saya teringat akan Yeremia 17:5-8 yang mengatakan, “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk. Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.”

Setelah saya belajar menghidupi firman Tuhan, saya akhirnya menyadari tentang kebenaran yang paling besar akan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah hidup yang boleh menghasilkan buah, yaitu hidup yang mengerti panggilannya, yang rela taat untuk dipakai menjadi alat bagi kemuliaanNya. Tuhan sesungguhnya tidak memerlukan kita untuk melangsungkan rencana-Nya yang dahsyat. Siapakah kita? Kita mungkin hanya memperlambat pekerjaan Tuhan saja.

Tetapi, ketika kita boleh memiki kesempatan untuk bekerja bagi kemuliaan Tuhan, marilah kita melihatnya sebagai keistimewaan kita sebagai anak-anak Tuhan. Ketika kita hidup untuk melayani Tuhan, di saat yang sama kita bisa mengalami dan melihat pimpinan Tuhan yang sangat nyata, yang senantiasa memimpin hidup kita.

Bersyukur kepada Tuhan jika saat ini saya dapat melihat kalau prinsip hidup YOLO sendiri sangat berarti ketika difokuskan kepada Tuhan, yaitu jika hidup kita yang hanya sekali ini boleh diresponi dengan mengejar pengenalan akan Tuhan yang sejati dan hidup giat bagi Dia, sehingga kita boleh mengenal dan puas di dalam Dia, yaitu Yesus Kristus yang telah menciptakan dan menebus hidup kita. Kita juga terus memohon belas kasihan Tuhan agar Dia berkenan menyatakan kemuliaan, keindahan dan kesucian-Nya kepada kita. Tanpa anugerah dari Tuhan sendiri, tidak ada orang yang sanggup untuk mengenal Dia. Kiranya kita semua boleh menggunakan waktu yang singkat ini untuk terus belajar hidup semaksimal mungkin bagi kemuliaan nama Tuhan. Sungguh tidak ada yang lebih membahagiakan ketika kita bisa memiliki kepenuhan di dalam hidup berjalan bersama Tuhan.

Bersyukur kepada Tuhan jika saat ini saya dapat melihat kalau prinsip hidup YOLO sendiri sangat berarti ketika difokuskan kepada Tuhan, yaitu jika hidup kita yang hanya sekali ini boleh diresponi dengan mengejar pengenalan akan Tuhan yang sejati dan hidup giat bagi Dia, sehingga kita boleh mengenal dan puas di dalam Dia, yaitu Yesus Kristus yang telah menciptakan dan menebus hidup kita.

Oleh: CH

Image source: Unsplash

Lima Menit Lagi Ya

Menunggu sebentar lagi, istirahat sebentar lagi, bersantai sebentar lagi. Sangat sering pemikiran seperti ini muncul saat kita tahu bahwa suatu hal harus diselesaikan dalam waktu yang tidak lama lagi. Apa itu menunda? Menunda adalah tindakan atau sikap yang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan segera. Penundaan adalah hal yang kita lakukan setiap hari tanpa kita sadari dimana kita merasionalisasikan alasan untuk tidak melakukan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan dan berpikir bahwa kita masih punya waktu lain dimasa depan untuk melakukannya. Betapa banyak dari kita telah berhasil memberikan alasan bodoh yang menenangkan jiwa kita dengan memutuskan untuk tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan dengan segera, saat itu juga.

Pada zaman revolusi Amerika, ada seorang komandan tentara Inggris di New Jersey bernama Kolonel Rahl, dia sedang bermain kartu saat seorang tukang pos datang membawa surat penting yang berisi himbauan penting bahwa musuh mereka sedang dalam perjalanan menyeberangi sebuah sungai dekat markas mereka bersembunyi. Kolonel Rahl menaruh surat itu di dalam kantongnya dan tidak peduli untuk membacanya sampai permainan kartu mereka selesai. Lalu setelah membaca surat itu dia baru sadar betapa seriusnya situasi saat itu, dia dengan segera mengumpulkan tentara-tentaranya untuk berperang tapi karena keterlambatannya dalam membaca surat itu, musuh mereka yang sudah sangat dekat berhasil membunuh ribuan dari tentara Inggris yang tidak sempat mempersiapkan diri untuk melawan dan akhirnya daerah mereka berhasil dikuasai oleh musuh. 

Contoh lainnya, bayangkan apa yang akan terjadi jikalau seorang pemadam kebakaran dengan sengaja menunda untuk pergi ke tempat terjadinya kebakaran? Apa yang akan terjadi jika paramedis dengan sengaja menunda perjalanannya ke rumah seseorang yang mengalami serangan jantung? Jika kita menjadi mereka, kita pasti berkata bahwa kita akan langsung dengan segera, saat itu juga melakukan apa yang menjadi prioritas kita. Tetapi ironisnya, sering kali menunda sudah menjadi bagian dalam keseharian kita, menunda lagi, lagi dan lagi, dan akhirnya itu menjadi suatu kebiasaan.

Jika ditelaah lebih dalam, tindakan menunda-nunda sangat membahayakan hidup kita terutama kesejahteraan jiwa kita. Ada 3 faktor yang menyebabkan kita suka menunda-nunda, yang pertama, adalah kesombongan. Dalam Yakobus 4:13 dikatakan “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota Anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung.” Banyak dari kita berpikir bahwa kita masih mempunyai hidup besok atau di waktu-waktu mendatang, masih ada waktu lain untuk mengerjakan tanggung jawab sebagai orang Kristen. 

Nanti saja baca Alkitabnya karena bangun sudah telat, nanti saja berdoanya karena sudah harus berangkat kerja, nanti saja saat teduhnya karena merasa tidak enak hati kepada Tuhan dan tidak layak karena baru berbuat dosa. Nanti, nanti dan nanti. Manusia begitu percaya diri di dalam kesombongannya, seolah-olah kita tahu persis tentang kedaulatan Tuhan dalam hidup kita. Apakah besok kita masih punya hidup untuk melakukan hal-hal yang kita tunda hari ini? Belum tentu! Dalam ayatnya yang ke-14 dikatakan “sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.Betapa sombongnya manusia yang berpikir bahwa masih ada hari esok untuk mempelajari firman Tuhan lebih dalam lagi. Berapa banyak dari kita yang berpikir seperti ini? Besok saya akan lebih taat, besok saya akan membaca Alkitab dengan lebih baik, besok saya akan berdoa lebih sering. Hari ini saya tidak bisa karena saya terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolah atau kantor. Ini adalah tipuan si jahat yang menjebak kita karena membuat kita merasa bahwa kita sudah produktif tapi sebenarnya kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak terlalu penting, hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kekekalan dan kesejahteraan jiwa kita.

Faktor kedua adalah kemalasan. Dalam Amsal 24:33-34 dikatakan, “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring,maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.” Dalam perikop ini Salomo menekankan tentang pemilik kebun anggur yang malas. Peperangan dalam hidup ini dimulai saat kita membuka mata di pagi hari, peperangan melawan musuh terbesar kita yaitu kemalasan dalam diri kita sendiri. Saat membuka mata, akankah saya langsung bangun dan mencari wajah Tuhan lewat Firman-Nya atau bangun dan bermalas-malasan dengan bermain handphone? Ini hanya satu contoh dari banyak godaan kemalasan yang kita hadapi untuk menunda prioritas dan tanggung jawab yang seharusnya kita lakukan bagi pertumbuhan iman kita.

Dalam tulisannya, Salomo menarik pelajaran yang mengingatkan dia tentang kebodohan yang menggelikan dari seorang pemilik kebun anggur yang malas dimana ketika seharusnya bekerja, ia malah berbaring malas-malasan di tempat tidurnya dan berkata tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi sampai kedua matanya terpejam. Lalu saat dia bangun, bukannya disegarkan oleh tidurnya untuk bekerja, ia malah menjadi lesu dan lemas dan menjadi tidak berguna. Ini bukan hanya berlaku pada urusan duniawi kita tapi juga menunjukkan apa pengaruh signifikan dari kemalasan yang mempengaruhi perkara-perkara jiwa kita. 

Jiwa kita seperti ladang atau kebun anggur yang setiap hari harus kita rawat, hiasi dan jaga. Kita diberikantanggung jawab atas jiwa kita dalam bentuk ketaatan dan hidup kudus sebagai pengikut Kristus sampai nanti Kristus datang dan ini artinya dituntut jerih payah yang besar dari kita untuk memeliharanya. Ini t idak menutup kemungkinan ladang atau kebun anggur kita berada dalam keadaan yang buruk seperti tertutup oleh tanaman parasit atau jeruju (segala macam dosa dari kedagingan kita) yang menghambat atau bahkan bisa membunuh pertumbuhan kerohanian kita. Mengapa bisa sampai seperti ini? Karena kemalasan dan kebodohan diri kita yang bernatur dosa. Seringkali kita tidak mengerti mana yang penting untuk dilakukan dan mana yang tidak penting, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan apa yang bisa ditunda. Dan pada akhirnya ini membawa kehancuran bagi jiwa, seperti diserbu oleh sekumpulan orang bersenjata dan kita tahu tempat seperti apa yang dipersiapkan bagi hamba yang malas. 

Faktor ketiga adalah ketidakacuhan. Kita tidak terlalu peduli kepada hal-hal yang sifatnya spiritual. Tapi mengenai hal-hal duniawi manusia menjadi pribadi yang sangat rajin. Bahkan pekerjaan untuk 2 hari kedepan bisa dikerjakan hari ini untuk mengejar batas waktu karena kita sungkan kepada atasan kita. Kita tidak mau dilihat sebagai orang yang tidak bertanggung jawab di mata manusia lain. Manusia akan berusaha sekeras mungkin untuk terlihat sebagai pekerja atau pelayan yang bertanggung jawab karena mereka tahu imbalan dari kerja keras mereka adalah uang. 

Sungguh menjadi satu hal yang memalukan karena manusia tidak mengaplikasikan etos kerja keras mereka pada kehidupan spiritual mereka. Seringkali kita tidak peduli terhadap penilaian Tuhan akan ketaatan dan tanggung jawab kita sebagai orang Kristen. Kita tidak merasa sungkan untuk menunda dalam membaca Alkitab, kita tidak merasa sungkan dalam menunda-nunda pelayanan dan kita juga tidak sungkan untuk melewati satu hari dalam hidup kita tanpa memanjatkan doa yang tulus di hadapan Tuhan. Pada dasarnya kita tidak melihat pentingnya ketaatan dalam hal-hal yang berbau spiritualitas karena mungkin dalam hati, kita malu untuk terlihat sebagai orang yang rohani dan takut disangka terlalu fanatik oleh orang-orang sekitar kita. 

Ada saat dimana kita merasa sangat berapi-api untuk Tuhan dan ada saat dimana kita merasa tidak terlalu peduli tentang pertumbuhan iman kita. Bahkan yang lebih membahayakan adalah kita tidak lagi begitu peduli kalau kita berbuat dosa. Penyebab utama dari ketidakpedulian terhadap diri adalah sifat tinggi hati dan kecenderungan untuk menipu diri sendiri. Manusia merasa kebutuhan jasmani sudah terpenuhi dengan baik dan ini menyebabkan pengabaian akan kebutuhan-kebutuhan jiwa mereka. Apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan dasar dari jiwa manusia? Berelasi dengan Tuhan, sang pencipta jiwa menjadi kebutuhan utama bagi orang-orang yang sudah diselamatkan dari dalam kekekalan. Ketaatan kita melalui pimpinan Roh Kudus adalah seperti getah yang mengalirkan semua nutrisi dari batang pohon kepada cabang-cabang yang kecil. Kristus adalah batang pohon itu sendiri dan jika tidak ada getah maka tidak mungkin nutrisi itu bisa diserap oleh cabang-cabang itu yang adalah jiwa dan kerohanian kita sendiri. Saat kita menunda - nunda untuk berelasi dengan Tuhan, cepat atau lambat kerohanian kita kering dan tidak mungkin ada pertahanan yang kuat dalam melawan dosa. Sering sekali kita malah berpikir bahwa tidak ada kebutuhan rohani yang perlu untuk dipenuhi apalagi disaat kebutuhan jasmani kita sudah cukup terpenuhi. Betapa kita harus berhati-hati supaya tidak menipu jiwa kita sendiri. Jujurlah pada diri kita sendiri dan pikirkan akan prioritas-prioritas spiritual apa saja yang terus menerus kita tunda untuk lakukan sampai hari ini. 

Terlalu sering kita menunda untuk mendekatkan diri pada Allah Tritunggal dan menunda untuk melakukan tanggung jawab yang Tuhan kehendaki untuk kita kerjakan. Kita bertanggung jawab untuk hidup menjunjung kesucian Tuhan seturut dengan Firman-Nya. Kehidupan doa yang intim dan pendalaman akan Firman Tuhan-lah yang menjadi sarana untuk kita hidup suci sebagaimana Ia adalah suci adanya. Berhentilah berpikir bahwa masih ada kesempatan di jam-jam ke depan, di hari-hari ke depan atau di minggu-minggu ke depan untuk mengenal Tuhan yang kita sembah tapi ingatlah bahwa kebiasaan menunda kita adalah titik awal dimana manusia jatuh dalam dosa dan ini menjadi titik keterpisahan antara manusia dengan Allah yang suci. Lakukan sekarang atau tidak sama sekali. 

Manakah yang akan kita pilih? Seperti dalam Yohanes 9:4 dikatakan, kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama siang, karena akan datang malam, dimana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. Masa hidup kita sungguh terbatas, mungkin kita masih ada besok, mungkin juga tidak. Hendaklah kita peka akan pimpinan-Nya dan milikilah hati yang mau taat didepan maka pengertian itu akan mengikuti di belakang. 

Hati Yang Kosong

Seberapa sering kita mendengar kata “bosan” keluar dari mulut anak-anak muda zaman sekarang, atau bahkan anak kecil? Manusia menjalankan rutinitas yang sama diulang setiap hari. Sekilas kata “bosan” terdengar biasa saja dan merupakan hal yang wajar dirasakan, tetapi ketika perasaan ini ada dalam diri seseorang dan dibiarkan begitu saja, maka dampaknya bisa sangat berbahaya. 

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberi “kemampuan” untuk merasa bosan. Meskipun mungkin kita pernah melihat binatang yang terlihat bosan terkurung dalam kandangnya, tetapi sebenarnya tidak ada makhluk lain yang bisa merasakan kebosanan dari dalam diri atau sekitarnya selain manusia. Ini menjadi hal yang perlu dipikirkan karena kita percaya Tuhan tidak menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Ketika manusia diberikan kapasitas untuk bisa merasa bosan, itu berarti Tuhan memiliki tujuan di baliknya.

Jika ada seseorang yang sedang sakit, kemudian menggunakan termometer untuk mengukur suhu badannya dan hasilnya menunjukkan 39 derajat, itu artinya dia terkena demam. Seperti itu juga rasa bosan sebenarnya bisa menjadi satu peringatan (warning) yang menunjukkan adanya kekosongan dalam hati kita. Rasa bosan hanyalah apa yang tampak di permukaan, tetapi akar masalahnya terletak jauh di dalam hati.

Perjalanan manusia untuk mencari

Manusia bukan makhluk yang bisa cukup dari dirinya sendiri, kita adalah makhluk yang mencari. Kita tidak bisa puas dengan apa yang ada di dalam diri kita saja. Ketika kita merasa sendiri dan kesepian, kita berusaha mencari teman-teman. Ketika dalam pekerjaan kita berada pada satu posisi, kita akan berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi lagi. Dunia ini dan segala isinya selalu berubah dan manusia akan terus berusaha mengejar apa yang dunia tawarkan. Untuk sementara waktu mungkin semua pencapaian bisa menjadi kebanggaan besar dan orang di sekitar akan menilai kita sukses, tapi uniknya semakin dikejar dan semakin mendapat apa yang diinginkan, pada akhirnya manusia akan menemukan jiwanya tetap kosong.

Sama seperti sederetan mobil mewah terpajang dengan cat mengkilap tetapi tanpa bensin. Mobil itu hanya indah dilihat untuk sementara waktu, lama-kelamaan mobil mewah itu akan berkarat dan tidak berguna karena tidak ada bahan bakar di dalamnya untuk menggerakkannya. Dunia saat ini juga dipenuhi oleh orang-orang yang terlihat hebat dari luar, tetapi hatinya begitu kosong.

Lihatlah berapa banyak artis terkenal yang sudah mencapai puncak ketenarannya tapi berakhir dengan bunuh diri. Apa yang kurang dari hidup mereka? Uang, rumah besar, mobil mewah, jet pribadi, semua mereka miliki. Banyak orang yang bermimpi menjadi seperti mereka, bahkan mungkin kita juga pernah membayangkan betapa enaknya menjadi artis-artis itu, hidup tanpa kekurangan materi, dikelilingi banyak teman dan dipuja ribuan, bahkan jutaan penggemar. Tapi lihatlah kenyataan yang ada, mereka memilih untuk mengakhiri hidup dan tidak menikmati semuanya lagi. Hidup yang begitu hampa di tengah limpahnya harta. 

Desain yang rusak

Ketika Tuhan menciptakan manusia pertama dalam dunia, Tuhan memerintahkan manusia untuk menaklukkan dunia. Itu berarti dunia dicipta untuk manusia, bukan sebaliknya, tetapi dosa merusak seluruh tatanan dan desain awal penciptaan. Manusia tidak lagi tunduk pada Tuhan, melainkan pada dunia. Dosa membuat arah hati kita berbalik dari Tuhan sehingga kita tidak lagi bisa melihat Tuhan sebagai yang paling indah dan mulia. Mata kita tertutup oleh tipuan si penguasa dunia. Ya, setan berusaha menampilkan dosa di depan mata kita dengan bungkusan rapi dan hiasan-hiasan indah supaya kita tertarik dan akhirnya terjerat di dalamnya. Tapi pada hakekatnya dosa tetaplah dosa, ujungnya adalah maut.

Ketika ular memperlihatkan kepada Hawa betapa baik buah itu untuk dimakan, buah yang Tuhan sendiri perintahkan jangan dimakan, apakah kita bisa berkata, “Tidak apa lah, kan hanya buah saja?” Tidak, itu dosa! Itu bentuk perlawanan langsung manusia ciptaan terhadap Tuhan, Sang Pencipta. Tujuan setan adalah merusak rencana Tuhan. Setan mau membuat manusia tidak lagi melihat seluruh kebaikan Tuhan dan strateginya berhasil dengan menampilkan buah yang sedap dilihat. Akhirnya, manusia tergoda dan memilih apa yang dianggapnya baik. 

Dasar yang salah

Strategi setan tidak berubah dari dulu sampai sekarang, motivasinya pun tetap sama. Dia adalah penipu. Yang ditawarkan di hadapan kita bukan sesuatu yang terlihat buruk dan menakutkan, semuanya akan terlihat menarik dan pasti kita sukai. Itu yang terjadi saat ini ketika manusia mencari dan mengejar apa yang terlihat sangat menjanjikan, dengan harapan semua itu dapat memberi kepuasan dan makna dalam hidup. Manusia membangun pengharapan besar terhadap sesuatu yang sifatnya sementara dan dapat berubah. Bagaikan mendirikan rumah di atas fondasi pasir, tinggal tunggu waktu maka semua akan runtuh. Pengharapan yang dibangun di atas dasar yang salah hanya akan berujung pada kekecewaan. 

Manusia begitu rapuh. Hari ini kita kuat, besok kita lemah. Hari ini kita bisa mengambil keputusan, besok kita terombang-ambing. Hari ini kaya, besok kita bisa jatuh miskin. Semua ini diizinkan Tuhan untuk mengingatkan umat manusia kalau tidak ada yang bisa dijadikan pegangan di dalam dunia ini. Setiap kesulitan dan penderitaan yang kita alami menyadarkan kita pentingnya bergantung pada Tuhan. 

Manusia dicipta bagi Tuhan

Pengharapan kita harus didasarkan pada Tuhan saja karena Dia adalah Allah yang kekal. Setiap manusia dicipta juga diberikan jejak yang sama di dalam dirinya. Tuhan menaruh kekekalan dalam hati manusia. Sebesar apapun usaha yang dilakukan, bahkan sampai memasukkan seluruh dunia ke dalam hati, tidak akan membuat kita tenang dan puas karena ada sesuatu di dalam diri manusia yang tidak dapat dipuaskan oleh apapun dari dunia ini. Manusia dicipta untuk maksud yang lebih mulia, maka hanya apa yang bernilai kekal yang dapat memenuhkan tempat yang kosong dalam hati kita.

Seorang bapak gereja di abad ke-4, Augustine, mengatakan satu kalimat yang tepat, “Tuhan menciptakan manusia untuk diri-Nya sendiri dan hati manusia tidak akan tenang sampai menemukan peristirahatan di dalam Dia.” Kita dicipta oleh Tuhan dan bagi Tuhan saja, maka hati kita tidak akan mendapat istirahat yang tenang di luar Tuhan. Suka atau tidak, ini adalah kebenaran.

Tuhan menciptakan manusia untuk diri-Nya sendiri dan hati manusia tidak akan tenang sampai menemukan peristirahatan di dalam Dia
-Augustine of Hippo

Mendapatkan istirahat dalam Tuhan

Firman Tuhan menyatakan dalam Ibrani 13:8, “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” Bukankah ini seharusnya menjadi penghiburan bagi setiap manusia yang mencari dan berharap? Pribadi-Nya tidak berubah. Janji-Nya tidak berubah. Kesetiaan-Nya tidak berubah. Cinta-Nya tidak pernah berubah. Cinta yang tertinggi dan terbesar yang mungkin manusia terima adalah cinta yang diberikan oleh Bapa sendiri melalui Kristus. Cinta-Nya bagi kita tidak akan berkurang dan juga tidak bisa bertambah, karena cinta-Nya sempurna. Tidak ada yang bisa lebih baik lagi diberikan dari apa yang sudah sempurna.

Saat kita bisa merasa hidup ini sangat membosankan dan hati begitu kosong, mungkin ini adalah satu peringatan untuk kita berhenti sejenak dari seluruh aktivitas dan kembali kepada Tuhan. Memohon belas kasihan-Nya dan datang kepada-Nya dengan lutut dan doa. Berbahagialah orang di tengah dunia yang selalu berubah, bisa menapakkan kakinya pada dasar yang kokoh. Berbahagialah manusia jika hidup di tengah dunia yang sementara ini, bisa mencari dan mengejar yang bernilai kekal. Oh jiwa, kembalilah kepada Penciptamu dan tinggallah tenang di dalam-Nya, karena Dia tetap sama, kemarin, hari ini, dan sampai selama-lamanya.

Oleh: ET

Image source: Unsplash

Bagaimana kita mengetahui pertobatan yang sejati?

"Pak, bagaimana kita tahu bahwa pertobatan kita adalah satu pertobatan yang sejati?"

Ini adalah pertanyaan yang penting karena banyak daripada kita itu salah mengerti. Kita pikir orang yang ada di dalam gereja adalah orang yang bertobat sejati. Kita pikir bahwa orang kalau mengatakan aku sudah terima Yesus Kristus, aku sudah lahir baru, maka itu adalah satu pertobatan yang sejati.

Nah, Saudara-saudara, pertobatan yang sejati atau tidak sebenarnya secara paling dasar tergantung dari satu kata ini: Apakah dia bertumbuh atau tidak? Seperti pohon itu ada pohon yang palsu dan pohon yang asli. Pohon yang palsu tandanya apa? Bedanya apa dengan pohon yang asli? Jawabannya adalah yang satu bertumbuh, yang satu tidak bertumbuh. Yang satu bertumbuh lalu kemudian akan menghasilkan buah, yang satu tidak bertumbuh.

Nah, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa tahu tanda-tanda apa pertumbuhan itu? Maka banyak orang mengatakan, “Oh, tanda pertumbuhan itu adalah orang itu adalah orang yang pergi ke gereja, orang yang melayani, orang yang menjadi pemimpin KTB. Benar, Saudara-saudara, itu bisa menjadi satu dari tanda pertumbuhan, tetapi itu pun harus dilihat lagi di dalamnya.

Pertobatan yang sejati atau tidak sebenarnya secara paling dasar tergantung dari satu kata ini:Apakah dia bertumbuh atau tidak?

Saya akan memberikan sesuatu yang sangat sederhana untuk membuat kita, apakah kita itu bertumbuh, kita itu memiliki iman yang sejati. Maka hal yang pertama adalah apakah ada kerinduan yang dalam untuk mengenal firman. Apakah ada kerinduan yang dalam untuk membaca firman. Suatu hari ada seseorang yang mengatakan kepada saya, “Pak Agus, sekarang saya worry sekali karena anak saya di Amerika sekarang itu sudah mulai jauh dari Tuhan. Dan kenapa, ya, Pak, ya? Dulu di gereja di Indonesia dia begitu aktif, dia ikut remaja, dia ikut pelayanan, dia pianis daripada gereja, lalu kemudian sampai di Amerika itu kemudian dia menjadi orang yang bahkan malas pergi ke gereja. Apakah betul negara itu begitu banyak daripada temptation-nya, begitu banyak orang yang jahat yang berusaha untuk mengeluarkan dia dari gereja?”

Saya katakan, “Mungkin saja, tetapi ada satu hal yang saya mau tanya terlebih dahulu, dari mana Ibu bisa tahu bahwa anak ibu adalah orang yang sungguh-sungguh lahir baru pada waktu dia ada di gereja di Indonesia?” Dan dia sangat tercengang dan kemudian dia mengatakan, “Pasti dia lahir baru.” “Darimana Anda bisa tahu?” Lalu kemudian dia mengatakan, “Dia pergi ke gereja, dia mendengarkan khotbah dengan baik, dia ikut paduan suara, dia melayani.”

Saya tanya kepada dia, “Apakah Ibu lihat di dalam kehidupannya di rumah, ketika dia sendirian, dia mencari wajah Allah? Dia merindukan untuk mengerti firman? Dia membaca Alkitabnya itu rajin, tanpa disuruh, kerena ingin untuk mengenal pribadi Allah melalui firman Tuhan?” Dan ibu itu baru sadar. Tidak. Tidak. Saudara-saudara, Saudara pergi ke gereja, Saudara pelayanan, Saudara aktif sekali pun bukan menjadi tanda sejati Saudara adalah orang bertobat.

Tanda kesejatian dari pertobatan yang sejati adalah orang itu dari mati rohani menjadi hidup, dan hidup itu artinya adalah dia yang tadinya tidak peduli tentang Allah, dia sekarang memiliki satu ketertarikan yang dalam, dia ingin mengenal pribadi Allah, dan itu adalah melalui firman-Nya. Dan hal yang lain setelah itu maka dia ingin hidup untuk menyenangkan Allah, dia makin menyadari bahwa Allah itu mengasihi dia, dia makin menyadari bahwa Allah itu memiliki rencana dalam hidupnya, maka dia ingin hidup untuk menyenangkan Allah. Dia ingin menjaga kesucian bukan karena dihukum, tetapi karena tidak ingin melukai hati Allah. Dia taat bukan karena takut hukuman, tapi karena dia tahu ini adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan kepada dia, dan di dalam hatinya tiada kebahagiaan selain dia bisa taat kepada Tuhan. Dan makin hari makin dia bertumbuh makin bisa memfokuskan seluruh hidupnya hidup bagi Allah saja. Dan itu adalah tanda daripada pertobatan yang sejati di dalam Kristus. 

Tanda kesejatian dari pertobatan yang sejati adalah orang itu dari mati rohani menjadi hidup, dan hidup itu artinya adalah dia yang tadinya tidak peduli tentang Allah, dia sekarang memiliki satu ketertarikan yang dalam, dia ingin mengenal pribadi Allah, dan itu adalah melalui firman-Nya.

Idelette Calvin

Kita sudah sering mendengar nama John Calvin, tokoh penting dalam Reformasi yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Namun, mungkin banyak dari kita yang belum pernah mendengar siapa wanita yang ada di belakang John Calvin. Dia adalah Idelette, seorang istri yang sederhana, saleh dan kokoh imannya.

Pertemuan Idelette dan Calvin bukanlah seperti kisah romantis yang biasa kita temukan di novel-novel. Calvin sibuk melayani dan masih membujang sampai usianya menjelang tiga puluh tahun. Pada saat itu, Calvin melayani orang-orang Perancis yang mengungsi di kota Strasbourg, daerah perbatasan antara Prancis dan Jerman. 

Idelette adalah istri John Stordeur, mereka memiliki dua anak. Ketika ada persekusi terhadap orang Protestan di Liege, Belgia, mereka terpaksa harus mengungsi ke Strasbourg demi mempertahankan iman Kristiani mereka.

John Stordeur dan Idelette adalah penganut Anabaptis, sebuah ajaran yang menentang baptisan anak dan percaya bahwa baptisan harus ditunda sampai seseorang bisa mengakui imannya. Di Strasbourg, pandangan mereka berubah menjadi pandangan Reformasi lewat pelayanan eksposisi Alkitab oleh Calvin. 

Calvin sering berdiskusi teologia dengan keluarga Stordeur di rumah mereka. Disana Calvin menyaksikan bagaimana Idelette adalah seorang wanita yang serius imannya, tenang, lembut, sederhana, dan selalu mengurus suami dan rumah tangganya.

Hanya beberapa tahun setelah tiba di Strasbourg, suami Idelette, John Stordeur, tiba-tiba meninggal akibat pandemi yang mewabah di seluruh dunia pada saat itu. Idelette menjadi kebingungan karena kematian suaminya dan harus mengurus dua anak sendirian.

Di lain pihak, Calvin yang sebelumnya tidak berencana untuk menikah, mulai menyadari bahwa ia memerlukan seorang istri yang dapat menolongnya mengatur keuangan dan rumah tangga, serta memperhatikan kesehatannya di tengah kesibukan pelayanannya. Ia tidak mencari wanita yang cantik atau kaya. Calvin hanya berharap dengan adanya pendamping hidup, ia dapat lebih mendedikasikan hidupnya pada Tuhan. Tetapi tidaklah mudah untuk mencari istri yang demikian.

Lalu teman Calvin yang bernama Pastor Martin Bucer mengusulkan agar Calvin menikahi Idelette. Calvin sudah cukup mengenal Idelette dan terkesan bagaimana Idelette merawat suaminya yang sekarat dan dua anaknya. Maka Calvin pun melamar Idelette dan mereka menikah pada tanggal 15 Agustus 1540 , beberapa bulan setelah Idelette menjadi janda.

Semua harapan Calvin tentang sosok istri terpenuhi pada diri Idelette. Idelette adalah pendamping yang bermental baja. 32 minggu dari 45 minggu pertama pernikahan mereka, Idelette ditinggal Calvin karena tugas pelayanan. Idelette selalu berdoa untuk Calvin dan pelayanannya. Idelette juga memiliki hati seorang pelayan, dia membuka rumah mereka menjadi tempat pengungsian bagi orang Perancis yang melarikan diri demi mempertahankan iman mereka. Ketika Calvin diminta pindah ke Jenewa pun, Idelette bersedia ikut pindah tanpa mengeluh walaupun sebenarnya dia sudah merasa senang di Strasbourg.

Di Jenewa, Idelette melahirkan tiga anak bagi Calvin, namun semua anak mereka meninggal kurang dari satu bulan setelah dilahirkan. Setelah itu, Idelette mengalami penurunan dalam kesehatannya. Meskipun demikian, Idelette tetap adalah sosok yang menopang suaminya ketika Calvin mengalami berbagai goncangan dalam pelayanannya.

Idelette akhirnya meninggal pada tanggal 25 Maret 1549, dalam usia pernikahannya yang ke-sembilan. Satu jam sebelum kematiannya, dengan kekuatan terakhirnya Idelette berseru kepada Tuhan, ia menyatakan iman pengharapannya yang teguh kepada Tuhan. Calvin begitu terkesima atas ketenangan istrinya.

Di dalam kesedihannya, Calvin menyatakan bahwa ia telah kehilangan “penolong yang setia dalam pelayanannya” dan “sahabat terbaik dalam hidupnya”.

Idelette adalah sosok yang membawa damai dan sukacita dimanapun dia ditempatkan, dan tidak pernah mengeluh di tengah-tengah kesulitan dalam hidupnya.





Calvin dan Institutes of The Christian Religion

Halo teman-teman, hari ini kita akan membahas seorang tokoh yang memiliki peran penting dalam Reformasi Protestan di Swiss yang bernama John Calvin.

John Calvin lahir pada 10 Juli 1509 di Noyon, Perancis. Ia dibesarkan di dalam keluarga yang mengikuti pengajaran Roma Katolik. Ayah Calvin bekerja di bagian administrasi bersama Uskup lokal di daerah tersebut. Ia berharap agar Calvin dapat menjadi seorang pastor.

Calvin menghabiskan masa mudanya dengan mempelajari teologi, hukum, dan sastra klasik. Ketika berusia 14 tahun, Calvin pergi ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1523, pengajaran mengenai Reformasi yang berasal dari Martin Luther telah menyebar ke seluruh Paris, tetapi Calvin tetap berada di sisi Roma Katolik.

Pada tahun 1527, Calvin mengenal pengajaran Reformasi melalui seorang temannya. Itulah pertama kali Calvin melihat keindahan Alkitab dan kemuliaan Allah. Sejak itu, Calvin menjadi salah seorang pendukung Gerakan Reformasi.

Sebagai seseorang yang secara terang-terangan mendukung Reformasi, nyawa Calvin selalu terancam, hingga akhirnya Ia melarikan diri dari Paris.

Sebagai seorang cendekiawan, Calvin ingin menyebarkan pengajaran Reformasi melalui tulisannya.  Calvin berniat untuk hidup dengan tenang di Strasbourg dan memulai karya-karya tulisannya. Namun di tengah perjalanan menuju Strasbourg, Ia singgah di sebuah kota bernama Jenewa, Swiss.

Ketika William Farel, seorang pemimpin gerakan Reformasi di Jenewa mendengar bahwa Calvin sedang berada di Geneva, ia meminta Calvin untuk tinggal di sana dan berjuang untuk melakukan Reformasi.

Pada awalnya Calvin menolak, tetapi Farel dengan keras meminta bahkan mengutuk Calvin yang tidak mau berbagian dalam perjuangan Reformasi, padahal memiliki kemampuan yang diperlukan saat itu. Akhirnya Calvin pun menjadi takut dan memutuskan untuk tinggal di Geneva.

Calvin memiliki beban yang jelas di dalam hatinya, yaitu untuk mengembalikan Kemuliaan Allah. Menurut Calvin, Gereja Roma Katolik telah menghancurkan Kemuliaan Kristus dalam banyak hal. Gereja saat itu menganut banyak doktrin yang keliru sehingga membuat kesempurnaan dan keindahan Kristus memudar.

Setelah mengenal pengajaran Reformasi, Calvin melihat bahwa banyak orang memiliki kehausan untuk mengenal Kristus, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Berangkat dari sana, Calvin kemudian membuat sebuah buku kecil yang berisi tentang dasar-dasar agama Kristen. Harapannya, buku kecil tersebut dapat dibaca oleh banyak orang dan mudah dibawa kemana saja.

Akhirnya pada Maret 1536, edisi pertama Institutes of the Christian Religion pun diterbitkan.

Institutes of the Christian Religion memiliki peran penting dalam Reformasi Protestan. Buku ini berisi perintah dan inti pengajaran Reformasi. Melalui Institutes, Calvin melanjutkan dan menyempurnakan gerakan Reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther dan kaum reformator lainnya.

Institutes of Christian Religion awalnya ditulis dalam Bahasa Latin, bahasa yang umum digunakan kaum Cendekiawan waktu itu. Tetapi kemudian Calvin menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis, agar dapat dibaca oleh lebih banyak orang khususnya orang-orang awam.

Seiring dengan berjalannya waktu. Calvin melihat adanya keperluan untuk memperbarui bukunya. Ia pun menambahkan topik lainnya. Edisi keduanya diterbitkan tahun 1539, Edisi ketiga tahun 1543, Edisi keempat tahun 1550, dan Edisi terakhirnya tahun 1560.

Seorang teolog terkenal asal Inggris, J. I. Packer, mengatakan bahwa Institutes adalah salah satu keajaiban dunia, baik dalam dunia sastra, spiritual, dan teologi.

Buku kecil yang semula ditulis Calvin, kemudian berkembang menjadi sebuah buku yang memiliki hampir 1.000 halaman. Setelah lebih dari 460 tahun terbit, Institutes of the Christian Religion masih menjadi salah satu buku yang paling penting di sejarah Kekristenan hingga saat ini.

Katherine Willoughby

Dalam sejarah Reformasi, Tuhan juga memakai para wanita yang takut akan Dia untuk menggenapi rencanaNya. Salah satunya adalah Katherine Willoughby. Dia lahir di dalam keluarga bangsawan Inggris yang memiliki relasi yang dekat dengan kerajaan. Orang tuanya mendidik dia dengan ajaran Katolik yang ketat. Katherine adalah seorang wanita cerdas, cantik, jujur dan tegas dalam berbicara. Koneksi yang kuat pada kekuasaan politik dan status sosial yang dimilikinya, serta komitmen pada reformasi gereja, menempatkan Katherine di pusat perkembangan politik dan kekristenan pada masa itu.

Wanita ini lahir di Suffolk, Inggris pada tahun1519. Ketika Katherine masih kecil ayahnya meninggal dunia dan dia mewarisi banyak kekayaan dari ayahnya. Charles Brandon, adik ipar Raja Henry VIII, membeli hak wali Katherine ketika ia berusia 9 tahun. Charles dan istrinya, Mary Tudor, adalah penganut konservatif Katolik Roma. Awalnya Katherine dipersiapkan untuk menjadi istri Henry Brandon, anak Charles. Tetapi 10 minggu setelah Mary meninggal, Charles Brandon sendiri yang berusia 49 tahun menikahi Katherine yang baru berusia 14 tahun. 

Pada tahun 1543, Katherine ditugaskan menjadi pendamping Ratu Catherine Parr, istri terakhir raja Henry VIII. Katherine pun diwajibkan mendengar kotbah setiap harinya, membaca buku ‘Prayers or Medytacions’ yang ditulis oleh Ratu yang berisi ajaran reformasi tentang keselamatan. Ia juga terlibat dalam diskusi-diskusi agama dengan Ratu. Dari sinilah iman Katherine diperbaharui, dan pada pertengahan 1540an, Katherine meyakini bahwa Alkitab adalah otoritas tertinggi dan pembenaran hanya oleh iman saja. Ia memperoleh 'Tyndale's New Testament' edisi cetak Alkitab pertama dalam bahasa Inggris, dan secara terang-terangan mengkritik Katolik Roma. Setelah kematian suaminya, Charles Brandon, di tahun 1545, Katherine semakin terbuka menyatakan iman Kristennya secara publik. Katherine juga kehilangan kedua putranya di hari yang sama tahun 1551 akibat “sweating sickness” yang melanda Inggris. Ditengah kedukaannya kehilangan anak dan suaminya, Katherine tetap mengakui bahwa Allah itu baik.

Sebagai salah satu wanita terkaya di Inggris, Katherine menggunakan kekayaannya untuk mendukung gerakan Reformasi. Ia menyediakan Alkitab untuk setiap gereja di Lincolnshire. Dia menjadi pelindung dan pendukung para reformator termasuk Hugh Latimer, yang memberikan pengaruh besar bagi hidup kerohanian Katherine. Katherine juga menolong pengungsi Protestan dari Eropa. Katherine menggunakan koneksi politiknya untuk mendapatkan surat jaminanyang memperbolehkan mereka membangun gereja yang diakui secara legal.

Katherine menikah dengan pengawalnya yang bernama Richard Bertie dan mereka saling mencintai. Mary I (ke 1) atau Bloody Mary, penganut setia Katolik Roma, menjadi Ratu pada tahun 1554, Katherine dan Richard berada dalam bahaya penganiayaan oleh karena kepercayaan Reform mereka. Keduanya memutuskan untuk meninggalkan Inggris dan berlayar ke Jerman. Ketika semakin banyak pengungsi Reformasi dari Inggris berdatangan, mereka mendirikan gereja di Wesel. Hal ini diketahui oleh Ratu Mary I, maka Katherine dan Richard harus melarikan diri lagi dan pada akhirnya sampai ke Polandia atas undangan Raja Jan Laski. Pemerintah Polandia menyambut baik mereka, bahkan memberikan Richard peran administratif untuk memajukan reformasi di negara tersebut.

Ketika Ratu Mary I atau yang dikenal sbg bloody Mary meninggal dan digantikan oleh Ratu Elizabeth di tahun 1559, Katherine dan keluarganya pun kembali ke Inggris tanpa harus takut ancaman karena iman mereka. Katherine menggunakan segala kesempatan yang dia miliki di akhir hidupnya untuk mendukung reformasi Protestan di Inggris. Dia meninggal di usia 61 pada tahun 1580. Katherine banyak mengalami penderitaan selama hidupnya, tetapi dia tetap setia mempertahankan imannya sampai akhir 

Hugh Latimer, Menyalakan Lilin Yang Tidak Terpadamkan

Halo teman-teman semua, hari ini kita akan membahas seorang tokoh Reformasi yang bernama Hugh Latimer atau yang dikenal sebagai Lilin Dari Inggris (England’s Candle)

Ketika kita mendengar kata “Lilin”, apa yang muncul di pikiran kita? Panas? Cahaya? Atau mungkin kita teringat ketika mati lampu? Ketika listrik sedang mati, kita biasanya menyalakan lilin sehingga ada terang dan tidak gelap lagi. Hal itulah yang dilakukan Latimer dan teman baiknya, Nicholas Ridley di Inggris, 16 Oktober 1555. Bukan karena Inggris mati lampu saat itu, tentunya karena belum ada listrik.

Hugh Latimer lahir di Inggris tahun 1485. Ia menempuh pendidikan di University of Cambridge, dan menjadi seorang pastor. Selama 30 tahun, Latimer hidup sebagai penganut Katolik yang ketat dan sering menyerang para kaum Protestan. Namun pada tahun 1525, Ia bertemu dengan Thomas Bilney, seorang pendukung Protestan yang juga belajar di University of Cambridge. Pertemuan itu membuka mata Latimer, dan Ia beralih menjadi pendukung keras kaum Protestan.

Selama lebih dari 20 tahun, Latimer terus berjuang untuk melakukan Reformasi terhadap gereja di Inggris. Ia dikenal sebagai seseorang yang tidak pernah berhenti berkhotbah. Seorang tokoh Kristen, J. C. Ryle pernah berkata, “Tidak ada tokoh Reformasi yang menabur benih Doktrin Protestan di kalangan menengah kebawah yang lebih luas dan efektif seperti Latimer”. 

Tetapi pada tahun 1553, ketika Ratu Mary menjadi penguasa, Latimer ditangkap dan dipenjarakan di Menara London (Tower of London). Ia ditangkap dengan tuduhan mau melakukan pemberontakan dengan menyebarkan pengajaran Reformasi. Di menara itu, Latimer bertemu Nicholas Ridley yang juga adalah pejuang Reformasi. 

Mereka tahu bahwa hidup mereka tidak lama lagi dan mereka akan segera dijatuhi hukuman mati. Keduanya bercakap-cakap dan berdoa sebelum menjalani hukuman mereka, yaitu dibakar hidup-hidup. 

Ridley mengatakan, “Bersiaplah saudaraku, sebab Tuhan akan meredakan api ini, atau Ia menguatkan kita untuk menghadapinya.”

“Be of good heart, brother, for God will either assuage the fury of the flame, or else strengthen us to abide it.”

Sesaat sebelum Latimer dieksekusi, Ia berteriak, “Bersiap-siaplah Master Ridley, dan jadilah kuat; hari ini kita akan menyalakan lilin, di dalam Anugerah Tuhan, di Inggris, yang aku percaya tidak akan terpadamkan.”

“Be of good comfort, Master Ridley, and play the man; we shall this day light such a candle, by God’s grace, in England, as I trust shall never be put out.”

Sekilas sepertinya kisah Hugh Latimer berakhir dengan tragis, Ia mati sebagai seorang martir dan dieksekusi di depan publik. Seluruh rangkaian ini menggambarkan betapa gelapnya kondisi Inggris waktu itu. Namun sesuatu yang tidak terduga terjadi tiga tahun kemudian: Ratu Mary meninggal dan digantikan oleh Ratu Elizabeth yang merupakan pendukung kaum Protestan. Gereja Protestan pun akhirnya didirikan secara permanen di Inggris.

Sejarah membuktikan bahwa sebuah lilin yang dinyalakan oleh Hugh Latimer dan para tokoh martir lainnya dengan menggunakan tubuh mereka yang dibakar, menjadi terang yang tidak terpadamkan sampai hari ini.

Renungan bagi Kaum Muda: Ketakutan akan Penilaian Orang

Seringkali kita sebagai anak-anak Tuhan merasa takut akan penilaian orang terhadap diri kita. Kalau ada orang yang lihat saya berdoa di depan umum, apa mereka akan pikir saya aneh? Kalau tiap kali teman saya ajak jalan saya selalu bilang tidak karena alasan gereja, apa mereka akan mencap saya fanatik? Kebanyakan orang seperti domba yang hanya menjadi pengikut. Kita mengikuti apa yang orang lain ikuti. Kita tidak berani melawan arus. Nilai-nilai yang dianggap penting oleh kebanyakan orang, itu yang kita kejar. Opini orang tentang kita, itu yang kita pikirkan dan menjadi penentu identitas diri kita. Misalnya bagi kebanyakan orang, akhir pekan adalah hari untuk berkumpul bersama teman dan keluarga. Lebih baik kita tidak pergi ke gereja daripada nanti dicap tidak gaul dan terlalu fanatik oleh teman-teman yang mengajak kumpul-kumpul hari Sabtu dan Minggu. Ingatlah apa yang tertulis dalam Matius 10:28,” Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” Bagaimana perasaan kita ketika orang mencap kita fanatik atau tidak gaul? Apakah itu membuat kita menjauhi Tuhan? Apakah kita lebih takut akan penilaian orang lain terhadap kita dibandingkan dengan takut kepada Tuhan? Kolonel James Gardiner, seorang tentara yang berani dan saleh berkata, “Saya takut akan Tuhan, karena itu tidak ada seorang pun yang lain yang saya takuti.” Dalam Yesaya 51:7-8 tertulis, ”Janganlah takut jika diaibkan oleh manusia dan janganlah terkejut jika dinista oleh mereka. Sebab ngengat akan memakan mereka seperti memakan pakaian dan gegat akan memakan mereka seperti memakan kain bulu domba; tetapi keselamatan yang dari pada-Ku akan tetap untuk selama-lamanya.” Apakah ada seorang pun di dunia ini yang bisa menyelamatkan jiwa kita? Tidak! Hidup kita begitu singkat dan penuh ketidakpastian. Satu hal yang pasti adalah bahwa kita pasti akan mati dan dihakimi oleh Allah. Jadi, jangan kita kuatir akan apa yang dunia katakan atau pikirkan tentang kita karena tidak selamanya kita ada di dalam dunia. Jangan malu membiarkan orang melihat kita sebagai pengikut Kristus yang sungguh-sungguh dan jangan pernah takut untuk melakukan apa yang benar walaupun itu berarti kita melawan arus dunia. Oleh: DO

Quote of the day

Kasih Allah dimanifestasikan dengan cemerlang dalam kasih karunia-Nya kepada orang-orang berdosa yang tidak layak. Dan itulah tepatnya rahmat: kasih Allah mengalir dengan bebas bagi yang tidak menyenangkan.

A. W. Tozer