Saya & Corona

Saya & Corona

Di dalam podcast ini kita akan berbicara tentang satu tema yang begitu penting yaitu tema Saya & Corona”. Kali ini saya ditemani oleh rekan saya Jeanifer. Jeanifer mungkin bisa memperkenalkan diri secara singkat untuk teman-teman di rumah.

Nama saya Jeanifer. Saya berprofesi sebagai seorang nurse (perawat) di emergency department di salah satu rumah sakit di Sydney. Dan ini adalah tahun kelima saya sebagai seorang nurse. 

Selamat datang Jean. Jean mungkin bisa share sedikit kapan pertama kali mendengar tentang virus corona ini dan waktu itu apa sih yg dipikirkan?

Jujur saat pertama kali mendengar virus ini, saya tidak melihat ini sebagai sesuatu penyakit yang serius, karena yang kami ketahui pada saat itu, dilihat dari sudut pandang medis, gejala-gejala dari coronavirus ini sangat ringan. Sangat mirip sekali dengan gejala flu yang setiap tahun terjadi saat memasuki musim dingin datang. Saya sejujurnya berpikir bahwa ini adalah kemungkinan besar bentuk lain dari penyakit flu atau radang paru2 biasa yang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Tetapi minggu berganti minggu, situasi dunia mulai berubah, setelah mendengar berita dimana virus ini telah menyebar ke Italia dan beberapa negara Eropa dan asia yang ternyata memakan korban bahkan jauh lebih banyak dari pada China, dan disitulah pandangan saya mulai berubah terhadap virus ini secara signifikan. Ada sesuatu yang berbeda dari virus ini, bukan hanya penyakit radang paru-paru biasa yang dialami oleh banyak pasien yang kami dirawat di rumah sakit saat musim dingin mulai datang, ini adalah sesuatu yang tampak ringan dari gejalanya, tapi secara prognosis, ini bisa mematikan. Bukan hanya mematikan bagi yang berusia lanjut, tapi bagi yang masih muda pun, virus ini bisa mengancam kehidupan mereka.

Apa yang dipikirkan ketika pertama kali diperhadapkan dengan pasien yang terkena corona?

Setelah dinas kesehatan Australia mulai mengambil siaga 1 melawan coronavirus semua setting yang ada di rumah sakit, peraturan dan protokol mulai berubah. Kami tidak lagi diperbolehkan untuk memakai seragam yang biasa kami pakai saat berangkat kerja dari rumah, kami tidak lagi boleh mengantongi handphone atau membawa barang bawaan yang kami biasa bawa ke rumah sakit. Kami disediakan tas khusus dan dianjurkan untuk meninggalkan sepatu yang kami pakai di rumah sakit dan memakai sepatu lain untuk pulang ke rumah. Saat kami bekerja pun, kami diberikan seragam khusus untuk bekerja dimana baju-baju tersebut akan disterilkan setelah pemakaian. Bukan hanya seragam khusus tapi kami harus mengenakan masker dan alat pelindung tubuh selama shift kami berlangsung. Kami tidak diperbolehkan memakai perhiasan seperti kalung, anting, cincin bahkan jam sekalipun saat kami bekerja karena benda-benda tersebut bisa menjadi salah satu mode of transmission yang sangat mungkin untuk virus ini kami bawa pulang ke rumah saat selesai bekerja. Saya ingat hari dimana atasan kami menghimbau perubahan-perubahan tersebut yang tadi saya jelaskan, mulai pada saat itu terjadi ketegangan pada saat kami bekerja dari hari-hari sebelumnya sebelum ada virus corona. Untuk keselamatan tenaga medis, setiap pasien yang datang ke emergency, harus kami perlakukan seolah-olah mereka positif virus corona. Ini karena kami mempunyai jumlah staf yang cukup terbatas dan kalau ada yang terkena maka akan sulit untuk kami menyediakan pelayanan kesehatan untuk para pasien.

Hal ini membawa satu beban besar bagi perawat dan dokter karena kami tidak bisa tahu secara langsung siapa yang terjangkit dan siapa yang tidak. Sangat jelas dalam memori saya, ketakutan yang menyelimuti kami setiap kali kami memulai shift kami. Ketakutan dalam hal apa? Ketakutan karena memasuki suatu situasi yang dipenuhi ketidaktahuan. Tidak ada seorangpun yang mengerti dan tahu cara kerja virus ini, yang kami tahu virus ini sangat mudah untuk tersebar dari satu orang ke orang lain. Pada saat itu kami himbau secara tegas, jikalau ada dari kami yang mulai memiliki gejala2 seperti batuk, panas tinggi atau flu, atau apapun itu, kami harus secara jujur memberitahu pihak rumah sakit untuk kami di test untuk coronavirus dan kami dilarang untuk bekerja sampai kami mendapat satu clearance bahwa kami negative. Disitu saya sadar, bahwa Tuhan mengijinkan hal ini terjadi agar saya bisa lebih lagi bergantung sepenuhnya hanya kepada pribadi Tuhan. Yang sedang saya hadapi pada saat itu bukanlah bekerja melawan penyakit yang saya pernah pelajari dan kenal sebelumnya tapi saya sedang menghadapi satu tantangan penyakit dimana manusia diseluruh dunia tidak tahu cara kerja dan bagaimana virus corona bekerja. 

Dalam masa-masa seperti itu, ada tidak suatu momen atau pergumulan yang paling berat bagi Jean?

Bagian yang paling menantang adalah saat saya harus memperlakukan bahwa semua pasien yang datang ke emergency itu sebagai pasien dengan positive corona. Pada setiap pasien saya harus melakukan proses testing itu dimana saya dengan alat pelindung diri yang lengkap harus mengambil sampel sel dari hidung dan tenggorokan setiap pasien yang kami curigai terjangkit coronavirus. Untuk mengambil sample ini, sangat lumrah untuk pasien menjadi batuk seketika saat sample taking dilakukan dan untuk mendapat sampel secara efektif, saya harus berdiri dekat pada wajah mereka dan saat mereka batuk seketika, itu adalah indikasi bahwa sample taking telah dilakukan dengan benar. Secara profesi saya harus merawat mereka sebisa yang saya mampu tapi disisi lain ada satu ketakutan yang nyata mulai memasuki pikiran saya saat itu. 2 pertanyaan ini muncul, bagaimana jika Tuhan mengijinkan saya terkena coronavirus dan bagaimana saya harus berespon. Setiap kali saya pulang, secara sadar saya harus menjaga jarak dengan orang2 di rumah karena saya tidak tahu jika saya membawa virus itu pulang ke rumah. Sempat tersirat satu pemikiran, mungkin saya harus pindah untuk sementara waktu selama masa pandemi ini. Kekhawatiran demi kekhawatiran berkecamuk dan setiap hari saat hendak memulai shift, doa yang saya saat itu adalah memohon pada Tuhan kalau saya terekspos virus ini, saya meminta agar Tuhan berikan kerelaan hati untuk turut merasakan apa yang pasien coronavirus itu rasakan. Saya memohon hati yang rela agar jangan sampai iman saya tergoncangkan. 

Jelas sekali iman Kristen itu sangat berperan besar dalam saya bekerja sebagai seorang perawat. Iman kepada Kristus lah yang memberikan saya satu teladan dan tujuan yang jelas mengapa saya berprofesi sebagai seorang nurse yaitu untuk menjadi terang dan garam bagi mereka yang lemah dan putus asa karena kondisi penyakit mereka sendiri

Tuhan di dalam providensia-Nya memberikan satu ketenangan kepada saya di tengah-tengah pandemik ini. Setiap hari saat datang kerja, banyak dari staff dan pasien yang menunjukan satu ketakutan terhadap kematian. Apakah akan sakit sekali rasanya saat mendekati kematian yang disebabkan oleh virus ini? Kita tahu bahwa belum ada obat yang bisa melawan virus ini, bahkan obat antiviral dengan spektrum tertinggi pun belum bisa dipastikan secara ilmiah mampu untuk melawan virus yang tidak terlihat ini. Ketakutan akan kematian bukan hanya bisa kita lihat di rumah sakit, ketakutan akan kematian ini benar-benar dirasakan oleh banyak orang di seluruh dunia. 

Masa pandemi ini telah mengubah cara manusia menunjukan perhatian kepada keluarga, teman dan sesama, pelukan dan sentuhan dulu adalah bentuk kasih sayang tapi sekarang, sikap ini menjadi sesuatu yang berbahaya karena transmisi virus corona yang sangat mudah berpindah. Pembatasan secara sosial dan fisik telah menjadi satu tanda bahwa kita peduli kepada orang lain. Ini adalah satu hal yang tidak pernah manusia pikirkan sebelumnya. Virus yang tidak terlihat ini telah sungguh-sungguh telah mengubah semua aspek kehidupan manusia. 

Satu ayat firman Tuhan yang terus saya pikirkan adalah adalah dari Ibrani 13:8 Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya. Orang percaya yang sejati akan mengalami penyertaan Allah yang penuh dengan kemurahan semasa ia hidup, ketika ia mati, dan untuk selama-lamanya. Dari janji yang bersifat luas dan mencakup semuanya ini, orang Kristen boleh yakin bahwa hanya dari Tuhan lah mereka beroleh pertolongan. Allah Tritunggal yang adalah pencipta dari seluruh alam semesta ini, di dalam kedaulatan-Nya sudah mengetahui saat virus ini pertama kali muncul, kemana virus ini akan pergi dan kapan virus ini akan berhenti menyebar. Dan ini menjadi satu pengharapan besar bagi umat manusia ciptaan-Nya dimana di dalam kepak sayap-Nya lah kita bisa mendapatkan perlindungan, pada batu karang yang kokoh itulah iman kita tidak bisa tergoncangkan dan di dalam kasih sayang-Nya lah kita mendapatkan ketenangan.

Kedaulatan yang sama yang sanggup menghentikan coronavirus, namun belum, adalah kedaulatan yang sama yang menopang jiwa manusia di dalamnya. Meskipun yang manusia rasakan saat ini adalah kesedihan, kehilangan, kekecewaan atau mungkin sekali keputusasaan, tetaplah ingat bahwa Tuhan pada diri-Nya adalah tetap Tuhan yang baik dan penuh dengan kemurahan terhadap kita kita manusia berdosa. Semua hal yang terjadi saat ini, pandemi, perang, keterpisahan bahkan dukacita tidak membuat attribute Allah berubah sama sekali. Mengutip satu kalimat dari John Piper, “Baik mati ataupun hidup, Tuhan akan beserta denganmu”. Sebagai seorang Kristen, bukan diri kita lagi yang paling penting, bukan keamanan kita atau apapun yang kita miliki tapi kita dituntut untuk melepaskan hak kita agar kehendak Tuhanlah yang sungguh-sungguh terjadi dalam hidup kita. Dan jikalau diperlukan jalan penderitaan dan kesakitan agar kehendak Tuhan yang terjadi maka mintalah Tuhan untuk Dia sendiri yang menguatkan dan meneguhkan hati kita. Soli Deo Gloria.

Oleh:

Quote of the day

Kasih Allah dimanifestasikan dengan cemerlang dalam kasih karunia-Nya kepada orang-orang berdosa yang tidak layak. Dan itulah tepatnya rahmat: kasih Allah mengalir dengan bebas bagi yang tidak menyenangkan.

A. W. Tozer